Majalahgaharu.com, Jakarta- Toleransi menjadi fondasi penting bagi bersatunya bangsa Indonesia yang beragam agama, kepercayaan dan budaya. Modal berharga ini perlu terus dijaga demi terwujudnya rasa persatuan bangsa sesuai dengan ajaran luhur Pancasila.
Fakta ini pula yang mendorong Komunitas Dialog Lintas Iman yang terdiri dari Indonesia Conference on Peace and Religion (ICRP) dan sejumlah lembaga lain pada Senin sore (17/4), mengadakan kegiatan kebersamaan berupa Buka Puasa Bersama dengan melibatkan tokoh dari keenam agama yang diakui di Indonesia.
Uniknya, kegiatan Buka Puasa Bersama tersebut diadakan di gedung Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, Jakarta.
Pelaksana Harian Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Jakarta, Penatua Harry James Kandou dalam sambutannya mengatakan dirinya menyambut baik atas kehadiran 6 perwakilan lintas agama di Indonesia yang datang untuk menghadiri acara kebersamaan tersebut.
James juga menuturkan, kegiatan kali ini menjadi momentum penting bagi GPIB Immanuel Jakarta karena menjadi kegiatan Buka Puasa Bersama pertama yang diadakan di gereja mereka.
Dirinya lalu mengungkap, kegiatan lintas iman juga terbukti ampuh meruntuhkan sekat perbedaan serta menciptakan perdamaian.
“Lewat kegiatan lintas iman pada hari ini kita juga mau belajar tentang apa itu makna puasa bagi saudara-saudara kita yang muslim. Sekaligus, kegiatan hari ini menjadi penegasan bahwa DNA bangsa kita yang toleran. Pertemuan lintas iman, interfaith dialogue, seperti saat ini ikut memberikan kontribusi bagi terciptanya perdamaian dunia,” ujar Ketua II Bidang Germasa GPIB Immanuel Jakarta, itu, saat membuka acara.
Di kesempatan yang sama mewakili Majelis Sinode GPIB, Pdt. Manuel Raintung, M. Th, ketika memberi sambutan menyinggung soal prinsip persaudaraan sejati yang mesti dibangun antar umat lintas iman di Indonesia. Dirinya juga berharap melalui corong media, kegiatan sore ini dapat mengedukasi masyarakat tentang komunikasi antar umat beragama yang terus dipelihara.
“Mungkin acara hari ini sederhana, tetapi sangat penting dan berarti bagi kita semua,” ujar mantan Ketua PGIW DKI Jakarta, itu.
Tokoh Interfaith Dialogue Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, menyoroti soal tantangan hidup beragama yang kini semakin kompleks. Namun Lukman berpandangan, inti dari ajaran agama adalah kemampuan untuk memberi kepada sesama pemeluk ajaran agama.
“Inti pokok atau pesan utama agama itu adalah bagaimana agar umatnya bisa memberi kepada yang lain, kepada sesamanya. Agama hadir untuk memanusiakan manusia, untuk menebarkan rahmat kepada alam semesta, untum menebarkan kasih sayang dan kedamaian,” ujar mantan Menteri Agama Republik Indonesia, ini.
Ceramah makna puasa dari persepsi tiga agama yang berbeda juga dibagikan oleh tiga orang pembicara. Pada kesempatan pertama diberikan kepada Ustadz Ahmad Nurcholis. Nurcholis mengungkap tentang puasa sejatinya tidak hanya dilakukan oleh agama Islam, sebagaimana diterangkan di Surat Albaqarah, ayat 183.
Diuraikannya, dalam ajaran agama yang berbeda yakni Kristen, Yahudi, maupun agama lain, puasa turut dipraktikan. Salah satu pesan yang terkandung di balik praktik puasa itu sendiri dari sudut pandang Islam, lanjut Nurcholis, adalah kemampuan melatih diri untuk berempati, memiliki solidaritas dan bertoleransi kepada orang lain.
Selanjutnya, tradisi puasa dari sudut pandang Kristen dijelaskan pula oleh Pendeta Ruben Abraham Persang. Ruben menceritakan bagaimana konsep puasa dan perpuluhan telah dipraktikan oleh “Bapak Segala Bangsa”, yakni Abraham atau juga dikenal sebagai Ibrahim.
Di ajaran Injil sendiri, lanjut Ruben, Yesus Kristus juga mengajarkan bagaimana puasa bisa menjadi momentum untuk memupuk relasi kepada sesama.
“Puasa itu adalah sebuah tindakan ritual, tetapi akan lebih berarti jika menjadi tindakan spiritual. Tindakan spiritual akan lebih bermakna lagi jika tindakan spiritual menjadi sebuah relasi eksistensial antara orang yang beriman kepada tuhan. Dan itu akan menjaid berarti lagi kalau puasa itu ditunjukan bukan wajah yang muram, tetapi sebagai relasi ekspresi untuk membantu sesama,” ujar Pendeta Ruben.
Sebelumnya, puisi berisi pesan toleransi turut dibacakan oleh perwakilan umat Muslim yang hadir. Kemudian, dua orang perwakilan dari GPIB Immanuel Jakarta, yakni Jeremia dan Joshua, membawakan nyanyian pujian Kristen dari Kidung Jemaat Nomor 3, berjudul “Kami Puji Dengan Riang”. Kidung pujian yang ditulis ke dalam bahasa Inggris oleh Henry van Dyke itu dibawakan oleh Jeremia dan Joshua dengan diiringi instrumental orgel. Kemudian, hiburan juga dipersembahkan oleh seorang penari Sufi.
Saat waktu berbuka puasa tiba, para hadirin yang berasal dari lintas agama bersama-sama menyantap hidangan yang merupakan perpaduan antara wilayah Timur Tengah, Minahasa dan Jawa.
Aktivis dialog antar agama, Pdt. Sylvana Maria Apituley, saat ditemui Majalah Gaharu menjelaskan bahwa latarbelakang diadakannya kegiatan tersebut adalah berawal dari temu kangen di antara aktivis dialog antar agama.
Perempuan yang sejak tahun 1997 aktif di kegiatan dialog lintas agama itu menambahkan, kegiatan dengan model seperti ini amat dibutuhkan guna merawat rasa persahabatan dan persaudaraan yang terjalin di antara sesama anak bangsa.
Selain buka puasa bersama, Pdt. Sylvana juga bercerita bahwa Komunitas Dialog Lintas Iman juga sudah mengadakan acara Natal Bersama serta Imlek bersama pada Desember dan Februari lalu. Rasa kebersamaan amat terasa ketika umat Kristen hadir sebagai tamu pada kegiatan Natal Bersama. Semua kelengkapan acara dipersiapkan oleh para sahabat non Kristen. Begitupun dengan umat Konghucu ketika perayaan Imlek tiba mereka juga dijamu dan dilayani dalam suasana persaudaraan yang kental.
“Lalu berikutnya Ramadhan, kan berdekatan juga antara Ramadhan dan Paskah. Pilihan tempatnya ya di gereja. Saya kemudian kontak Pak Pendeta Ruben Persang dan Pak James Kandou, beliau bilang oke Immanuel menjadi tuan rumah. Jadi Immanuel yang menyiapkan dan melayani tamu-tamu yang hadir untuk buka puasa bersama,” ujar Sylvana.
Lebih lanjut diuraikannya, yang ikut menjadi pesan yang dibangun adalah sebuah penegasan bahwa dialog antar agama merupakan DNA yang dimiliki Indonesia sejak lama. Selain itu, pesan yang juga ingin diangkat adalah bangsa Indonesia merupakan sebuah keluarga dengan latarbelakang beragam yang tidak memiliki pilihan lain selain berdialog, demi memperkuat tali persaudaraan.
“Intinya semua yang positif, yang baik, yang menghubungkan kita sebagai saudara satu keluarga, itu yang diangkat,” tutup Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, itu. (Ron).