Jakarta, majalahgaharu.com Lapangan Monas waktu di pimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dilarang untuk kegiatan keagamaan. Namun ganti pemimpin ganti kebijakan itulah yang terjadi, saat Anies berkuasa memimpin ibukota Monas yang dulu steril dari kegiatan keagamaan itu saat ini dibuka kembali, salah satunya adanya perayaan natal yang akan diadakan di Monas. Menyikapi hal tersebut Pdt Gomar Gultom yang juga sekum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) mengatakan bahwa langkah Gubernur DKI mengizinkan penggunaan Lapangan Monas untuk acara keagamaan, menurutnya adalah langkah mundur.
Gomar beranggapan bahwa langkah itu akan semakin memungkinkan ruang publik, yang seharusnya netral karena milik masyarakat umum, digunakan sebagai ajang mobilisasi umat dengan pendekatan sektarian. Padahal ada gedung-gedung dan lapangan yang disediakan/disewakan khusus untuk itu.
Olehnya sebab itu Gomar mengimbau seluruh elemen dalam lingkungan PGI dan PGI Wilayah untuk secara kritis dan bijak menyikapi ajakan Pemerintah DKI menyelenggarakan Perayaan Natal 2017 di Monas. Apalagi, ternyata, nuansa politik sangat kental, karena ada unsur organisasi sayap kristen dari sebuah partai politik di dalamnya. Baiklah kita merayakan Natal dengan sederhana di tengah-tengah keluarga dan/atau Gereja.
“Saya kuatir, Natalan di Monas ini akan merasionalisasikan langkah-langkah kelompok tertentu selanjutnya, untuk menggunakan lapangan Monas menggoncang kepemimpinan Presiden, dengan berselubungkan kegiatan keagamaan,” kritiknya tajam. Mengapa harus di lapangan Monas, yang merupakan jantung kota Jakarta dan persis di depan Istana Negara? Akhirnya negara ini tak akan pernah tenang membangun.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Pdt Mulyadi Suleman salah satu ketua PGPI yang mengatakan bahwa wajar saja ganti pemimpin ganti kebijakan. Seperti dibukannya Monas sebagai kegiatan keagamaan .Selain itu jangan lantas ada yang berkomentar ini dan itu. Bagi yang setuju yang jalani saja tetapi yang tidak setuju ya jangan ikut natal di Monas. Menurut mantan ketua Sinode GSPDI ini apapun kondisinya firman Tuhan harus tetap dinyatakan. “Jangan justru karena perbedaan ini kemudian semakin memperuncing hubungan antar umat Kristen itu sendiri,” pintanya.