Membaca Isyarat Dari Pagelaran Wayang Kulit Semalam Suntuk di Katedral Jakarta

Ayo Bagikan:

Jakarta majalahgaharu.com Pagelaran Wayang Kulit Semalam Suntuk Wiratha Parwa di Katedral Jakarta, pada dasarnya, menurut Eko Sriyanto Galgendu, di Katedral Jakarta ini jelas menandai telah dimulainya gerakan kebangkitan spiritual di Indonesia.

Pagelaran spesial wayang kulit semalam suntuk di Halaman Katedral Jakarta, pada Sabtu 20 Agustus 2022, mulai pukil 20.30 sampai 04.00 pagi dinikmati dengan asyik para tokoh dari berbagai agama dan profesi serta latar belakang, untuk ikut menguri-uri budaya leluhur yang telah mendapat pengakuan resmi dari Unesco sebagai salah satu seni budaya di dunia. Namun terkesan dilupakan — atau bahkan tersia-siakan oleh anak negeri ini sendiri.

Acara menonton pagelaran wayang kulit yang terkait dengan pesta Perak Perbayan Syukur 25 Tahun Tahbisan Uskup Ignatius Kardinal Suharyo ini juga dimaksudkan untuk merayakan peringatan 77 Tahun Republik Indonesia, bersama Ki. Dalang Radyo Harsono.

Dantara undangan khusus itu tampak hadir Wali Spiritual Indonesia Eko Sriyanto Galgendu bersama sejumlah sahabat dan kerabat GMRI (Gerakan Moral Rekknsiliasi Indonesia) yang memang memiliki ikatan persahabatan dan kekerabatan pula dengan Pemimpin maupun Umat Katholik di Indonesia.

Menurut Eko Sriyanto Galgendu, acara pagelaran wayang kulit semalam suntuk ini tidak cuma sekedar hiburan, tetapi menandai gerakan kesadaran serta pemahaman spiritual akan semakin cepat melesat membangun peradaban baru manusia di bumi yang akan dipelopori oleh bangsa Indonesia untuk sebagai pemimpin dunia.

Lakon Wiratha Parwa (Terbuka Untuk Umum) ini disampaikan langsung oleh Ketua Pelaksana Pagelaran Wayang Kulit Semalam suntuk ini oleh Romo B. Christian Triyudo Prastowo SJ.

Pagelaran wayang kulit semalam suntuk ini, katanya dilaksanakan dalam rangka Perbayan Syukur 25 Tahun Tahbisan Uskup Ignatius Kardinal Suharyo sekaligus memperingati 77 kemerdekaan Tahun Republik Indonesia.

Ki. Dalang Radyo Harsono asli berdarah China asal Muntilan ini bernama asli Ti Tian Hau sangguh sempurna menerasikan perseteruan antara Pandawa dan Korawa yang terbalut cinta sang Pangeran dengan Silindri yang hendak dipersunting menjadi permaisuri.

Acara pagelaran wayang kulit semalam suntuk ini menurut Eko Sriyanto Galgendu tidak cuma sekedar hiburan, tapi merupakan bagian dari refleksi diri untuk lebih tekun dan gigih menata masa depan bangsa dan negara Indonesia secara bersama, terutama dengan tokoh agama dan budayawan untuk menyongsong masa depan yang lebih baik dan lebih berkualitas.

Lakon Wiratha Parwa ini diakui juga oleh Ketua Panitia Penyelenggara, Romo B. Christian Triyudo Prastowo SJ, adalah untuk pertama kali dilaksanakan di dalam lingkungan dalam Katedral. Karena itu dia juga percaya akan menjadi tonggak sejarah gerakan spiritual yang dipandu dalam kesadaran beragama dan budaya yang
resmi dilakukan Dewan Paroki, Jakarta. Kelak pasti akan menjadi tonggak sejarah.

Pada dasarnya pertunjukan wayang kulit ini, adalah cara yang paling bijak untuk belajar melihat dan membaca simbol-simbul dan isyarat serta aba-aba dalam narasi yang dipadu dengan gambar visual tentang kejadian yang mengambarkan sesuatu yang mungkin sudah atau sedang terjadi atau baru akan berlangsung kemudian.

Begitulah pesan bijak khas budaya lokal seperti yang banyak dimiliki oleh suku bangsa Nusantara lainnya dalam bentuk dan ragam coraknya yang lain. Kisah dan dongeng atau legenda bahkan mitos, memiliki nilai-nilai spiritual, moral hingga etika maupun akhlak yang semburat dari gumpalan pesan yang baik, maupun yang buruk sekalipun.

Sebab kata orang bijak, untuk belajar berbuat baik itu bisa juga dimulai dengan mempelajari hal-hal yang buruk. Karena hal-hal yang baik itu pun, sangat mungkin menjadi daya dorong untuk berbuat yang buruk juga.

Kisah kasih Silindri dengan Sang Senopati Kencoko, sekedar mengingatkan bahwa api asmara itu pun bisa membakar istana jika lepas kendali tanpa kontrol. Apalagi hanya sekedar untuk mempertahankan kekuasaan yang selalu berada di dalam lingkaran Dorna dan Sengkuni.

Kisah hancurnya negara akibat asmara, sungguh indah dikisahkan oleh Ki. Mas Lurah Cermo Harsono yang diperoleh sang Dalang dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dan keluarga Masjid Istiqlal, Pos & Giro serta tamu undangan tampak asyik menikmati pertunjukan yang sudah langka ini hingga menjelang pagi.

Tampaknya, begitulah isyarat yang terbaca dari pagelaran wayang kulit semalam suntuk di halaman Katedral Jakarta, seakan start dari gerakan kebangkitan kesadaran spiritual yang semakin meluas terpadu dalam bingkai agama dan budaya bangsa mulai menggedor dunia untuk menatap takjub Nusantara. Jacob Ereste

 

Katedral Jakarta, 21 Agustus 2022

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Relawan Brani 1 Mendukung Anies Menuju Indonesia 1

Mon Aug 22 , 2022
Jakarta majalahgaharu.com Pemilihan presiden tinggal satu tahun lagi berbagai elemen masyarakat sudah mulai mengelus jagoannya siapa yang akan diusung menjadi RI satu menggantikan Presiden Joko Widodo. Salah satu yang diusung adalah gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang pagi itu diusung oleh relawan yang tergabung dalam BRANI1 dengan mengangkat tema doa […]

You May Like