AMBON, MAJALAHGAHARU.COM — Pertemuan Raya dan Perkemahan Pemuda-Mahasiswa Kristen telah dilaksanakan mulai tanggal 27 Februari sampai dengan 3 Maret 2017 di Bumi Perkemahan Siwalima, Desa Nusaniwe, Ambon, Maluku. Kegiatan ini mengusung tema: “Melalui Persaudaraan dan Kebangkitan Generasi Muda Kristen, Kita Wujudkan Keesaan Gereja dan Kawal Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Kegiatan ini terlaksana berkat kerjasama Gereja Protestan di Indonesia bersama Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen di Indonesia (GMKI) dan DPP Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).
Kehadiran Gereja Protestan di Indonesia (GPI) sejak tahun 1605 dan bertahan hingga kini, telah membuktikan dan menceritakan kepada kita, bahwa GPI adalah saksi pergulatan pembentukan bangsa hingga tegaknya kedaulatan Negara Republik Indonesia. Dalam dua belas tulisan mengenai Calvin dan Calvinisme; Eklesia Reformata Semper Reformanda, van den End mencatat; pada abad ke-19 jemaat-jemaat Kristen di Maluku Tengah, muncul keinginan untuk mengabarkan Injil. Ratusan orang Ambon keluar dari kampung halamannya untuk membawa dan mengenalkan Kristen bagi yang lain. Begitu pula orang Rote dan Minahasa.
Hal ini dilakukan karena sudah seabad lamanya mereka pelajari dan dalami isi serta pesan Alkitab. Usaha memahami selalu dikaitkan dengan pembelajaran. Sehingga haruslah dimengerti dalam konteks tertentu bahwa pekerjaan pengabaran Injil merupakan pembelajaran yang dalam prakteknya di beberapa tempat identik dengan baca-tulis. Itu berarti bahwa, GPI tidak sekadar memikirkan bentuk dirinya sebagai persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus lewat tata ibadah, melainkan juga terlibat dalam mengajarkan baca-tulis, penggunaan bahasa, serta keterlibatan dalam perkara umum atau supra-lokal walaupun mendapatkan tantangan stigma sebagai agama asing.
Pergumulan eklesiologis tersebut mengalir mengikuti zaman hingga menemukan bentuknya yang kontekstual dan mandiri dalam dua pergumulan sekaligus yakni pergumulan eklesiologis (gereja) dan kebhinekaan (negara). Pergumulan eklesiologis tidak hanya terjadi pada tataran internal gereja anggota, tetapi kadang terjadi juga antara sesama gereja anggota bahkan gereja lainnya dalam wilayah pelayanan demi mewujudkan keesaan gereja di Indonesia.
Rentetan sejarah tersebut telah menjadi pelajaran bagi GPI untuk melihat situasi dan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini, di mana intoleransi menjadi trending topik pemberitaan nasional. Intoleransi merupakan virus yang dapat menceraiberaikan Indonesia. Dalam pidato Dies Natalis GMKI ke-67 di Jogjakarta yang dihadiri banyak kalangan termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono X, GMKI kembali mengingatkan pesan Bung Karno dalam pidato kenegaraannya tanggal 17 Agustus 1953. Bung Karno berkata: “kita tidak bertujuan bernegara hanya satu windu saja, kita bertujuan bernegara seribu windu lamanya. Bernegara buat selama-lamanya.”
Takluk dan menerima gagasan-gagasan bersifat intoleransi sama halnya dengan melakukan pengkhianatan sejarah. Intoleransi dapat menyuburkan sikap eksklusivisme, dan bila terus-menerus dipupuk akan membuat Indonesia sakit bahkan bisa tamat. Maka perlu diwaspadai bahkan wajib menemukan cara yang tepat untuk menangkis virus intoleransi ini. Karena kadang yang terjadi saat melawan sikap intoleransi justru kita terjebak dan malah ikut-ikutan melakukan tindakan intoleran. Kita tidak setuju dengan gagasan-gagasan intoleransi tetapi sikap dan kata-kata kita untuk menangkis gagasan tersebut malahan terkadang bernuansa intoleransi, seperti melecehkan identitas agama atau etnis tertentu. Tidak heran perang argumen seperti itu sering kita jumpai dalam media sosial, dan sangat disayangkan, pemuda justru ada di dalamnya.
Dalam fase yang disebutkan oleh Franz Kafka sebagai masa mencari identitas, pemuda adalah rebutan untuk mendaratkan, ide, gagasan, usulan, ideologi, doktrin, dan hal-hal lainnya sebagai pegangan hidup yang kemudian dianggap kebenaran absolut. Bila ide, gagasan, usulan, ideologi dan doktrin telah mendapatkan tempatnya dalam diri pemuda, maka pemuda tidak segan-segan untuk membandingkan, mempertentangkan, mendebatkan bahkan membela sepenuhnya dengan cara melakukan tindakan apa saja termasuk kekerasan. Bila demikian, perlulah filter untuk mengatasi hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi pada para pemuda dan mahasiswa. Dalam hal ini, Gereja, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan perlu hadir dan mengambil peran.
Di era globalisasi dan teknologi informasi ini, kita dapat melihat rentannya kalau tidak bisa dikatakan bobroknya wawasan Nusantara dan kebangsaan masyarakat kita. Kita masih mengingat, beberapa bulan lalu saat Bank Indonesia menerbitkan beberapa uang baru. Media sosial dipenuhi berbagai tulisan hoax dan bermuatan kebencian yang mempertanyakan status kepahlawanan beberapa pahlawan Indonesia yang wajahnya tercetak di uang baru tersebut.
Masih hangat juga beberapa hari lalu, foto Presiden Jokowi yang menggunakan pakaian adat Maluku karena diberi gelar kehormatan masyarakat adat Maluku malah diperolok dan dijadikan bahan tertawaan oleh sekelompok orang di media sosial.
Melihat kedangkalan wawasan Nusantara dan kebangsaan ini, gereja dan para pemimpin Kristen tidak bisa diam saja, melainkan harus melakukan tindakan proaktif. Paling tidak hal yang bisa dilakukan adalah mengupayakan dan memastikan pemuda gereja untuk tidak memiliki kedangkalan wawasan Nusantara dan kebangsaan yang sama.
Pemuda Kristen tidak boleh ikut-ikutan membenci dan menghujat kekayaan budaya kita. Pemuda Gereja jangan sampai ikut-ikutan mengucapkan atau menuliskan kalimat-kalimat bermuatan kebencian terkait suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Justru pemuda Gereja harus menjadi teladan dengan menghargai kebhinnekaan kita. Sebagai pemuda Kristen, kita harus terlibat aktif menjaga dan merawat keutuhan keberagaman kita di dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila. Karena pemuda Gereja adalah juga milik bangsa Indonesia.
Kehadiran gereja untuk menangkal segala bentuk kekerasan termasuk gerakan intoleransi merupakan tindakan pemberdayaan pemuda guna merawat dan mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu bentuk pemberdayaan gereja terhadap pemuda untuk merawat dan mengawal negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kegiatan kemah pemuda yang dilaksanakan oleh GPI bekerjasama dengan GMKI dan GAMKI.
Kami selaku Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia sangat bersukacita karena diajak bekerjasama demi terwujudnya kegiatan ini. Dengan latar belakang pergumulan yang hampir sama dengan GPI, tentunya GMKI mendukung sepenuhnya seluruh rangkaian kegiatan ini. GMKI berdiri, hadir, hidup dan saling menghidupi sesama dalam semangat dua proklamasi, yakni proklamasi kemerdekaan iman kepada Yesus Kristus Sang Kepala Gereja dan Kepala Gerakan, serta proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Karena itulah patut GMKI berterima kasih kepada GPI atas ajakan melakukan kegiatan ini, terkhusus juga kepada Gereja Protestan Maluku yang menjadi nyonya dan tuan rumah kegiatan ini. Kiranya kegiatan yang dilangsungkan di tempat gong perdamaian berbunyi ini, dapat berjalan dengan baik, dan seluruh peserta yang mengikuti kegiatan ini dapat menjadi agen perdamaian untuk mewujudkan perdamaian dengan semua ciptaan. “Hidup bae-bae jangan cuma bakalae. Kalau cuma bakalae, cari damai lebe bae.”
Secara khusus GMKI mengucapkan selamat hari ulang tahun GPI yang ke-412. GMKI mengucapkan terimakasih atas dukungan Sinode Am GPI selama ini. Sidang Sinode Am GPI di Kepulauan Banggai pada bulan November 2016 lalu telah menjadi oase di padang gurun bagi GMKI, ketika diputuskan bahwa GPI akan membantu GMKI dalam menyediakan pendeta-pendeta mahasiswa. Kami berharap GMKI, GPI, dan 12 Gereja Bagian Mandiri dapat menindaklanjuti keputusan sidang tahunan tersebut.
Refleksi 412 tahun GPI, mengajarkan kita akan perjuangan melintasi zaman dalam lindungan kasih Kristus. Dirgahayu Gereja Protestan di Indonesia, semoga semakin berakar di tanah air tercinta. Akhir kata, tinggilah iman kita, tinggilah ilmu kita, tinggilah pengabdian kita, Ut Omnes Unum Sint. Syalom!! SS