Majalahgaharu-Jakarta-Berbicara dengan Otsus Papua bagi Anton Tarigan yang sudah bergelut di bumi Cendrawasih beberapa tahun di sana, sangatlah memahami kondisi Papua dan Papua Barat. Bagi Anton yang juga gembala jemaat Gereja di Berastagi Sumatera Utara ini menegaskan bahwa untuk menyelenggarakan pembangunan di Pulau Papua tidak mudah, menurut Anton Tarigan, karena keragaman suku, budaya dan wilayah.
Orang luar Pulau Papua, mungkin melihat bahwa semua Papua sama saja, padahal tidak demikian. Untuk pembagian wilayah saja, perlu dilakukan berdasarkan pembagian budaya. Dengan demikian, untuk melihat pembangunan di Papua, harus ada di Pulau Papua, tanpa terlibat di dalam pembanguan Papua, maka akan sulit melihatnya.
Mandat dari UU Otsus, menurut Anton, yang paling inti adalah Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi. Ini menjadi indikator awal untuk menilia, apakah Otsus sudah berjalan dengan baik atau tidak? Kemudian, Apakah sudah ada evaluasi yang dilakukan secara comprehensive? Sehingga ada basis data yang bisa dipakai dalam membuat keputusan-keputusan terkait Otsus.
Lebih lanjut, Anton juga mempertanyakan terkait dalam mengambil keputusan oleh pemeritah. Apakah dalam mengambil keputusan, sudah dilakukan secara komprehensif dengan sedemikian rupa? Proses pengambilan keputusan bisa melalui bottom-up dan bisa secara top down atau dilakukan dengan kedua-duanya.
Dalam mengambil keputusan, menurut Anton, harus melibatkan dari semua pihak, misalnya gereja, pemuda, tokoh perempuan yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan di Pulau Papua. Dengan demikian keputusan tidak prematur dan bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Jika dana Otsus tidak ada, bagaimana Pemprov memenuhi anggaran Pembangunan? Lanjut Anton, mempertanyakan. Wilayah Pulau Papua itu luas sekali, sehingga biaya pembangunannya berbiaya tinggi. Untuk mengelola biaya pembanguna bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat jika dibandingka di wilayah Indonesia Barat. Untuk biaya transportasi sangat tingga, karena beberapa wilayah harus dijangkau dengan transportasi udara.
Lebih lanjut disampaikan bahwa Papua masih membutuhkan pembangunan yang massive di hampir semua bidang. Hingga saat ini Dana Otsus berkontribusi lebih dari 50% bagi APBD Provinsi.
Anton menyodorkan dua pertanyaan, yaitu jikalau setuju dengan Otsus, maka bagaimana mengelola dana Otsus dengan lebih baik, sehingga menjawab persoalan utama yang dibutuhkan orang Papua? Jikalau tidak setuju dengan Otsus, bagaimana memenuhi anggaran pembangunan, tanpa mengorbankan prioritas pembangunan? Tidak bisa dipungkiri bahwa kontribusi dana Otsus sangat besar untuk Pulau Papua, kata Anton.
Pandangan Anton ini disampaikan saat webinar Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia dengan tema Kesejahteraan Papua dalam kerangka Otsus. Selain Anton beberapa narasumber yang hadir antaranya
Budi Arie Setiadi, Wakil Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia, Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si., Tenagah Ahli Utama KSP, Dr. Ir. Anton Tarigan, MBA, Pemerhati Pembangunan Sosial Kemasyarakatan Papua, dan Mamberob Yosephus Rumakiek S.Si., M.Kesos, Anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat.
Serta dua penanggap Dr, Herry Saragih Cenkrisindo yang mempertanyakan dana otsus yang sudah dua puluh tahun tapi tak kunjung sejahtera, kemudian dalam tanggapannya juga menanyakan bagaimana ormas-ormas Kristen terutama bisa bersinergi dalam membangu Papua, selain Herry Saragih ada juga Dwi Urip Premono penulis buku tentang Papua.