Jakarta, majalahgaharu.com.Penyelenggaraan Pemilihan Presiden-Wapres 2019 merupkan momentum demokratis, dengan menampilkan konstestasi pasangan capres-cawapres untuk merebut suara dukungan dari masyarakat, konstestasi ini tentunya tidak terlepas dari munculnya kerawanan konflik, baik pra maupun pasca pemungutan suara di Pilpres tersebut, namun demikian ada suatu suasana yang di wacanakan bahwa dapat memicu terjadinya polarisasi sebagai implikasi dari konstestasi, padahal hal itu kecil kemungkinan terjadi, sebab ada beberapa factor yang dapat mempengaruhi untuk mencegah kondisi tersebut, demikian dikemukakan Dr.Habib Setiawan pengamat politik kepada awak media, saat di temui di kawasan Jakarta Pusat, Selasa, 16/4/2019.
“Memang banyak pihak, memprediksi bahwa pasca pemungutan suara pilpres 2019, akan terjadi konflik hingga terjadi chaos, masyarakat di indikasikan terpolarisasi oleh pilihan politiknya baik di tingkat elit politik maupun di grass root ( akar rumput), padahal untuk terjadinya situasi itu ada syarat yang harus terpenuhinya, yakni adanya konstestasi ideologis atau adanya musuh bersama”ungkap Dr.Habib.
Menurutnya, pada awalnya, memang ada indikasi momentum kampanye pilpres 2019 ini, mendorong terciptanya konflik ideologis atau common enemy (musuh bersama), yakni Komunis Vs Khilafah, Pancasila Vs Khilafah, namun semua itu, realitasnya gagal diciptakan, karena issue tersebut tidak dilakukan dengan membangun kesadaran di tingkat basis masyarakat, hanya bermain ditingkat wacana elit politik hingga ke level menengah saja, dan terkesan hanya untuk konsumsi politik elit politik maupun parpol pendukung capres-cawapres, Mengapa demikian? Karena kesadaran masyarakat, terutamanya di tingkat grass root sudah terbentuk adanya pilihan ideologis yakni Pancasila, yang sudah ditanamkan sejak dini, sehingga mereka tidak terpengaruh issue politik terkesan ideologis, mereka lebih tertarik pada issue yang mengedepankan problem solving bagi permasalahan kehidupan dan penghidupan yang di tawarkan oleh masing-masing pasangan capres-cawapres.
“Justru potensi konflik pasca Pilpres 2019 ini, di sinyalir terjadi karena adanya dugaan kecurangan bersifat administratif, tidak terakomodirnya beberapa pemilih karena belum terdaftar di TPS dan sebagainya, yang berujung pada penyelesaian di ranah hukum, dan tidak akan terjadi konflik politik berkepanjangan hingga memicu timbulnya chaos, sebab pemicunya bukan ideologis, tidak ada trigernya.”ucap Dr Habib.
Politik di Indonesia ini, Imbuh Habib, masih menganut fatsun politik akomodatif, yang menang akan merangkul yang kalah, kalau tidak mau di rangkul, ya, mereka berada dalam posisi oposisi, di Amerika Serikat saja, ketika Donald Trump menang, pendukung Hilary Clinton banyak yang kecewa atas kemenangan Trump, mereka melakukan protes, namun tidak sampai terjadi kekacauan di seluruh negeri Amerika,tidak memerlukan waktu lama, protes itu reda, dan pendukung Hillary Clinton memilih jadi oposisi pemerintahan Donald Trump. Hal ini berbeda terjadi di Irak, Iran dan beberapa Negara Amerika Latin, konflik di Negara-negara tersebut, bisa berkepanjangan terjadi dan berlarut larut karena konflik ideologis dan ada common enemy.
“Bagi warga Indonesia gunakan hak pilih anda di pilpres 2019 ini, tetap waspada dan jangan terpengaruh oleh narasi konflik ideologis, mari sukseskan Pilpres 2019 dengan sikap dewasa dan cerdas.”pungkas Dr.Habib.