Jakarta, majalahgaharu.com Akhirnya, setelah gegap-gempita dan riuh-redah masa-masa kampanye Pemilu 2019 (pilpres dan pileg) yang panjang, maka tibalah saatnya bagi segenap rakyat bangsa ini untuk memilih. 17 April, rakyat akan menentukan pilihannya kepada siapa perjalanan pengelolaan bernegera-bangsa ini untuk 5 tahun ke depan di berikan.
Paling tidak dari pengalaman pemilu dan berdemokrasi kita, terdapat 2 jenis pemilih dan 1 golongan yang tidak memilih. Pertama adalah kelompok yang memilih salah satu dari 2 paslon (pasangan calon) Presiden-Wakil Presiden, DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dan DPD RI. Kedua, Memilih untuk tidak memilih atau sering kita sebut sebagai golput dengan segala macam alasannya. Dan yang ketiga, adalah kelompok yang tidak dapat memilih karena administrasi pelaksanaan Pemilu yang tidak terpenuhi dengan berbagai alasannya.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, yang masih dalam masa-masa transisi pasca reformasi 1998, yang sebelumnya dicoup oleh rezim orde lama dan orde Baru, demokrasi kita masihlah berada di taraf elektoral. Kedaulatan yang diberikan dan yang dimiliki oleh rakyat adalah kedaulatan menentukan pilihan kepada siapa pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara ini diberikan. Rakyat belum berdaulat sepenuhnya untuk ikut dan terlibat secara langsung menentukan bagaimana dan seperti apa pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara dijalankan. Demokrasi seperti ini kita sebut sebagai demokrasi perwakilan. Memang akan ada anggota-anggota parlemen yang secara idealnya adalah hasil pilihan rakyat dalam pemilu sebagai perwakilannya. Namun dalam implementasinya secara normatif, keterwakilan ini tidaklah dapat kemudian diintervensi oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan, apalagi untuk mencabut mandat kedaulatan yang telah diberikannya melalui Pemilu. Itulah mengapa dalam proses perjalanan pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara, sering terjadi dan munculnya perbedaan semangat dan visi antara rakyat dengan presiden dan DPR dalam berbagai kebijakan yang dihasilkannya.
Dalam sistem demokrasi yang seperti ini, sebenarnya, pemilu itu menjadi sangat penting dan krusial. Pemilu menjadi alat uji bagi perkembangang demokratisasi itu sendiri. Sebab pemilu akan menentukan orang-orang yang akan menentukan perjalanan bangsa kedepan, yang secara normatif tidak memiliki keterkaitan dengan rakyat pemberi mandat kedaulatan. Kalaupun hendak mempengaruhi kebijakan yang kemudian hari diambil oleh penentu kebijakan, dalam pengalaman berdemokrasi kita akhir-akhir ini adalah dengan membangun jejaring opini publik yang besar, atau dengan kekuatan mobokrasi. Strategi ini sering kita sebut dengan gerakan ekstra parlementer, yang keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam bangunan demokrasi itu sendiri. Sebab tidak jarang gerakan ini dibangun di atas semangat mayoritarianisme yang dapat menjadi bumerang bagi perjalanan demokrasi itu sendiri.
Karena itu, paling tidak, maka Pemilu ini harus menguji beberapa hal: Pertama, menguji Pelaksana Pemilu. Tidak dapat diabaikan, bahkan menjadi hal yang paling penting adalah pelaksana Pemilu, KPU, Bawaslu dan organ-organ dibawahnya adalah penentu berjalannya pemilu itu dengan baik. Baik dari segi tingkat partisipasi pemilih, maupun dari segi proses pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Sesuai dengan mandatnya yang diberikan oleh undang-undang Pemilu no 7 Tahun 2017, pelaksana pemilu berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menjaga dan melaksanakan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, efektif dan efisien, transparan, akuntabel, serta aksesibel; juga untuk menjaga integritas, kemandirian, kompetensi dan profesionalisme penyelenggara Pemilu dengan mengukuhkan code of conduct penyelenggara Pemilu. Dari sini maka yang sangat di butuhkan adalah independensi dan profesionalitas pelaksana pemilu.
Namun, dari perjalanan proses pemilu 2019, beberapa hal harus menjadi catatan bagi pelaksanaan pemilu ini. Pertama, banyaknya anggota masyarakat yang akhirnya masuk dalam kategori ketiga yang saya sebutkan di atas, yakni golongan yang tidak memilih akibat tidak atau belum memenuhi administrasi sebagai pemilih dan masuk dalam DPT. Tentu hal ini akan mengurangi tingkat partisipasi pemilu itu sendiri. Apapun alasannya, pelaksana pemilu telah menjadi penyebab tingginya golongan masyarakat yang tidak memilih ini. Kedua, menyangkut persoalan independensi pelaksana pemilu. Dari berbagai laporan proses pelaksanaan pemilu di luar negeri yang sudah berjalan, persoalan independensi menjadi satu hal yang muncul kepublik. Diberbagai tempat di luar negeri misalnya, yang paling santer apa yang terjadi di Sidney Australia dan Selangor Malaysia, akhirnya memicu tidak hanya perdebatan publik di Indonesia tapi juga memunculkan dugaan ketidak netralan pelaksana pemilu. Hal ini telah menimbulkan saling curiga di antara masyarakat yang berbeda kubu dan pilihan politiknya. Opini dan wacana publik tentu tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Namun bila independensi pelaksana pemilu ini akhirnya tidak teruji, yang lebih krusial adalah dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik pada pemilu itu sendiri. Dan yang paling berbahaya adalah terjadinya proses delegitimasi pemilu dan kemudian di manfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang tidak menerima hasil pemilu untuk menciptakan kerusuhan di tengah masyarakat.
Yang kedua, pemilu juga adalah proses menguji kedaulatan rakyat. Kecerdasan berdemokrasi rakyat akan diuji melalui pemilu ini. 20 tahun pasca reformasi demokrasi kita sebenarnya berhadapan dengan berbagai ancaman di levelnya masing-masing, yang akhirnya menimbulkan kamacetan demokrasi. Di level elite politik, di hampir semua kubu, sebenarnya masih terdapat bahkan sebahagian masih dikuasai oleh orang-orang lama yang masuk dalam kategori anti reformasi. Di level elite, masih sangat kuat cengkeraman oligarki warisan orde baru yang anti reformasi. Plus lagi adanya golongan elit yang mewacanakan beragam ideologi yang bahkan anti pada demokrasi itu sendiri. Untuk golongan ini, identitas agama utamanya islam menjadi argumentum ideologisnya. Memang muncul aktor-aktor politik baru yang tetap berjuang untuk demokrasi yang lebih baik, dan Jokowi yang juga secara ideologis adalah seorang yang tergolong relatif terbebas dari kedua golongan elit diatas. Dalam kondisi yang seperti itu, pemilu ini akan menjadi proses menguji kecerdasan berdemokrasi bagi rakyat. Kecerdasan demokrasi yang akhirnya akan menjadi penentu kemana dan kepada siapa kedaulatanya akan diberikan.
Namun, ujian kedaulatan dan berdemokrasi bagi rakyat ini tidak hanya ditentukan pada gambaran elite politik diatas. Realitas keterbelahan yang sedang terjadi kuat di tengah masyarakat, juga akan menjadi batu ujian berdemokrasi kita. Di tengah masyarakat, saat ini sedang terjadi pembelahan ideologi berbasis sektarian. Munculnya kelompok-kelompok yang saya sebut dengan ekstase beragama dan yang kemudian membangun basis politik identitasnya juga adalah tantangan bagi masyarakat dalam proses berdemokrasi. Hasrat kekuasaan kelompok ini dari yang kita ikuti di ruang-ruang publik adalah politik supremasi, anti-pluralis dan sangat eksklusif, yang tentu saja tidak mengandung semangat bahkan menjadi ancaman bagi perkembangan demokrasi di dalamnya. Keterbelahan masyarakat ini semakin tajam dengan banyaknya hoax yang mencecari ruang-ruang publik kita.
Dan yang ketiga, kedaulatan rakyat dan proses demokrasi dalam pemilu ini juga akan diuji oleh money politik. Jual-beli suara pada akan mengakibatkan lunturnya nilai-nilai demokrasi, mendelegitimasi dan mendistorsi proses pemilu, melemahkan akuntabilitas politik dan akhirnya menghadirkan pemimpin korup. Tingkat kecerdasan berdemokrasi masyarakat akan berbanding lurus dengan berjalannya politik uang itu sendiri.
Akhirnya, kembali kepada publik, kepada masyarakat Indonesia sendiri. Apapun pilihan kita, memilih atau tidak memilih, pemilu akan menguji berdemokrasi kita dan akan menentukan perjalanan bangsa kedepan. Dan setelahnya bersiaplah menjadi masyarakat dan warga negara yang tetap kritis mengawal pengelolaan bangsa ini kedepan.
(Penrad Siagian, aktivis pluralisme HAM dan Demokrasi. Direktur Paritas Institute Jakarta)