Daring PEWARNA : Gereja harus Tetap Memilihara Sentuhan Langsung ke Jemaat

Ayo Bagikan:

Jakarta, majalahgaharu.com Saat dunia dilanda pandemic corona memaksa semua tatanan kehidupan yang sudah terbiasa dijalani  dalam kehidupan sehari-hari spontan  berubah. Kebiasaan untuk bertatap muka dan berkumpul belum lagi budaya rangkulan dan cipika cipiki harus dihentikan karena sifat virus covid19 yang mudah menular.

Perubahan gaya hidup serta pergaulan inilah yang harus disikapi dengan cepat serta cerdas termasuk bagaimana gereja dalam membuat strategi baik dalam tatanan ibadah maupun menopang kehidupan jemaatnya.

Dalam rangka menyikapi gereja dalam membuat strateginya PEWARNA Indonesia menggelar diskusi daring Selasa, 4/9/20 dengan tema strategi gereja saat corona di tangan generasi kedua.

Menghadirkan pendeta-pendeta yang relative masih muda (generasi kedua) dari lintas gereja seperti Cindy Tumbelaka dari GPIB, Pdt Sampe Rowu dari HKBP, Ps. Stephen Erastus dari GSKI, Ps. Garren Lumoindong dari GBI GLOW serta penanggap Pdt. Dr Elia Tambunan seorang akademisi dan gembala jemaat GPdI Salatiga.

Menyikapi kondisi pandemic saat ini sebagai generasi  kedua Pdt Cindy dalam pemaparannya berdasarkan pengalaman pelayanannnya. Di mana ibadah terakhir secara langsung itu dilaksanakan tanggal 15 Maret 2020, yang selanjutnya gereja-gereja melayani ibadah dari rumah (WFH), perubahan strategi dari yang biasanya secara langsung atau tatap muka, namun dengan adanya pandemic perlu dilakukan ibadah daring atau live streaming.

Diakuinya  di ranah pelayanan GPIB,  situasi ibadah dengan daring ini sangat baru dalam budaya bergereja di kalangan GPIB sendiri,

Namun sekalipun masih baru, perlu penyesuain sana-sini, ada yang menjadi pembahasan ataupun percakapan di lingkup GPIB saat ibadah daring, menyangkut persoalan perjamuan kudus boleh tidak dilaksanakan secara daring.

Apakah dalam pelayanan perjamuan kudus ini bisa dilayani oleh kepala-kepala keluarganya. Situasi ini yang diakuinya belum siap dalam kondisi ini, apalagi dalam penggunaan tehnologinya sendiri juga masih menghadapi kendala seperti  jaringan internetnya, karena bicara GPIB itu sudah masuk ke berbagai pelosok.

Sementara tata gereja yang ada, tidak mampu menjawab persoalan saat tiba-tiba terjadi corona, karena memang tata gereja sendiri dibuat saat kondisi stabil. Situasi pandemic oleh Cindy bisa dikatakan membangun menara Babel di mana saat giat-giatnya membangun gereja dan pengembangan program ternyata semuanya bubar, baik aktivis yang secara kesehatan terganggu, belum duka yang berturut-turut dan yang tak kalah penting adanya krisis ekonomi akibat PHK dan sebagainya.

Dari peristiwa ini jelas menyebabkan ekonomi jemaat terganggu sehingga berdampak pada persembahan jemaat pada gereja, sementara ada juga persoalan bagaimana jemaat menyampaikan persembahan ke gereja karena semua harus di rumah.

Sekalipun jemaat masih mengumpulkan persembahan di keluarga masing-masing kemudian gereja mengatur kapan jemaat harus mengatar persembahan ke gereja ataupun ada petugas yang memang mengumpulkan persembahan-persembahan dari keluarga-keluarga,

“Benar-benar saat awal pandemic gagap dalam menghadapi kondisi ini, namun seiring perjalanan baru kemudian gereja bekerjasama dengan aplikasi digital baik OVO dan Gopay untuk mempermudah cara memberikan persembahan.

Padahal sebelumnya sudah ada satu gereja yang menerapkan sistem tersebut saat belum ada pandemi masih menjadi bahan tertawaan karena dianggap terlalu vituristik dan apakah dapat casbacknya.

Tetapi ternyata dengan pandemic cara persembahan melalui media semacam itulah cara yang paling aman untuk menghindari dari kontak fisik.

“Awalnya apa yang menjadi tertawaan itu tetapi sekarang gereja harus menjadi pekerjaan untuk bekerjasama termasuk digital printing harus ditempuh’, ujarnya.

 Sedangkan ibadah daring memang jemaat bisa mengikuti, ibadah gereja manapun tetapi ada yang menarik persembahan tetap diberikan kepada gereja yang terdaftar itulah fenomena saat pandemic, mengapa bisa seperti itu semata karena faktor akses dan familiarnya jemaat itu sendiri.

Berbicara kemerosotan ekonomi gereja, karena adanya ekonomi jemaat yang melemah dan ini belum ditemukan cara yang mudah bagaimana mengatasinya dan itu biasanya dihadapi GPIB-GPIB yang di perkotaan sedangkan di pelosok-pelosok masih aman karena tidak terpengaruh dampak seperti di perkotaan.

Lebih lanjut Cindy sendiri dalam menghadapi kondisi ini, ada terobosan yang perlu dilakukan dengan efiesiaensi di segala bentuk bidang kegiatan, kalau dulu GPIB dan PGI meneriakan keugaharian dan pada kenyataannya hanya teriakan kosong, namun saat ini benar-benar keugaharian itu harus mewujud, dalam kehidupan bergereja bukan berarti berlagak miskin tetapi memang benar-benar membuat segala sesuatunya efesian dan efektif.

Gereja yang harus mampu membangun disipilin diri seperti dalam ibadah atau pertemuan-pertemuan lewat daring. Jemaat harus serius bukan sambil tiduran ataupun sambil kegiatan lainya. Jadi walaupun tidak bertatap muka harus tetap disiplin.

Kemudian pengkotban harus kreatif dan komunikatif dalam membangun relasi dengan jemaat. seperti renungan pagi, sapaan-sapaan malam melalui berbagai media yang ada, tetapi harus juga ada sentuhan personal agar tetap ada hubungan yang intens antara jemaat dan pendetanya.

Pesan Cindy terakhir, gereja harus memikirkan ekonomi jemaat, bicara pelayanan karikatif itu belum cukup tetapi harus tetap pada pemberdayaan ekonomi jemaat itu yang utama, dan melalui group group media WA atau lainhya jemaat diperbolehkan menawarkan barang dagangannya.

Sedangkan Pdt Sampe Rowu dari HKBP Kebon Jeruk Jakarta Barat, giliran merespon dalam menyikapi strategi sebagai generasi kedua atau muda, sama seperti paparan pdt. Cindy  awalnya pelayanannya di HKBP Kebon Jeruk selama tiga minggu tidak ada ibadah, sedangkan pelayanan secara daring dilakukan oleh distrik HKPB DKI Jakarta.

Lantaran kesiapan jemaat belum ada kalau kemudian harus menyediakan pelayanan ibadah streaming atauun online. tetapi setelah itu jemaat menggumuli sendiri, bagaimana jemaat HKBP Kebon Jeruk sendiri bisa melayani sendiri, tujuannya agar jemaat tersentuh terhadap pelayanan pendeta dan penatua di gereja lokalnya. Hingga akhirnya mampu sendiri melayani ibadah secara online bukan saja ibadah minggu tetapi juga ibadah wilayah.

Berbicara persembahan sama juga sama, dengan cara dikumpulkan penatua wilayah, namun kini HKBP sendiri khususnya Kebon Jeruk sudah melakukan terobosan dengan memberikan persembahan dengan aplikasi ataupun emoney dan hingga sekarang berjalan dengan baik,

Mengenai ketidaksungguhan jemaat dalam beribadah secara online itu sangat mungkin, jangankan ibadah online di rumah, di gerejapun kadang secara fisik hadir di gereja namun pada kenyataannya mungkin dia tak sungguh-sungguh melakukan ibadah karena pikirannya sedang kemana-mana.

Menghadapi situasi pandemic ini Sampe mengeaskan itu sudah mejadi tugas pendeta agar tidak menyerah untuk terus melakukan pelayanan bagi jemaat yang seperti itu.

Langkah yang dilakukan atau strategi gereja dalam membantu jemaat ataupun masyarakat yang terdampak, HKBP membentuk tim tanggap bencana yang tugasnya menggalang dana dari jemaat-jemaat yang diberkati. Kemudian dananya disalurkan untuk mereka yang membutuhkan terutama jemaat yang sangat terdampak secara ekonomi.

Seperti pembagian sembako kepada jemaat, nah terobosan yang lain perlu pelayanan berbeda karena bicara HKBP itu juga terdapat diberbagai wilayah yang berbeda seperti jemaat HKBP Kampung Sawah ternyata sangat minim jemaatnya menggunakan gadget itu sendiri.

Berbeda dengan dua pemapar baik dari GPIB dan HKBP, Ps. Stephen Erastus putra dari pendeta Dr. Erastus Sabdono bahwa  GSKI sendiri bapak gembalanya yakni pdt. Dr Erastus Sabdono sejak lima tahun yang lalu sudah menerapkan penggunaan tehnologi baik penyelenggaraan ibadah secara online maupun cara memberikan persembahan dengan menggunakan emoney.

Tentu saja dengan tatap muka langsung ketika itu juga dilakukan. Artinya terang Stephen bahwa kondisi pandemic justru semakin menguatkan apa yang sudah dilakukan dalam gereja melakukan pelayanan terhadap jemaatnya. Sekalipun diakui juga saat pandemic seperti ini, ada yang hilang karena kurangnya sentuhan gembala atau pelayan terhadap jemaat karena tidak adanya bertemu langsung.

Kemudian menyangkut beberapa kegiatan ibadah di gereja dengan kondisi sekarang semua dilakukan secara online tinggal bentuknya saja yang berbeda, misalnya kalau umum memakai youtube, untuk kalangan muda memakai istragram karena mereka lebih dekat dengan istagram.

 “Dengan aktifnya menggunakan sarana pelayanan melalui media atau tehnologi di gereja kami yang paling sibuk bagian medianya”, ujarnya tersenyum.

Berbicara persembahan seperti apa yang diyakininya bahwa Tuhan sudah membukakan jalan di mana sebelum pandemipun GSKI sudah menggunakan persembahan dengan cara uang elektronik, Menurutnya media-media itu toh juga Tuhan juga sediakan.

Mengenai bagaimana GSKI sendiri dalam membantu perekonomian jemaat bahkan bukan saja jemaat nya saja tetapi juga lintas gereja dengan memberikan bantuan kepada 2000 gembala di pedesaan dan juga membantu berbagai komunitas.  Termasuk juga dengan pemberdayaan ekonomi jemaat kini GSKI sudah memiliki aplikasi yang bernama Manna.

Serupa dengan apa yang sudah dipaparkan Stephen dari GSKI, Ps. Garren Lumoindong putra dari pendeta Gilbert Lumoindong yang sempat dijuluki pendeta sejuta umat bahwa GBI GLOW sudah menerapkan pelayanan secara online sudah tahunan yang lalu,

Diakuinya awal pelayanan menggunakan internet membuat sebagian jemaatnya waktu itu sempat agak menurun, karena kotbah yang dilakukan pendeta Gilbert melalui online yang dilakukan diluar gereja saat ibadah.

Namun bersyukurt lama-lama jemaat jadi terbiasa menghadapi strategi ibadah dengan online tersebut. Lebih lanjut di era digital seperti ini jemaat bisa mengikuti tayangan dari gereja manapun sepanjang bisa membangun tingkat kerohaniannya.

Artinya gereja tidak hanya focus membangun gedung gerejanya tetapi lebih pada kerohaniannya, apalagi di era sekarang jemaat bisa mendapatkan dari mana saja termasuk dari gereja lain. Jadi tidak boleh lebih mempertahankan jiwa daripada mengjangkau jiwa.

Tugas gereja bukan menjaga anggota agar tidak keluar gereja tetapi lebih menjangkau jiwa untuk orang-orang yang belum mengenal Kristus .

Demikian juga merangkaul banyak orang Kristen yang belum bergereja. “Tugas kita bagaimana bisa melibatkan dan membawa masuk dalam gereja. Karena banyaknya gereja juga karena banyaknya orang, tinggal memilih saja mau yang gereja yang konservatif, tradisional ataupun kharismatik dan lain sebagainya”, tuturnya.

“Saya menjadi bangga karena banyaknya orang bergereja yang menjadi komunitas dan berdampak”, ujar nya mantab.

Gereja juga membawa fashion yang beda pula bagaimana penampilan jemaat di suatu aliran gereja tertentu membawa model tersendiri termasuk juga penampilan pendetanya.

Berbicara tanggung jawab gerejanya memberikan makanan rohani seperti yang dilakukan gembalanya Pdt Gilbert Lumoindong live setiap pagi di youtube yang dilakukan di mana saja baik dari rumah, saat perjalanan ataupun saat kegiatan kegiatan tertentu dengan memberikan renungan dan interaksi dengan jemaat.

Sedangkan Pdt Dr Elia Tambunan yang mendapatkan kesempatan sebagai penanggap mengatakan berangkat dari pelaku perintis gereja yang sekaligus akademisi, Elly melihat yang paling tepat mengistilahkan kondisi gereja saat ini adalah korban Church dalam masa Postmodereisme. Bagaimana sebenarnya gereja di masa post modern lalu ada empat contoh dari teman teman narsum yang sudah memaparkan diawal.

Lalu dibagi dua satu gereja yang santai dan hening saja satu lagi gereja yang penuh dengan emosi (positif).

Menanggapi dari Pdt Cindy tentang sakralitas lalu diubah dengan covid tersebut, kemudian kita diajari oleh musibah tersebut. Maka gereja-gereja mainstream yang terlalu rijid dalam liturgisnya dalam write teologinya dia harus menjadi is spritual money, sementara di teman teman gereja yang sering bermain emosi itu Allah itu sudah biasa tidak masalah. Mau covid seribu tahun lagi tidak masalah, seperti Ps Garren dari pemaparannya itu tonenya sudah biasa. Hanya persoalannya di dalam a play relegion servis itu seperti tadi ada WFH.

“Saya ingin menegaskan bahwa pesan teman teman mainstream itu momentum untuk relijiditas teologi itu ternyata menghambat bagaimana bertarung di ruang public soal jemaat itu”, tandasnya.

Elia lebih lanjut menegaskan sesuai tema bagaimana mengatasi mudahnya berpindah jemaat di masa pandemic tersebut. Nah, menurutnya tidak perlu religiditas itu dipertahankan dalam hal pastoringnya namun teologinya yang harus dipertahankan.

Sedangkan gereja urban di HKBP masalah Church finansial dan itu semua mengalami, lalu bagaimana orang bisa memastikan jemaat benar-benar ibadah bukan sekedar nonton pdt di youtube, ini menjadi persoalan tersendiri. Karena HKBP sangat kolegial atau kesukuan yang mereka berjuang secara komunal secara sacral. Apalagi kalau gereja HKBP, Pdtnya belum mendoakan usaha jemaatnya atau anaknya masih kurang.

Diskusi daring yang diadakan selama dua jam ini di moderator Thomas Gunawan jurnalis PEWARNA dari media Tirta TV,  berlangsung menarik dan banyak respon positif yang disampaikan oleh partisipan. Smoga bermanfaat untuk gereja tetap focus pada panggilannya di tangan generasi kedua.

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Eksekusi atas Putusan Peninjauan Kembali Perkara Djoko Tjandra Sesuai dengan Hukum Acara Pidana

Thu Aug 6 , 2020
Jakarta, majalahgaharu.com-Dalam Perkara Pidana terdapat beberapa jenis putusan hakim, yakni (i) Putusan pengadilan yang berupa pemidanaan, dimana Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan; (ii) Putusan pengadilan yang berupa pembebasan dari segala dakwaan (vrijspraak), Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan […]

You May Like