Majalahgaharu.com Jakarta, Antonius Benny Susetyo, menyatakan bahwa dalam membangun etika berpolitik Indonesia Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) , haruslah berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila. Menurut Benny, sapaan akrabnya, etika politik haruslah dikedepankan untuk menata bangsa Indonesia.
“Nilai Pancasila harus dikedepankan, bukan isu SARA yang malah merusak demokrasi Indonesia,” sebutnya.
Saat ditanyakan mengenai pendapatnya terkait etika berpolitik di Indonesia saat ini, pakar komunikasi politik itu menyampaikan bahwa nilai Pancasila jelas belum dianggap penting untuk menjadi dasar beretika politik.
Salah satu pendiri Setarra Institute tersebut juga menyatakan bahwa politik demokrasi Pancasila berbeda dengan demokrasi liberal.
“Yang membedakan adalah kepentingan umum, dimana dalam demokrasi Pancasila, hal itu dikedepankan, dan menjadi norma hukum tertinggi. Bukan sekedar suara mayoritas minoritas, tetapi bermusyawarah mufakat mencari titik temu. Semua untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan golongan dan/atau pribadi,” imbuhnya.
“Seharusnya, seseorang yang memakai nilai-nilai Pancasila dalam berpolitik itu mengedepankan nilai ketuhanan. Dia taat kepada Tuhan dan memiliki iman, sehingga memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai wujud ketaatannya. Dia tidak boleh diskriminatif, intoleran, dan membedakan suku etnis budaya; seharusnya dia berpihak pada kaum lemah dan yang terpinggirkan,” jelasnya.
Dia pun menambahkan bukti bahwa etika berpolitik bangsa Indonesia belum berkiblat pada Pancasila.
“Lihatlah di sosmed, bagaimana (orang-orang) saling mengolok, mengejek, dan memberikan nama-nama buruk terhadap satu sama lain. Itu menunjukkan tidak ada nilai etis. Seharusnya, kita semua saling menjaga kebersamaan dan nama baik. Itulah wujud nilai persatuan. Kita boleh berbeda pandangan dan pendapat, tetapi tetap harus mencari titik temu, dengan musyawarah mufakat, dan itu menunjukkan nilai keadilan.”
Benny juga menyebutkan apa yang membuatnya berani menyatakan bahwa etika berpolitik Indonesia masih belum sampai pada pengamalan Pancasila.
“Politik kita masih transaksional. Semua melihat dari, ‘apa yang saya dapat?’, melihat dari keuntungan pribadi. Oleh karena itu, politik menjadi kehilangan karakter, dan kesejahteraan umum hilang. Money politic, manipulatif, biaya tinggi, itu semua karena karakter Pancasila di keutamaan publik hilang,” katanya.
Aktivis Forum Kajian Demokrasi dan HAM itu mengatakan pendapatnya soal elit politik Indonesia saat itu.
“Para elit politik adalah pengambil kebijakan dan keputusan, yang juga menjadi penentu kesejahteraan. Mereka haruslah memiliki kesadaran berpolitik dengan nilai Pancasila: berpolitik untuk bangsa dan negara, bukan memperkaya diri sendiri. Politikus adalah orang yang sudah selesai pada dirinya sendiri, tidak mencari kepuasan sendiri atau golongan , tetapi berkorban, memiliki kebijaksanaan dan punya bela rasa. Politik itu seni dimana seseorang memperjuangkan nilai, dalam hal ini Pancasila, sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur,” tuturnya.
Staf Khusus Ketua DP BPIP ini pun menyebutkan diperlukan kajian tentang politik yang dipraktekkan di Indonesia saat ini.
“Apakah sistem kita sekarang sesuai? Kita perlu memikirkan kembali sistem politik berdasar Pancasila itu seperti apa. Itu memerlukan kajian. Ini seharusnya dirumuskan oleh pakar politik, MPR, negara. Kita harus berani mengkoreksi sistem politik sekarang; jika tidak sesuai dengan pancasila, perubahan perlu dilakukan,
pelan, tapi pasti,” tutupnya.