Majalahgaharu-Jakarta-Sebagai putra Papua Ali Mochtar Ngabalin yang saat ini dpercaya sebagai staf Ahli Utama KSP, menyampaian apresiasi dan rasa senangnya kalau Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia bisa memfasilitasi diskusi, hal itu disampaikan ketika menjadi salah satu narasumebr dalam webinar bersama Budi Arie Wamen kemendes, Antoh Tarigan pemerhati sosial budaya Papua, Mamberob Y. Rumakiek anggota DPD RI serta dua penanggap Dr Herry Saragih Sekjen Cenkrisindo dan Dwi Urip Premono penulis buku tentang Papua.
Lanjut Ngabalin, paling tidak dalam pertemuan ini, harus ada semacam rekomendasi, sebagai tanggung jawab masyarakat kepada publik untuk menyampaikan dan mengingatkan pemerintah.
Sebagai anak Papua, lanjut Ngabalin, punya tanggung jawab yang tidak ringan. Oleh karena itu, materi-materi penting yang sudah disampaikan, bisa menjadi catatan-catatan khusus. Khusunya yang menyerap aspirasi dari masyarakat.
Otsus ini, menurut Ngabalin, sangat strategis dalam rangka memberikan pelayanan dan akselerasi pembanguna dan pemberdayaan di tanah Papua. Pemberdayaan SDM di tanah Papua sangat penting. Untuk membangun SDM bagi anak-anak Papua, tidak bisa dengan yang lain, harus melalui Pendidikan. Pendidikan menjadi hal yang penting dalam rangka Otsus.
Penekanan Presiden dari lima program penting untuk pembangunan Papua diprioritaskan pada Pendidikan, ungkap Ngabalin. Selain pendidikan, prioritas utamnya adalah Kesehatan, Infrastruktur, Ekonomi dan Kerakyatan yang dikaitankan pada afirmasi UUD 1945. Pintu untuk memberdayakan dan mengkat harkat matabat suatu komunitas adalah melalui pendidikan.
Ngabalin mengutarakan, bahwa UU Otsus, prinsipnya memberikan perlindungan atau melindungi terhadap pasal-pasal yang penting dalam rangka mengangkat hak-hak kesulungan orang Papua dalam NKRI. Apapun yang dilakuka orang Papua, tidak ada lagi kecurigaan dan tidak ada lagi potensi perlawan terhadap NKRI.
Tanggapan dari Herry Saragih selaku Sekjend Senkrisindo, dana yang digelontorkan untuk wilayah Papua, tahun 2015-2021 sebesar 22,46 Triliun, sementara untuk Papua Barat alokasi dana sebesar 6,86 Triliun. Muncul pertanyaan, seperti apa implementasi dana tersebut dan ke wilayah mana saja dana tersebut disebarkan? Lalu apa dampak atau hasil dana Otsu yang sudah diturunkan? Perlu ada evaluasi dan pengawasan terhadap penggelontoran dana tersebut.
Lanjut Herry Saragih, Bagaimana menyiasati sinode-sinode yang ada di Papua, karena hampir seluruh sinode menolak untuk Otsus? Mengapa sampai terjadi penolakan terhadap Otsus oleh gereja, apakah karena wilayahnya dipilih-pilih untuk digelontorkan dana, sehingga tidak merata? Mengapa Papua menjadi wilayah termiskin, padahala dana Otsus selama 20 tahun ini bisa mencapai ratusan Triliun? Dengan demikian, perlu ada audit dari pemerintah pusat agar ada keseimbangan terhadap yang menolak Otsus. Pihak yang menolak Otsus hak-haknya dibela. Dana yang digelontorkan sangat besar, namun tidak terlalu terasa hasilnya.
Penanggap kedua Dwi Urip Premono, selaku Direktur Pusat Kajian dan Pelatihan Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya. Pada tahun 2015, Dwi dan tim, memulai sebuah penelitian di wilayah Papua Barat dan menghasilkan 1 buku yang cukup komprehensif untuk menggambarkan kehidupan sosial dan budaya di 13 Kabupaten dan Kota di Provinsi Papua Barat.
Terkait tema, Dwi menyampaikan bahwa tema Kesejahteraan Papua dalam rangka Otsus, mungkin harapannya yang menjadi subjek atau pokok pikirannya, bukan Otsus, tetapi kesejahteraan Papua. Jadi mungkin maksudnya adalah kesejahteraan Papua dalam kerangka Otsus. Kalau mau ditambahkan lagi sebetulnya sesuai semangat dari Otsus, bukan melulu kesejahteraan Papua saja, tetapi ada aspek suasana damai. Kalau mau ditambahkan, judulnya Kesejahteraan dan kedamaian Papua dalam kerangka Otsus.
Dwi menggambarkan dalam satu skema dengan dua kata kunci sesuai dengan tema. Di satu sisi ada Otsus dan di sisi lainnya ada Kesejahteraan Papua. Skala kontinum itu, idealnya bergerak kearah kesejahteraan Papua yang ada di sebelah kanan. Di bagian Otsusnya, aspek yang terjadi pada umumnya adalah aspek yang terkait sejarah, politik, landasan hukum, keamana, keadilan, HAM dan alokasi anggaran.
Di sisi lain, kata Dwi, sasaran Otsus adalah kesejahteraan Papua. Beberapa faktor yang bisa dibahas secara mikro atau secara detail. Ada faktor kepemimpinan, faktor rentang kendali, ada manajemen keuangan, kualitas pelayanan publik, kualitas pembangunan fisik, kualitas sumber daya manusia, suasana damai, dan kesejahteraan yang termasuk didalamnya pendidikan dan kesehatan, pekerjaan dan penghasilan.
Hal-hal ini menjadi pertimbangan ketika dua pihak yang pro dan kontra secara subyektif untuk memberikan responsnya. Tidak hanya pada dua kelompok yang pro dan kontra saja, tetapi ada satu pihak yang menghendaki untuk di evaluasi secara sistematis dan komprehensif, uangkap Dwi.
Kesejahteraan Papua dimulai dari faktor kepemimpinan, terang Dwi. Kepemimpina di daerah sudah mampu membawa dan mewujudkan spirit Otsus ini sesuai dengan tujuannya. Faktor Kepeminan sangat esensial, terutama di masayarakat yang sifatnya komunal atau kebersamaan. Faktor kepemimpinan di daerah Asia, menjadi sentral karena bisa menjadi good father, kemana masayaratnya akan di bawa. Perlu ada konsep kepemimpina yang kuat, bahkan yang sangat kuat hingga cenderung keras, namun yang berpihak pada masyarakatnya.
Dwi menyodorkan pertanyaan, apakah sistem pemilihan yang ada sekarang di Provinsi Papua dan Papua Barat sudah bisa menghasilkan pemimpin yang ideal? Ini menjadi wacana yang agak berbeda, jika dibandingan dalam pembahasan-pembahasan terkait Papua.
Terkait Otsus, menurut Dwi, harus ada langka konkret yang bisa diimplementasikan. Apakah pemimpin disana sudah mempunyai kemapuan untuk menguasai dan mengendalikan seluruh wilayah di daerah Papua? Ini menjadi hal penting untuk didiskusikan, tutupnya.
Oleh: Ashiong P. Munthe, Litbang Pengurus Pusat PEWARNA Indonesia