Oleh Jacob Ereste
Majalahgaharu.com Jakarta Puasa itu pada dasarnya adalah kebutuhan untuk memperkuat diri secara rohani maupun jasmani. Karena itu Allah SWT mewajibkan umatnya untuk berpuasa selama bulan ramadan, agar sakti mandraguna seperti dalam terminologi filosofis Jawa. Dan orang Jawa justru lebih banyak menambah model dalam melakukan puasa, mulai dari cara para Nabi dan Wali hingga tradisi yang dibangun sendiri seperti berpuasa pada setiap hari kelahiran hingga puasa untuk hal-hal tertentu yang dianggap penting dan sakral sifatnya untuk diperingati.
Bagi kalangan dokter, mewajibkan berpuasa kepada pasien saat akan menjalani operasi atas dasar pengetahuan ilmu kesehatan yang cukup diamini juga oleh banyak orang. Kewajiban atas perintah dokter ini menunjuk juga bahwa puasa itu penting dan perlu dilakukan oleh setiap orang, tanpa memandang apa agamanya.
Menikmati puasa itu penting dan perlu sebagai laku spiritual untuk memperkukuh keyakinan serta ketangguhan batin dalam membentengi diri dari beragam godaan terhadap sikap dan sifat yang berlebihan untuk hal-hal yang duniawi. Sehingga semua bentuk yang bersifat material tidak sampai mengibur dan menenggelamkan fitrah spiritualitas kemanusiaan dari pemberian Tuhan.
Demikian juga dalam laku spiritual yang bisa dan biasa dilakukan oleh banyak orang di Indonesia — tiada perduli apa agamanya dilakukan dengan rasa dan kesadaran sebagai bagian dari upaya menyempurnakan laku spiritual yang tengah ditekuninya.
Jadi puasa itu sungguh bukan sekedar menahan lapar dan haus serta segenap hawa nafsu berlebih, sehingga perlu dijinakkan jika belum bisa dihentikan sama sekali dengan cara melakukan puasa. Maka itu pelaksanaan puasa perlu dilakukan oleh setiap orang untuk mengendalikan emosi, egosentrisitas, kesombongan serta keangkuhan untuk menjaga sikap peduli, timbang rasa bahkan solidaritas untuk mereka yang sedang berjuang demi dan untuk kemanusiaan.
Yang tidak kalah penting dari itu semua dalam konteks puasa itu penting dan perlu — adalah mengasah kepekaan dari kodrat kemanusiaan yang bersifat ilahiah. Mulai dari rasa bersyukur dan sabar memahami betapa besar dan banyaknya karunia Tuhan yang telah dan mungkin masih dapat dinikmati terus sepanjang usia sampai sekarang. Sebab dengan kesadaran untuk menikmati puasa itu dengan penuh rasa kegembiraan, maka pintu permenungan terhadap kebesaran Tuhan itu pun akan semakin lebar terbuka. Karena itu dalam konteks ini, gerakan kebangkitan agama-agama yang tidak dipercaya oleh para orientalis dunia sejalan dengan kebangkitan spiritual bukan masalah yang perlu dipersoalkan. Sebab yang penting pertautan antara agama melalui laku spiritual yang bersifat universal itu mampu meredakan asumsi keliru akan terjadinya benturan peradaban manusia yang dahsyat pada hari ini hingga pada waktu ke depan.
Puasa dalam model dan cara apapun yang menjadi pilihan bisa dipahami sebagai laku spiritual yang sakral untuk menggapai kesempurnaan hidup sebagai Khalifah Alah di muka bumi. Dimana nilai-nilai kebaikan dan luhur manusia yang damba terhadap kedamaian dan keselarasan yang harmoni, tersimpul dalam pemaknaan dan pemahaman dari hakikat rahmatan lil Al-Amin.
Penulis adalah pengamat sosial budaya