Pekanbaru, majalahgaharu.com Warga pendatang baru ditolak saat hendak tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta karena beragama Kristen atau Katholik.
Penolakan itu dialami keluarga Slamet Jumiarto (42) yang akan menyewa rumah di RT 08, Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Bantul, DIY. Yang menjadi dasar penolakan itu adalah karena adanya aturan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kelompok Kegiatan (Pokgiat) tentang persyaratan pendatang baru.
Menyikapi adanya penolakan tersebutSahat Martin Philip Sinurat Aktivis Lintas Agama
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) hal ini Kamis 4/3/19, memberikan beberapa pandangan antaranya
1. Menyayangkan adanya peraturan yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan itu bertentangan dengan komitmen kebangsaan kita yang termaktub di dalam Pancasila, UUD 1945, dan Sumpah Pemuda. Kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia adalah buah dari pengorbanan para pejuang Indonesia yang berbeda latar belakang suku dan agama. Maka seharusnya setiap warga negara bebas dan berhak untuk tinggal dimana saja tanpa mempersoalkan perbedaan agama, suku, dan golongan karena Indonesia adalah hasil perjuangan kita bersama.
2. Penolakan terhadap pendatang di Dukuh Karet, Bantul, DIY ini bukan dilakukan oleh warga, melainkan oleh birokrasi di tingkatan dusun. Adalah kondisi yang berbahaya ketika birokrasi yang seharusnya menjalankan peraturan dan kebijakan berdasarkan UUD 1945, justru malahan ikut menyebarkan virus intoleransi.
3. Mengapresiasi tindakan pemerintah kabupaten dan provinsi yang dengan cepat merespon persoalan ini. Pemerintah pusat dan daerah, maupun anggota legislatif ke depannya harus mengawasi dan mengevaluasi peraturan daerah dan peraturan lainnya hingga tingkat kelurahan dan dusun agar tidak bertentangan dengan konstitusi kita yang menjamin kebebasan memeluk agama bagi setiap warga negara. Pembinaan ideologi Pancasila harus dilakukan secara sistematis kepada aparat pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah.
4. Mengajak masyarakat di daerah-daerah lainnya untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi dengan kejadian ini. Kita yakin dan optimis, mayoritas masyarakat Indonesia masih toleran dan menjunjung tinggi falsafah hidup Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika. Namun pendidikan Pancasila dan dialog antar umat beragama sejak usia dini harus dilakukan agar virus-virus intoleransi dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dapat kita atasi bersama.
5. Meminta elit-elit partai politik untuk tidak memberikan ruang bagi tindakan dan pemikiran intoleransi hanya demi meraih simpati dan elektabilitas. Undang-Undang Partai Politik telah mengatur bahwa asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 karena Partai Politik memiliki cita-cita untuk memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rakyat Indonesia sebaiknya tidak memilih calon legislatif dari Partai politik yang mendukung ataupun membiarkan adanya peraturan ataupun kebijakan intoleran dan diskriminatif di daerahnya masing-masing.
6. Kemajemukan Indonesia adalah keniscayaan yang seharusnya tidak kita permasalahkan lagi. Pemahaman ini harus menjadi kesadaran bersama agar kita dapat saling mengingatkan dan menjaga sebagai saudara sebangsa dan setanah air demi masa depan Indonesia yang toleran, rukun, dan damai.
Demikian pernyataan ini disampaikan untuk menjadi perhatian kita.