Jakarta, majalahgaharu.com agak lama gereja bersikap hati-hati dengan salah satu paham politik masyarakat modern yang terpenting ialah demokrasi modern. Akhirnya, gereja mengeluarkan juga ajaran sosialnya tentang demokrasi melalui ensikliknya berjudul Centesimus Annus. Ensiklik ini dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II, yaitu untuk memperingati 100 tahun ajaran sosial gereja pertama, ensiklik Rerum Novarum. Di dalam bab kelima Centesimus Annnus berbicara tentang banyak hal berkaitan dengan kehidupan politik kenegaraan seperti: tentang keburukan totalitarisme (44-45), tentang demokrasi dan hak asasi manusia (46-47), tentang ancaman fundamentalisme (46), tentang hak-hak asasi dalam bidang ekonimi (47), tentang keburukan korupsi, demikian disampaikan Inggard Yoshua Tokoh Umat Katolik, saat di temui di kantornya, Senin, 25/3/2019
“Di sini gereja menekankan bahwa kekuasaan politik dari negara haruslah dilaksanakan untuk mencapai kesejahteraan umum. Kekuasaan politik itu haruslah bersifat mengabdi yaitu mengabdi kepada kesejahteraan umum. Akan tetapi, dalam perwujudan kesejahteraan umum ini, kekuasaan politik juga mengabdi kepada Allah”Tutur Inggard Yoshua
Lebih Lanjut, ia mengatakan bahwa tujuan akhir dari semua warga negara yang ambil bagian dalam kesejahteraan umum itu adalah kemuliaan Allah. Atas dasar itulah, gereja menuntut agar pelaksanaan kekuasaaan politik itu haruslah dalam batas-batas hukum moral. Itulah yang dituntut oleh konsili Vatikan II: „Pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat itu sendiri maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, mesti selalu berlangsung dalam batas-batas tatanan moral dan atas nama kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, sesuai dengan tata perundang-undangan yang ditetapkan secara sah.
“ Saat ini, Tantangan pembangunan demokrasi di Indonesia adalah kapitalisme. Politik tidak lagi merupakan ruang bagi para politisi untuk bergiat yakni untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat pada umumnya, melainkan lebih sebagai ruang para pemodal untuk mengembangkan modal. Kondisi yang demikian kemudian diperparah lagi dengan masih berlangsungnya apa yang disebut bureaucratic polity, ini juga terjadi di Gereja,”ungkap Inggard Yoshua.
Ia juga mengatakan bahwa analogi kondisi dunia politik saat ini, persis di gambarkan OLEH: MH. A’INUN NAJIB dalam tulisannya berjudul Ketika Boneka Menjadi Pemimpin* yang di publis beberapa waktu silam, menurut Inggard bahwa isi tulisan tersebut menunjukkan realitas kehidupan Demokrasi kapitalistik,
“jelas apa yg di uraikan tersebut bertentangan dengan pandangan gereja Katolik, tentang Praktek Politik yang bersumber pada kekuasaan Allah bukan Praktek Politik tablis/iblis yg justru merusak tatanan Demokrasi, oleh karena itu apabila di situasi sekarang ada Fenomema indikasi gereja terlibat dalam mendukung kepemimpinan yang digambarkan oleh MH Ainun Najib tersebut, maka gereja terjebak dalam Politik Iblis,”ungkap Inggard Yoshoa,
Hingga dapat, imbuhnya, berimplikasi munculnya ancaman yang dapat meruntuhkan keberadaan gereja sebagai institusi pembentuk maupun pengawasan moralitas dalam kehidupan berdemokrasi di masyarakat.
Oleh karena itu, saran Inggard, seharusnya gereja terpanggil untuk mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang bersih. Caranya? Caranya yaitu dengan memperlengkapi dan mendidik warga gereja untuk memiliki kesadaran politik, mewujudkan tanggungjawab politik, memiliki integritas dan iman dalam memimpin dan memilih pemimpin. Gereja harus dapat berfungsi sebagai kontrol terhadap kebenaran dan keadilan, sehingga warga gereja tidak terjebak oleh boneka-boneka yang dimainkan oleh kaum kapitalistik.
Ia juga mengutip apa yang di katakana, bahwa TB Simatupang mengatakan partisipasi gereja dalam berbangsa dan bernegara : positif. Konstributif, kritis, realitis.
“ Gereja seharusnya bersikap positif artinya selalu berusaha memberikan sumbangsih yang baik bagi pemerintah dan warga lainnya, Konstributif : Gereja juga sebagai pemilik saham negeri ini, tentunya harus berperan strategis dalam pembangunan di negeri ini, dan jangan takut memberikan masukan dan koreksi kepada pemerintah demi kebaikan rakyat dan diberlakukannya hukum Tuhan”ucap Inggard
Selain itu, tambahnya, Posisi Gereja sudah semestinya di satu sisi loyal pada hirarki Tahta Suci maupun terhadap Pemerintah , sepanjang benar dan adil, disisi lain ia adalah seorang pengawas yang berani tetapi lembut menegur pemerintah kalau pemerintah itu lalai dan tidak menjalankan fungsinya secara baik.
“ Di masa menjelang Pilpres 2019 ini, Gereja sudah seharusnya kembali ke khitahnya, tidak memuja mammon, atau bukan bersumber kekuasaan kapitalistik, melainkan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kepemimpinan yang bersumber pada Allah,”tandas Inggard Yosua.