Jakarta, majalahgaharu.com Wajah Sprituil Papua. Terlepas dari kontroversi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, yang menandai titik baru dalam sejarah Papua menjadi bagian dari Indonesia, penting untuk membahas kembali wajah sprituil (watak Nasional) rakyat Papua. Identifikasi wajah sprituil ini di maksudkan agar pemerintah dapat mengelola dan memberikan kebijakan yang tepat dalam masalah Papua ke depannya.
Yang di maksud dengan wajah sprituil Papua atau watak nasional Papua adalah perasaan senasib dan sepenanggungan. Apakah rakyat Papua merasa senasib dan sepenanggungan dengan rakyat Indonesia ketika di jajah Belanda atau justru rakyat Papua punya rasa yang berbeda dengan yang di miliki oleh rakyat Indonesia.
Jika rasa tersebut tidak di miliki atau ada perasaan yang lain tentang wajah sprituil rakyat Papua, maka logis jika rakyat Papua mengatakan bahwa sudah terbentuk entitas “Bangsa” tersendiri. Maka konsekwensi secara hukum, layak di berikan forum demokratis untuk menentukan nasibnya sendiri. Karena menentukan nasib sendiri merupakan Hak Azasi Manusia yang melekat pada suatu bangsa, tidak ada seorangpun yang boleh mencabut hak tersebut, kecuali sang pemberi hak yaitu TUHAN. Untuk melihat kebenaran objektif wajah sprituil atau watak nasional rakyat Papua, kita harus kembali menapak tilas sejarah Papua dalam arus besar gerakan pembebasan nasional yang terjadi di Nusantara pada awal abad 20.
Posisi Papua
Papua memiliki luas 808.105 km persegi dan merupakan pulau terbesar kedua di dunia dan terbesar pertama di Indonesia. Awal abad 19 hingga memasuki abad 20, bisa di katakan sebahagian besar masyarakat Papua berada di luar peradaban kapitalisme yang modern. Letak dan daerah geografis Papua yang bergunung gunung, kepadatan hutan dan juga jurang yang curam, sulit untuk dilalui dan memisahkan mereka dari peradaban luar. kelompok kelompok di antara mereka tersebar di berbagai belahan gunung yang maha luas dan rimbun, sementara populasi penduduk hanya sekitar 700.000 pada tahun 1963. Bisa terbayangkan jumlah populasi penduduk Papua awal abad 19.
Karena spesifik wilayah dan georafis tersebut, orang-orang Papua hidup dalam kelompok-kelompok yang diisolasi oleh perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya selama berabad-abad, bahkan mempunyai bahasa yang jumlahnya ratusan sesuai dengan jumlah kelompok masyarakat yang ada. Dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada pada tahun 1963, 500.000 di antara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami antara satu dengan yang lainnya.
Ketika arus kolonialisasi dan birokrasi kapitalisme Belanda mencengkram kerajaan-kerajaan serta menyatukan berbagai wilayah dan ekonomi yang ada di Nusantara, dalam bentuk pembangunan jalan, pelabuhan, kereta api, perkebunan, mata uang tunggal dan mobilisasi pribumi secara besar besaran untuk di exploitasi dalam kepentingan pembangunan Belanda, kondisi tersebut tidak terjadi di Papua, hal ini di sebabkan Belanda, bahkan Jepang kesulitan menembus medan yang padat dan rimbun serta tidak mampu memobilisasi berbagai kelompok masyarakat pribumi Papua, karena mereka tersebar di balik gunung dan rimbunnya hutan Papua.
Dampak dari situasi tersebut menyebabkan tidak terjadi kesatuan wilayah, kesatuan ekonomi dan kesatuan bahasa dalam sejarah perkembangan masyarakat Papua di era kapitalisme yang mulai menggelobal. Karena tidak adanya kesatuan dari tiga komponen tersebut, mengakibatkan mayoritas rakyat Papua tidak merasakan dampak penjajahan yang menindas tersebut yang melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan sesama rakyat Papua, rasa tersebutlah sejatinya gambaran wajah sprituil atau watak nasional rakyat Papua.
Jejak kolonialisme dan kapitalisme Belanda di Papua, hanya terjadi di daerah yang menjadi sumber exploitasi berupa tambang, pertanian, pasar dan daerah perkotaan yang bisa di jangkau oleh transportasi laut dan darat, dan hanya di rasakan 5-10% dari populasi rakyat Papua yang ada. Walaupun dalam sejarah tahun 1930-1948 di beberapa daerah Papua pernah muncul perlawanan terhadap Belanda, sipatnya lebih pada benturan nilai-nilai agama Kristen yang di bawa Belanda berhadapan dengan nilai dan budaya masyarakat lokal Papua. Peperangan ini tidak sampai berproses menjadi gerakan perjuangan pembebasan nasional yang punya sentimen ke Indonesiaan. Dengan isu yang sama, gerakan perlawanan Sisingamangaraja terhadap Belanda justru berproses dan terintegrasi dalam arus perjuangan pembebasan nasional Indonesia. Gerakan ini mendapat dukungan rakyat Batak dan terbangun aliansi dengan masyarakat luar batak (Aceh),
Oleh karena itu, praktis sejak kolonialisme Belanda masuk ke Papua awal abad 20 hingga tahun 1963, bahkan hingga saat ini, Papua tidak memiliki wajah sprituil atau watak nasional yang bisa di katakan bagian dari rasa kebangsaan Indonesia, tetapi juga belum muncul entitas sebagai “Bangsa Papua”. Dalam proses perkembangan sejarahnya, ketika ada sengketa antara Belanda dengan “Bangsa” yang baru lahir bernama Indonesia, elit politik dan beberapa tokoh masyarakat Papua justru memihak Belanda, hal ini di sebabkan Belanda mulai melakukan pendekatan pembangunan dan kemanusiaan untuk menarik dukungan dan ketaatan spontan rakyat Papua dengan membangun rumah sakit, sekolah dan melibatkan kelas menengah dan elit politik Papua dalam birokrasi negara boneka Papua Barat bentukan Belanda.
Sementara sebahagian elit politik Papua yang lain, menerima gagasan perjuangan pembebasan nasional bersentimen ke Indonesiaan, di pasok oleh aktivis digulis yang di buang Belanda ke Papua. Sentimen ke Indonesiaan juga hasil interaksi dengan orang Jawa yang di mobilisasi Belanda untuk mengerjakan proyek kolonial. Pasokan dari aktivis digulis dan interaksi dengan transmigran jawa melahirkan Partai Pro Indonesia yaitu Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) dan Komite Indonesia Merdeka (KIM). Dua organisasi ini menjadi oposisi bagi Belanda di Papua. Sehingga wajah elit papua terbelah dan tidak tunggal, satu pro Indonesia dan satu kelompok lagi pro terhadap Belanda. Tetapi kedua wajah sprituil ini bersipat exclusif dan tidak bisa di jadikan gambaran wajah sprituil rakyat Papua secara keseluruhan, atau dengan kata lain ada ambiguitas di wajah sprituil para elit Papua saat itu.
Keberhasilan pemerintah Indonesia merebut Papua dalam PEPERA, tidak bisa di simpulkan telah lahir sentimen ke Indonesiaan di elit Papua dan rakyat Papua. Bergabungnya Papua ke Indonesia semata mata karena strategi yang tepat diambil oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi dan bargaining politik terhadap PBB dan Amerika. Bagi Amerika sendiri, jauh lebih menguntungkan melakukan kerjasama pengelolaan tambang emas Freeport dengan Bangsa Baru bernama Indonesia, di banding Belanda. Sebab Belanda punya modal, teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengexploitasi tambang Freeport tanpa bantuan Amerika.
Strategi Konsolidasi Nasionalisme Indonesia:
Kebijakan rezim Orde Baru yang bersandar pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik dengan memakai pendekatan militer dan kekerasan, mengakibatkan luka di hati rakyat Papua. Mulai dari Repelita 1-IV, rakyat Papua merasa program pembangunan yang di jalankan serta distribusi ekonomi yang tumbuh, tidak mengalir secara merata dan berkeadilan terhadap rakyat Papua. Kondisi batin rakyat Papua semakin luka di sebabkan dominasi dan hegemoni kaum pendatang (Trasmigran), yang jumlahnya hampir mencapai 45% dari populasi warga Papua sendiri. Para pendatang tersebut menguasai akses ekonomi dan birokrasi sehingga menyebabkan terjadi kecemburuan sosial yang menyebar di kalangan penduduk pribumi. Di sisi lain, Nasionalisme Indonesia di pasok ke rakyat Papua di bawah todongan senjata. Dalam titik tertentu, Orde Baru justru membuat pondasi dasar bagi terbentuknya wajah sprituil atau watak nasional baru berkarakter anti Indonesia, jika tidak di antisipasi akan bermuara pada munculnya entitas “Bangsa” Papua yang baru.
Memasuki era reformasi, konsolidasi Nation (Bangsa) Papua terintrupsi, karena . Presiden Abdurrahman Wahid melakukan pendekatan lebih manusiawi yang berbasiskan nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat Papua. Salah satu pendekatannya adalah demiliterisasi dan memenuhi permintaan sebagian masyarakat untuk mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Kebijakan Gusdur ini pada satu priode tertentu, membantu memperkuat konsolidasi Nasionalsime Indonesia dan mengintrupsi nasionalisme Papua.
Sudah tepat Presiden Jokowi membangun infrastruktur jaringan tulang punggung pita lebar serat optik sepanjang 8.772 kilometer, yang berada pada jalur Sulawesi-Maluku-Papua Cable System (SMPCS) bernilai Rp3,6 triliun di Manokwari, Papua Barat, pada 10 Mei 2015. Kemudian Jokowi juga membangun 6 infrastruktur kelistrikan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat senilai Rp989 miliar pada Oktober 2016, serta membangun Jalan Trans Papua 4.330 km yang sudah tersambung seluruhnya pada akhir 2019. Di sisi lain, program percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus, sangat membantu perekonomian rakyat Papua. Kebijakan program dan strategi pembangunan seperti ini tidak mampu di lakukan oleh Kolonial Belanda serta luput dari kebijakan pembangunan Orde Baru.
Jika Presiden Jokowi tetap konsisten membangun Papua dengan mengintegrasikan infrastruktur dan industrialisasi ke desa desa, serta menjadikan desa sebagai sentral ekonomi dan pusat perputaran uang di Papua, tentu saja dengan mengaktifkan tenaga kerja pribumi dan nilai nilai lokal Papua, maka akan terjadi percepatan penyatuan wilayah dan penyatuan ekonomi yang berdampak terbangunnya sentimen berbahasa Indonesia dalam percakapan sehari hari rakyat Papua. Kesatuan wilayah, kesatuan ekonomi dan sentimen bahasa inilah yang menjadi basis lahirnya wajah sprituil atau watak nasional Papua yang merasa senasib dan sepenanggungan dengan rakyat Indonesia lainnya. Rasa kebangsaan dan jati diri Indonesia yang muncul tersebutlah yang menjadi modal dan benteng sosial rakyat Papua, untuk itu penyelesaian masalah Papua lebih diharapkan melalui pendekatan Budaya, Bukan militer,serta menjadikan budaya Keindonesiaan Berdaulat di dalam kehidupan Masyarakat Papua(*)
Penulis: Ign Tricahyo