Majalahgaharu-Jakarta-Pro kontra tentang UU Penistaan agama belakangan ini kembali mencuat lantaran polisi menetapkan Joseph Paul Zhang sebagai tersangka dua hari setelah dilaporkan pihak Muanas Alaidid kader Partai Solidaritas Indonesia. Kontan peristiwa tersebut menjadi perbincangan hangat di kalangan tokoh-tokoh agama yang menganggap penetapan Paul Zhang ini semakin kuat indikasinya kalau uu penistaan agama itu hanya tajam di kalangan minoritas tetapi tumpul bagi mayoritas.
Sekalipun memang ada beberapa tokoh juga menyayangkan pernyataan sikap Paul yang dianggap of side lantaran sudah berbicara dalam kontek menjelekan panutan dari umat Muslim tersebut, sekalipun memang apa yang dinyatakan Paul bagian dari menjawab ujaran kebencian yang acapkali dilakukan dari beberapa tokoh mereka seperti Yahya Waloni dan beberapa tokoh lainnya.
Lalu sejauhmana pandangan Dewan Pembina Yayasan I.J. Kasimo yang juga seorang pengacara senior Dr. S. Roy Rening, SH.,MH. Menurut Roy yang ditemui di kantornya kawasan Kota Casablanca tegas secara norma bahwa dalam KUHP, mengenai penistaan agama masih berlaku. Pasal 156 huruf a KUHP masih diperlukan untuk mengatur agar para pemeluk agama di Indonesia dapat menjalankan keyakinan agamanya secara baik dan saling menghargai dan menghormati diantara sesama pemeluk agama agar tercipta keharmonisan di tengah perbedaan keyakinan yang ada dimasyarakat. Artinya hal ini perlu diatur, supaya pemeluk agama tidak melakukan pernyataan/pendapat yang bisa menganggu keyakinan agama orang lain yang menjurus pada delik penistaan agama.
Lebih lanjut dikatakan, mantan pengacara terpidana mati Tibo Cs, bahwa yang menjadi permasalahan mengenai penistaan agama di Indonesia ini bukan mengenai norma yang tertuang didalam pasal 156 huruf a KUHP, melainkan persoalan politik penegakkan hukumnya yakni mengenai KEADILAN. Pasal penistaan agama ini penerapan hukumnya hanya diberlakukan bagi kelompok agama minoritas saja. Sedangkan untuk kelompok agama mayoritas sampai dengan saat ini belum pernah diterapkan.
Pihak Kepolisian terkesan masih takut dinilai melakukan kriminaliisasi terhadap ulama. Inilah menjadi titik soalnya. Pengaturan pidana mengenai penistaan agama hanya tajam untuk pelaku agama minoritas. Sedangkan untuk pelaku agama mayoritas hukum itu tumpul atau bahkan tidak tersentuh sama sekali. Tentu tujuan daripada pasal 156 a KUHP mengatur agar jangan sampai saling menyerang diantara pemeluk agama yang berbeda keyakinan yang dapat menciptakan konflik sosial di masyarakat dan menganggu ketertiban, tukas lawyer yang akrab dengan pekerja media ini.
Oleh karena itu, dengan adanya pasal 156 a KUHP, diharap para tokoh atau pemuka agama yang akan melakukan dakwah atau memberitakan tentang “Kabar Keselamatan”, perlu menyampaikan ajaran agamanya sesuai dengan norma sopan santun dan etika yang berlaku. Saling hormat menghormati dan saling harga menghargai adalah suatu keniscayaan. Sebaiknya para tokoh-tokoh agama dalam khotbahnya tidak perlu membahas keyakinan agama orang lain. Lebih fokus memberikan pengajaran-pengajaran menurut kitab sucinya saja tanpa menyinggung/menjelek-jelekan kitab suci agama lain. Kesalahan dalam memberikan penafsiran terhadap keyakinan agama orang lain dapat ditafsirkan telah menodai agama orang lain ujarnya.

Misalnya, orang yang sudah pindah agama baik itu mualaaf mapun murtadin tidak perlu lagi membahas keyakinan agama yang sudah ditinggalkannya, apalagi menyatakan kitab suci agama ini palsu atau nabi agama ini tidak benar ajarannya. Hal semacam ini harus segera kita tinggalkan, kita segera harus bangkit dengan meninggalkan perdebatan-perdebatan yang tidak produktif bagi bangsa ini. Mari kita bangun persatuan ini semakin kokoh dan PANCASILA menjadi sumber hukum dalam berbangsa dan bernegara.
Pasal Penistaan Agama Hanya Diberlakukan untuk Agama Minoritas
Kembali pada UU penistaan agama, menurutnya bukan normanya, tetapi politik peneggakan hukumnya yang tidak adil. Kenapa penegakan hukumnya tidak adil? Karena politik negara kita masih sangat dipengaruhi politik dominasi agama mayoritas. Hal tersebut dapat dilihat, banyak pelaku-pelaku penistaan agama yang diduga dilakukan oleh tokoh-tokoh agama mayoritas sama sekali tidak dapat disentuh oleh hukum. Sedangkan kalau para apologia agama minoritas (Kristen) yang meluruskan pandangan-pandangan terhadap agamanya yang ditafsirkan secara salah oleh oknum kelompok agama masyoritas langsung dikenakkan pasal penistaan agama. Jadi inilah yang dikatakan ketidak adilan.
Padahal jika UU ini diberlakukan ke semuanya masyarakat secara tegak lurus (tanpa pandang bulu), diyakini negara ini aman dan jauh dari konflik intoleran. Dengan begitu tidak akan terjadi permasalahan Paul Jhosep Zang ini. Demikian juga dengan teman-teman apologit Kristen ini. Aapa yang disampaikan oleh para apaogia Kristen, itu hanya menjawab atau meluruskan pandangan yang salah tentang Kekeristenan. Untuk itu, Roy mengharapkan para apologit Kristen tidak terpancing untuk melakukan pembelaan tentang Kekeristenan secara vulgar dan memberikan penilaian/koreksi terhadap kitab suci agama orang lain atau nabi agama orang lain yang berdampak pada penistaan agama. Sebaiknya, kita fokus untuk memberitakan “Khabar Keselamatan dan Khabar Suka Cita” kepada semua bangsa dengan tanpa menista agama orang lain.
Dalam kaitan dengan itu, menurut Roy, dalam masalah penistaan agama, negara belum hadir secara maksimal. Masalah penodaan agama di Indonesia, hukum itu terlihat masih tajam untuk agama minoritas saja dan tumpul untuk agama mayoritas. inilah yang terjadi terhadap pemberlakuan undang-undang penodaan agama. Jadi wajar saja bila ada masyarakat meminta dicabut uu penistaan agama ini karena tidak memberikan keadilan dan kemamfaatan bagi warga bangsa ini”, tandasnya serius.
Faktanya memang semua yang menghina agama Kristen oleh kelompok mayoritas tidak ada yang diadili dipengadilan dan itu fakta, tetapi kalau kelompok minoritas siapa saja yang membuat pernyataan atau mengatakan sesuatu terhadap keyakinan agama mayoritas langsung dikenakan pasal 156a KUHP. inilah persoalan bangsa kita yang belum adil untuk semua warga negara.
Penerapan Asas Nasional Pasif dan Asas Personalitas Dalam Delik Penistaan Agama
Menurut Roy, Politik Penegakkan Hukum Penistaan Agama di Indonesia masih tebang-pilih (diskrimintaif). Hal tersebut dapat dilihat dari reaksi pihak kepolisian dalam kasus –kasus penistaan agama mayoritas. Sedangkan untuk kasus-kasus penistaan agama minoritas, pihak kepolisian terasa lambat atau bahkan tidak bergerak sama sekali. Sehingga penilaian masyarakat bahwa hukum tumpul bagi agama mayoritas namun tajam bagi agama minoritas, dikarenakan sudah banyak yang melaporkan dari pihak minoritas tetapi belum ada tindak lanjutnya.
Lebih lanjut dijelaskan, sebagai contoh dalam kasus Josep paul Zang, pihak Kepolisian sangat cepat bertindak cepat dengan menetapkan Paul Jiseph Zang melanggar pasal 156 a KUHP jo. Pasal 28 UU ITE. Sedangkan pada kasus Yahya Waloni, pihak Kepolisian terlihat samasekali tidak melakukan proses hukum. Inilah ketidak adilan itu, inilah perlakuan diskriminatif oleh negara dalam hal penegakkan hukum.
Apa yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan menetapkan Joseph Paul Zhang sebabagi tersangka dalam sanggkaan penistaan agama dan menerbitkan DPO masih prematur alias terburu-buru. Menurut Roy, tindakan kepolisian ini sifatnya hanya meredam saja agar tidak terjadi gejolak dimasyarakat. Lebih lanjut dikatakan, tindakan kepolisian bukan tindakan hukum sebenarnya tetapi ini hanyalah tindakan politik penegakkan hukum. agar supaya terkesan polisi cepat bertindak terhadap Joseph Paul Zhang.
Menurut Roy, Kalaupun benar, Joseph Paul Zhang diduga melakukan penistaan agama mayoritas di Indonesia yang dilakukan melalui zoom atau youtube sebaiknya dilakukan menurut hukum yang berlaku. Oleh karena, pertama, apakah perbuatan Paul Zahang dilakukan di Wilayah Negara RI atau di Wilayah Negara Eropa, artinya Kalau perbuatan tersebut dilakukan di Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa dimana Paul Zhang melakukan perbuatan itu. Kedua, apakah Paul Zhang ketika membuat pernyataan tersebut masih WNI atau sudah pindah kewarganegaraan (salah satu Negara Eropa), ketiga, apakah delik penistaan agama disangkakan di Indonesia juga berlaku bagi negara Eropa dimana Paul Zhang yang menjadi WN tersebut. Keempat, apakah ada perjanjian extradisi dengan negara dimana Paul Zhang bertempat tinggal/berdomsili.
Dalam kaitan dengan perbuatan penistaan agama dilakukan diluar wilayah Indonesia, maka kita harus melihat dalam perspektif pemberlakuan hukum pidana bagi setiap orang atau warga negara Indonesia yang melakukan delik diluar wilayah Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 KUHPdana dan Pasal 5 KUHPidana. Untuk itu, apakah tindakan Kepolisian dengan menetapkan Paul Zhang sebagai tersangka ssudah tepat menurut hukum Pidana. Dalam hukum pidana dikenal beberapa asas-asas hukum pidana mengenai pemberlakuan hukum pidana yakni seperti azas teritorialitas , azas nasianalitas pasif, azas personalitas dan azas universelitas.
Dalam kasus ini, untuk aasa teritoriliatas dan universalitas tidak termasuk dalam kasus ini. Asas nasionalitas pasif sebagagimana diatur dalam pasal 4 KUHPidana, asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan diluar negeri, jika kepentingan negara dilanggar. Oleh karena itu, hukum pidana kita sudah membatasi perbuatan-perbuatan apa saja yang dilanggar seperti melanggar Kejahatan terhadap keamanan negara seperti pasa-pasal 104, 106, 107 dan 108, 110, 111 bis, 127 dan 131, kejahatan terhadap mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank tetang materi atau merk. Pemaslusan surat utang atau sertifkat utang. Dengan pembatasan ini, asas nasionalitas pasif tidak terpenuhi. Karena pasal 156 a KUHP tidak termasuk dalam pembatasan pasal 4 KUHPidana.
Sedangkan mengenai asas personalitas/asas nasionalitas aktif, sebagaimana diatur dalam pasal 5 KUHPidana, asas ini berdasarkan pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Pidana Indonesia mengikuti warga negaranya kemanapun dia berada. Pasal 5 KUHP ini membatasi mengenai ketentuan pidana yang berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan diluar wilayah Indonesia yakni kejahatan yang diatur diatur dalam bab I dan II, buku II dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP dan suatu kejahatan yang dipdandang sebagai kejahatan menurut undang-undang negara dimana perbauatan itu dilakukan.
Dengan memperhatikan asas personalitas/nasionalitas aktif dalam hukum pidana, ternyata Pasal 156 a tidak termasuk pasal-pasal yang dikenakan pasal 5 KUHP untuk kejahatan yang dilakukan oleh wargangera Indonesia di luar negeri. Sehingga menurut Roy, pihak Kepolisian akan mengalami kesulitan dalam melakukan penegakkan hukum bagi Paul Zhang. Apalagi, Indonesia dan Jerman (yang diduga Paul Zhang) berada dinegara tersebut tidak memiliki perjanjian extradisi dengan Indonesia. Dan yang lebih mempersulit lagi, kalau ternyata, Paul Zhang bukan lagi Warga negara Indonesia, sehingga asas nasionalitas pasif dan/atau asas personalitas tidak dapat diterapkan dalam kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Paul Zhang, tandas Roy.