MAJALAH GAHARU – Renungan Harian Bahasa Jawa, Dilah Kasukman berisi uraian berupa tafsir dan penerapan dari ayat-ayat Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Renungan harian ini menyediakan renungan setiap hanrinya dalam sebulan, sehingga pembaca dapat membaca dari hari ke hari.
Dari segi nama, Dilah Kasukman menunjuk kepada “Dilah” yang berarti lampu yang berfungsi menjadi alat penerang, sedangkan “kasukman” berbicara mengenai kerohanian atau kejiwaan. Harapannya memang renungan harian ini dapat menjadi sarana penerang bagi jiwa-jiwa yang senantiasa merindukan Sang Pencipta-nya, sehingga dalam perjalanannya meniti kehidupan ini senantiasa sesuai dengan kehendak-Nya.
Penerbitan yang memasuki tahun ke-5 ini bernaung di bawah Lembaga Pekabaran Injil Sinode (LPIS) sinode gereja, Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ), yang sinodenya berpusat di kota Pati, Jawa Tengah ini, meski peruntukannya bagi jemaat di lingkungan Sinode GITJ, tetapi pembaca hariannya dalam bentuk digital melalui Grup WA dan Grup Face Book dari berbagai kalangan warga gereja.
Pembaca Renungan Harian Dilah Kasukman ini mulai dari jemaat biasa, para majelis dan para pendeta. Mereka menggunakan renungan harian ini untuk renungan kontemplasi di pagi hari atau waktu-waktu yang memun gkinkan mereka untuk berdoa dan merenungkan firman Tuhan secara pribadi setiap harinya. Bagi para majelis atau pendeta, renungan harian ini bisa menjadi bahan atau sarana mereka menyampaikan renungan baik di acara persekutuan di luar gereja atau pun di mimbar gereja. Tentu saja perlu dikembangkan seperlunya supaya relevan dengan kebutuhan yang ada.
Bahasa Jawa, Keren
Ada sebuah pendapat: mungkin saja menulis dalam bahasa Indonesia bisa saja mudah, tetapi menulis dalam bahasa Jawa rata-rata bilang,”Banyak kesulitannya!”
Sebetulnya tidak sepenuhnya begitu. Menulis dalam bahasa apa pun yang kita kuasai, entah itu bahasa ibu atau bahasa kedua, akhirnya akan dapat dilakukan dengan baik. Hal ini terkait dengan kebiasaan dan keberanian. Saya sering kali mengibaratkan orang menulis dalam bahasa apa pun, termasuk dalam bahasa Jawa dalam hal ini, seperti anak yang belajar naik sepeda. Belajar naik sepeda itu pasti pernah melewati jatuh-bangun. Mengapa seorang anak tetap bersikukuh untuk tetap belajar, meski lutut kakinya luka karena pernah terjerembab bersama sepedanya? Karena satu hal, mereka mereka asyik dan merasa keren kalau mereka akhirnya bisa naik sepeda.
Menemukan keasyikan dalam menulis menggunakan bahasa Jawa memang tidak mudah, apalagi merasa keren bisa menulis dalam bahasa Jawa. Namun saat menemukan sebuah kata kemudian mengeksplorasi dan merangkaikannya dalam sebuah kalimat, ternyata asyik juga. Saat merampungkan sebuah tulisan, mengedit dan membacanya kembali, wah merasa keren juga nih, apalagi setelah diterbitkan. Menulis dalam bahasa Indonesia, setiap orang bisa, tetapi menulis dalam bahasa Jawa, tidak semua orang bisa melakukannya.
Politik Bahasa
Bahasa apa pun, eksistensinya ditentukan oleh para pemakainya. Saat bahasa tidak digunakan lagi dalam lisan maupun tulisan, maka bahasa tersebut akan mati dengan sendirinya. Beruntunglah bahasa Jawa masih digunakan orang-orang suku Jawa dalam komunikasi hariannya. Suku Jawa yang suka merantau hingga tersebar ke berbagai pulau di Indonesia, rata-rata tetap menggunakan bahasa Jawa ini dalam kesehariannya. Orang-orang Jawa yang tinggal di Suriname karena akibat kerja paksa yang diterapkan oleh penjajah Belanda saat zaman kolonialisme waktu itu, masih menggunakan bahasa Jawa sampai sekarang ini, meski dengan varian bahasa asing yang digunakan di negara itu.
Dalam politik bahasa, sebuah bahasa dipahami bak seseorang yang sedang berperang melawan orang lain. Tetapi memang demikianlah, bahasa Jawa sedang bertanding dengan bahasa-bahasa lain, baik bahasa asing, bahasa nasional maupun bahasa daerah yang lain. Kita memang sedang hidup dalam jaman global di mana segala sesuatunya yang terkait dengan budaya, bahasa dan lain-lain hidup dalam sebuah atap. Para pemakai bahasa menggunakan bahasa mereka masing-masing dan saling mempengaruhi. Jika ada bahasa yang tidak terlalu sering digunakan, maka bahasa tersebut pada akhirnya akan kehilangan esksitensinya.
Menulis dalam bahasa Jawa adalah dalam rangka menghidupkan bahasa Jawa. Sebelum mengelola penerbitan renungan harian ini, saya juga menulis dalam bentuk cerkak (cerita cekak) dan reportase di majalah bulanan bahasa Jawa di Yogyakarta. Saya pun juga menulis naskah-naskah pendek dalam bentuk humor di majalah bulanan bahasa Jawa terbitan Surabaya. Hal itu sebenarnya salah satu upaya saya dalam belajar menggunakan bahasa Jawa dalam penulisan.
Pembaca Renungan Harian Dilah Kasukman ini mulai dari jemaat biasa, para majelis dan rekan-rekan pendeta. Mereka menggunakan renungan harian ini untuk renungan kontemplasi di pagi hari atau waktu-waktu yang memun gkinkan mereka untuk berdoa dan merenungkan firman Tuhan secara pribadi setiap harinya. Bagi para majelis atau rekan pendeta, renungan harian ini bisa menjadi bahan atau sarana mereka menyampaikan renungan baik di acara persekutuan di luar gereja atau pun di mimbar gereja. Tentu saja perlu dikembangkan seperlunya supaya relevan dengan kebutuhan yang ada.
*) penulis adalah Pendeta Jemaat GITJ Kedungpenjalin Jepara, Pemimpin Redaksi dan Editor “Dilah Kasukman”, Ketua Dewan Penasihat PEWARNA PD Jawa Tengah