Jakarta majalahgaharu.com Sudah sepuluh hari Prof. Dr. Achmad Syafi’i Maarif meninggalkan kita. Karena kesibukan saya tidak sempat menuliskan sesuatu yang mengantar beliau saat itu, dan baru sekarang saya menuliskan sebuah kenangan. Saya tidak mengenal secara pribadi atau dekat dengan beliau tetapi saya mempunyai kenangan yang menurut saya perlu saya ungkapkan.
Sejak tahun 1980-an saya sudah mengikuti dan menekuni pemikiran beliau. Keterlibatan saya dalam Seminar Agama-Agama di Litbang PGI (dulu LPS DGI) , dan profesi saya sebagai wartawan politik mendorong saya untuk mendalami pemikiran-pemikiran ideologis termasuk Islam. Kebetulan pemikiran Islam dan Negara sedang hangat. Tesis S-2 beliau tentang Piagam Jakarta, dan disertasi untuk S-3 tentang Perdebatan di Kontituante tentang Dasar Negara Indonesia menguak pemikiran beliau dan saat itu sangat relevan untuk dibahas. Menurut saya pemikiran beliau pada waktu itu mewakili aspirasi politik umat Islam di Indonesia, yaitu berhubungan dengan dihapusnya tujuh kata dari sila I Pancasila dalam UUD 1945 yang berbunyi, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Dalam pemikiran beliau, hal itu merupakan “kekalahan” bagi Umat Islam.Pemikiran seperti itu mengemuka dalam tesis dan disertasi serta tulisan-tulisan beliau..
Saya berjumpa pertama kali dengan beliau di Jogjakarta tanggal 4 November 1985, dan pemikiran seperti itu masih nampak jelas. Waktu itu saya sebagai wartawan bertemu dengan beliau yang masih menjadi mengajar di IKIP Jogjakarta, bersama-sama dengan cendekiawan Muhammadiyah lainnya seperti, Yahya Muhaimin (pernah menjadi Menteri Pendidikan), Amien Rais (pendiri PAN), Kuntowijoyo (Penulis Novel Kotbah di Atas Bukit) dan beberapa orang dosen IKIP Jogjakarta. Saat itu menjelang Dies Natalis Universitas Muhammadiyah Surakarta yang diselenggarakan di kampus UMS.
Saya bertemu dan berdiskusi dengan beliau-beliau itu. Tema yang dibicarakan adalah tema seminar nasional dalam rangka Dies Natalis UMS yang ke 27 (1958 – 1985) yaitu Muhammadiyah di Penghujung Abad XX: Keberadaan Organisasi, Perubahan Masyarakat, dan Peran Ulama & Intelektual. Salah satu pokok yang dibahas dalam seminar itu adalah buku Clifford Geeertz tentang Agama Jawa. Dalam buku itu Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa secara spiritual yang kemudian disebut sebagai religion of Java dalam Santri, Abangan, dan Priyayi. Pembahas buku tersebut Dr. Parsudi Suparlan (Pengantar), Harsja Bachtiar, Mitsuo Nakamura, dan Muhadjir Darwin.
Beberapa hari saya di Sala dan berbincang dengan beliau-beliau yang waktu itu masih merupakan “tokoh muda” Muhammadiyah. Saya ingat hal mendasar yang mereka harapkan di masa mendatang untuk memimpin Muhammadiyah, adalah seorang ulama sekaligus intelektual. Idola mereka pada waktu itu adalah Dr. Ali Mukti, seorang ulama yang juga intelektual. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama.
Karena mereka masih merupakan tokoh muda maka saya memanggilnya dengan sebutan “bang” Safi’i Maarif. Sama seperti saya memanggil Gus Dur di awal tahun 1980-an dengan sebutan “mas”, sementara aktivis dan cendekiawan waktu itu memanggilnya “cak Dur” yang sama artinya dengan “mas”. Ketika menjadi Ketua tanfidziyah PBNU orang mulai menyebutnya dengan sebutan Gus Dur, sebutan penghormatan bagi seorang putra kyai atau ulama besar. Begitu pula sebutan untuk “bang” Syafi’i kemudian menjadi Buya, sebuah sebutan yang menunjukkan rasa hormat karenan kebesaran beliau. Buya adalah sebutan yang sejajar dengan Bapak atau Kyai yang menunjukkan beliau adalah ulama besar.
Itulah perjumpaan saya yang pertama dengan Buya Syafi’i. Perjumpaan kedua terjadi di Seminar Agama-agama yang diselenggarakan oleh Litbang PGI di akhir dasawarsa 1985-an. Pada waktu itu beliau masih mewakili pemikiran “aspirasi politik Islam”. Buku-bukunya seperti “Islam, Mengapa Tidak? (1984) atau “Islam dan Masalah Kenegaraan” (1985) mengungkapkan hal itu. Pengamatan saya tentang aspirasi politik Islam telah saya tulis dalam buku “MENJADI Indonesia: 13 Abad Eksisternsi Islam di bumi Nusantara” yang diterbitkan Miuzan bekerjasama dengan Yayasan Festival Istiqlal tahun 2006. Dalam buku yang editornya Prof. Dr. Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF itu, tulisan yang saya persembahkan kepada Prof. Dr. Olaf Schumann diminta untuk dimuat dalam buku tersebut dan saya menjadi satu-satunya penulis yang beragama Kristen. Itu saya rasakan sebagai sebuah kehormatan karena saya bukan cendekiawan, bukan orang kampus atau pengajar, dan bukan ulama. Saya wartawan dan penulis, orang biasa saja!
Perjumpaan saya yang ketiga dengan Buya Syafi’i terjadi Seminar Agama-agama tahun 1997 di bawah tema “Agama-agama dan Wawasan Kebangsaan dalam Konteks Ideologi/Politik”, beliau berbicara tentang “Hubungan Islam – Kristen dalam Percaturan Politik di Indonesia”. Di situ beliau mulai mengungkapkan sebuah keniscayaan. Tentang pencoretan tujuh kata dari Piagam Jakarta, beliau berkata, “Kalau imajinasi historis saya diperturutkan di sini saya akan mengatakan: ‘biaya itu memang harus dikeluarkan sebab bila tidak, di samping negara yang baru berusia beberapa jam itu mungkin berantakan kembali, juga pelaksanaan syariat berdasarkan rumusan abad-abad klasik itu belum tentu akan dapat memecahkan masalah-masalah krusial yang dihadapi umat Islam pada masa yang lain sama sekali”.
Dalam uraian beliau mengagumi Bung Hatta yang menyetujui pencoretan tujuh kata itu, sebagai sebuah kebijaksanaan! Nampaknya kebijakan Bung Hatta yang seperti itu yang menjalar dalam pemikiran Buya Syafi’i. Di luar ruang seminar, saya sempat berbincang-bincang dengan beliau dan beliau sangat terkesan dengan seminar yang terbuka yang mempertemukan pemikiran dari berbagai agama dalam sebuah forum. Saya ingat kalimat yang beliau katakan kepada saya, “Enak sekali ya kalau kita yang dari berbagai agama itu bisa bertemu, berbicara secara terbuka seperti ini?”.
Kalimat itu menunjukkan sebuah kerinduan adanya ketulus-ikhlasan dari para pemimpin dan pemikir agama bertemu untuk kepentingan bangsa dan negara. Dari sana saya melihat arah pemikiran Buya Syafi’i yang semakin inklusif keluar dari aspirasi politik Islam. Saya mengikuti pernyataan-pernyataan beliau di media social dan agaknya telah terjadi pencerahan. Beliau dalam sebuah kesempatan mengakui bahwa tadinya beliau termasuk orang yang membawa aspirasi politik Islam. Beliau menyatakan dirinya sebagai “anak nakal”. Tetapi perubahan luarbiasa beliau nampakkan dalam pemikiran-pemikiran yang cemerlang, yang menyejukkan siapapun. Beliau telah mengubah diri menjadi seorang yang pluralis, humanis, dan sangat toleran.
Pernyataan beliau bahwa “pelaksanaan syariat berdasarkan rumusan abad-abad klasik itu belum tentu akan dapat memecahkan masalah-masalah krusial yang dihadapi umat Islam pada masa yang lain sama sekali” menunjukkan kesadaran akan keberadaannya sebagai guru bangsa. Dengan sikapnya yang realistis dalam kehidupan berbangsa yang plural itu, tidak jarang beliau harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan umat Islam namun intoleran yang menyebar kebencian, menyebar kebohongsan, apalagi yang menyanjung-njanjung factor keturunan nabi. Beliau bahkan mengatakan, orang yang mengagung-agungkan keturunan nabi itu adalah budak-budak agama.
Kejujuran dan ketulus-ikhlasannya dalam mengajar bangsa ini merupakan sebuah sikap seorang guru bangsa yang luar biasa, yang memberi keteladanan kepada siapapun. Dan mengingat cita-cita para cendekiawan muda Muhammadiyah yang bekumpul di Jogja tahun 1985 itu, Buya Syafi’i adalah tokoh yang telah lama diidam-idamkan, dan yang muncul sesudah Dr. Ali Mukti. Beliau adalah cendekiawan sekaligus ulama, sekelas dengan Dr. Mukti Ali! Pembawaannya yang sederhana, jujur dengan kalimat yang lembut dan tulus-ikhlas serta terbuka telah membawa Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya memancarkan kesejukan. Tahun 2008 beliau meraih penghargaan Ramon Magsaysay Award dan menjadi Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), sebuah lembaga yang tanpa lelah menyuarakan perdamaian. Yah, agama adalah pembawa suara perdamaian dan itu nampak dalam diri Buya Syafi’i. Hingga akhir hayatnya, beliau membaktikan diri pada bangsa ini menyuarakan perdamaian.
Dengan kepulangannya ke pangkuan Sang Khalik, kita kehilangan guru bangsa. Saya percaya beliau dipangku dan ditempatkan oleh Sang Khalik di tempat yang sangat layak dan indah. Saya berharap lahir guru bangsa dari organisasi-organisasi agama sekelas beliau. Mudah-mudahan.
Selamat berada dalam keabadian Buya Syafi’I Maarif!
Tuhan menyayangi Buya! Salam untuk semua