Majalahgaharu.com Jakarta Sewaktu berkunjung ke Gereja Pater Noster, Yerusalem, Israel pada 2014, Marten Tipagau terpesona melihat deretan “Doa Bapak Kami” yang dipajang di dinding gereja berasal dari berbagai bahasa di dunia, ia pun terinspirasi berharap agar ada bahasa dari daerah Papua. Paling tidak dari 255 suku dan bahasa di Papua harus ada yang mewakili di sana, begitu pikirnya. Dengan perjuangannya akhirnya pihak pengelola Gereja Pater Noster menerima untuk ditambah satu lagi bahasa dari Papua, yakni bahasa Suku Moni. Bahkan, Marten tidak ragu untuk membayar dari koceknya sendiri demi pajangan “Doa Bapak Kami” berbahasa daerahnya ikut dicantumkan di sana.
Bicara Marten Tipagau tidak bisa lepas dari relasi iman kekristenan. Ia selalu konsen dan sepenuh hati berbuat untuk Papua. Pada tahun 2015, saat misionaris Amerika bernama Nona Louise Belsy asal dari Misonari CMA (Christian Missionaries Alliance) meninggalkan Intan Jaya, Marten diwariskan file Alkitab bahasa daerah untuk tetap menjaga dan melanjutkan pengurusan Alkitab Bahasa daerah yang sudah diterjemahkan para misionaris dengan susah payah.
“Jadi memang saya berjanji dalam hati, dapat melihat pajangan “Doa Bapa Kami” berbahasa Moni di Gereja Pater Noster, Yerusalem di Israel. Apalagi para misionaris mewariskan file Alkitab bahasa Moni, Nduga dan Lani kepada saya membuat saya termotivasi untuk mencetak dan mendistribusikan Alkitab berbahasa daerah tersebut di beberapa kabupaten yang ada di Papua antara lain Nduga, Timika dan Intan Jaya. Bagaimanapun, saya akan berjuang dengan dana sendiri atau bantuan dari pihak lain, Alkitab berbahasa Moni, Nduga dan Lani harus dimiliki warga ketiga suku tersebut,” tuturnya saat bertemu di suatu sore, di bilangan Kokas, Jakarta Selatan.
Tekad Marten Tipagau memang langsung direalisasikan. Ia pun langsung menyambangi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) untuk jalin kerja sama dan meminta mencetak 15.400 Alkitab untuk tiga bahasa daerah di Papua yaitu Suku Moni, Suku Nduga dan Suku Lani.
“Alkitab 15.400 eksemplar itu harus diangkut dari Jakarta ke Nabire baru menyebar ke kabupaten-kabupaten. Tantangannya yang terbesar, bukan menyangkut biaya cetak tetapi juga biaya mendistribusikan karena harus carter pesawat dan helikopter. Bahkan, biaya angkut satu kali helikopter Rp 100 juta dan dengan pesawat Twinn Otter Rp 30-40 juta. Belum biaya menyalurkan ke setiap denominasi atau klasis-klasis yang ada di Papua Tengah. Jadi untuk menunjang saya buatkan gudang khusus untuk Alkitab di Nabire,” ujar pria humble alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Samratulangi, Sulawesi Utara ini.
Meski dihadapkan ke tantangan seperti itu, Anggota DPRD tiga periode Kabupaten Intan Jaya ini tidak menyerah. Dia memiliki iman kuat bahwa semua alkitab yang dicetak akan tersalurkan dengan baik kepada warga. Tuhan pun mengulurkan tangan dengan bantuan berbagai pihak untuk biaya transportasi pengiriman, baik dari Pemda dan donatur lainnya. Ini cukup membantu tidak selalu merogoh kantong sendiri.
“Puji Tuhan, sampai sekarang sudah sebagian besar disalurkan ke jemaat. Saya senang sekali, karena mereka menyambut dengan sukacita. Alkitab tidak sekedar kabar baik jadi pegangan, tetapi bagi warga Papua sudah jadi pedoman dan kebenaran yang wajib ada, serta dibaca bersama di tengah keluarga,” ujarnya sukacita.
Aktif Memimpin Sejak SM
Kepedulian akan jemaat di Papua untuk menyediakan Alkitab berbahasa Ibunya (bahasa Moni, Dani dll) tidak ujuk-ujuk muncul begitu saja bagi Marten. Pria yang berbadan bongsor dan berbicara halus bagai orang Jawa, sejak kecil sudah aktif dan akrab menjadi leader di gereja maupun komunitas perkumpulan.
Sejak SD ia sudah terpilih menjadi ketua Sekolah Minggu di Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Jemaat Bahtera di Kampung Ngagemba. Masuk SMP lagi dia dipercaya Ketua Remaja Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Jemaat Imanuel Pogapa, Distrik Homeyo.
Demikian juga saat SMA sudah dipercaya Ketua Pemuda Gereja Kemah Injil (KINGMI) Papua Jemaat Bahtera Wadion Nabire. Ketika kuliah di Manado, Sulawesi Utara Marten dipilih menjadi Ketua PERMAKIIP (Persekutuan Pelajar Mahasiswa Kemah Injil Indonesia Papua) di Sulut yang berasal dari 29 kabupaten/kota dari Papua. Selain itu, menjadi Ketua Pemuda Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Jemaat Moria, Manado.
Pada waktu umur 25 tahun pertama kali menjadi Anggota DPRD Intan Jaya. Berbagai jabatan pun diemban hingga pernah juga menjabat Ketua Komisi A yang membidangi pemerintahan kemudian pernah Wakil Ketua I DPRD hingga menjadi Ketua DPRD Kabupaten Intan Jaya.
Dalam organisasi pernah menjadi Sekretaris DPC Partai Demokrat Kabupaten Intan Jaya selama 8 tahun dan Ketua DPD Partai NASDEM selama 5 tahun serta Ketua Bapillu DPW Partai NASDEM Provinsi Papua Tengah.
Dibidang kegerejaan dipercaya sebagai Ketua Kaum Profesional Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua Koordinator Intan Jaya. Diangkat menjadi Penasehat Organisasi Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua di kepemimpinan DR. Benny Giay.
Marten pernah juga didapuk menjadi Ketua Panitia peresmian gedung gereja Kemah Injil (KINGMI) Tanah Papua Koordinator Teluk Cenderawasih Klasis Wanggar, Jemaat Bahtera Wadio. Gereja ini merupakan gereja terbesar Suku Moni yang ada di ibukota Nabire, Provinsi Papua Tengah.
Semangat dalam pelayanan membuat terus beriman teguh kepada Tuhan. Usai menyelesaikan kuliah di Manado 2009, Marten memilih pulang dan mencoba terus mengabdi dan berbuat yang terbaik bagi kampung halaman.
“Di dalam gereja saya memang bukan jadi pendeta tapi menjadi pelita, yang konsern dengan pengembangan iman umat dan kekristenan,” ujarnya sembari tersenyum tanda menikmati semua aktivitas yang dilakoni untuk kemuliaan Tuhan.
Komitmen pelayanan, tidak terbatas membagikan Alkitab berbahasa daerah untuk warga di desa terpencil. Perhatian tetap juga bagi warga tinggal di kota atau paling tidak yang sudah memiliki dawai (gadget).
“Saya juga meminta LAI membuat versi digital Alkitab untuk enam bahasa yaitu bahasa Suku Moni, bahasa Suku Nduga, bahasa Suku Damal, bahasa Suku Hatam, bahasa Suku Lani dan bahasa Suku Mee. Sekarang warga enam suku di Papua itu sudah bisa men-download Alkitab digital ini,” katanya sembari menunjukkan contoh Alkitab digital di play store.
Perhatian Marten terhadap pengadaan Alkitab untuk tiga bahasa yakni Bahasa Moni, Nduga dan Lani ternyata punya kisah sendiri. Diakui Marten pertama sekali terjemahan ini dilakukan misionaris yang datang dari Amerika.
“Ketika misionaris ini telah menyelesaikan misinya, Nona Louise Besly sebagai misionaris terakhir mempercayakan ke saya file Alkitab terjemahan ini. Saya juga tidak tahu kenapa saya yang dipilih,” beber Marten.
Ternyata tanggung jawab itu diembannya dengan baik. Pria yang tiga kali berturut-turut terpilih DPRD Kabupaten Intan Jaya, sukses mencetak 15.400 Alkitab bahasa daerah dan membuat versi digitalnya.
Selama Misionaris bersama perintis penginjil lokal menerjemahkan dalam dua bahasa suku tersebut (Moni dan Nduga) Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama masih dipisahkan.
“Puji Tuhan saya bekerja sama dengan LAI bisa merubah index dan lay out cover dan isi, sekaligus merubah judul Alkitab hingga menyatukan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru dalam satu kitab baik suku Moni dan Nduga,” tegas suami Dorfince Abugau/Tipagau.
“Selama ini orang Papua dari enam suku, bahwa Alkitab berbahasa daerah sudah diterbitkan LAI. Juga terbit versi Alkitab digitalnya. Tetapi apa mereka tahu siapa yang berjuang untuk terwujudnya itu, belum tentu tahu hehehe,” ujarnya sembari tersenyum tulus.
Sekretaris Umum LAI Sigit Triyono ketika dihubungi GAHARU terkait kerjasama LAI dan Marten Tipagau membenarkan sudah terjalin kerjasama yang baik. Ia mengatakan mandat LAI di bidang layanan Alkitab adalah berasal dari Gereja-gereja di Indonesia lebih kusus Papua. Dalam menjalankan mandatnya LAI selalu berusaha untuk melibatkan Gereja, Umat Tuhan, Lembaga Kristen dan berbagai pihak dalam kemitraan sinergitas.
“LAI selalu mengirimkan tanda terima kasih atas dukungan semua pihak kerja sama dengan LAI. Salah satunya berterima kasih kepada Bapak Marten Tipagau yang telah mendukung pengadaan Alkitab bahasa Moni, Lani dan Nduga, dan juga Marten Tipagau telah digitalkan enam suku bahasa papua yakni: berbahasa Moni, bahasa Hatam, bahasa Nduga, bahasa Lani, bahasa Mee dan bahasa Damal,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, kami bersama merubah index dan lay out cover dan isi, sekaligus merubah judul Alkitab hingga menyatukan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru dalam satu kitab, baik suku Moni dan Nduga.
Adanya upaya untuk memesan khusus Alkitab dan menyebarkannya sesuai kebutuhan di berbagai wilayah adalah bentuk konkret kemitraan LAI dengan Umat Tuhan, dalam hal ini kemitraan dengan Marten Tipagau.
Peduli Pendidikan dan Kesehatan
Menarik, Marten Tipagau ternyata sudah lama peduli pendidikan dan kesehatan. Sebagai daerah “merah” (rawan konflik) di Kabupaten Intan Jaya banyak sekolah tutup. Dia menyadari bahwa anak-anak Moni juga perlu sekolah.
Marten rajin menitipkan (menyekolahkan) anak-anak ke luar daerah. Pertama, mengirim 10 orang ke SD Muko, Nabire. Kemudian 20 orang ke SPMA Jayapura, kerjasama dengan Pemerintah Paniai mengirimkan 7 orang ke Sekolah Presiden Tanjung, Jakarta. Kemudian 7 orang ke STT Walter Post, Jayapura. Kerjasama dengan Gubernur Papua Tengah juga menitipkan 25 orang sekolah di Genius Tangerang pimpinan Dr. Johannes Surya. Bahkan ke Sekolah Anak Indonesia di Bogor sebanyak 5 orang pertama dari swadaya sendiri (Marten).
Marten Tipagau bersama anak binaannya yang dititipkan di Sekolah Anak Indonesia (atas) Marten Tipagau berbicara dengan Pembina Yayasan Alirena Eng Go (tiga dari kanan) untuk mencari solusi pendidikan Anak Papua (bawah)
“Puji Tuhan, kerjasama dengan Pemerintah Intan Jaya sudah ada 93 orang di Sekolah Anak Indonesia di Bogor, Jawa Barat. Di Nabire, kami tampung anak-anak dari kalangan tidak mampu, sambil sekolah mereka berkebun dan tinggal bersama,” imbuhnya. Terkait pelayanan kesehatan, Marten bekerjasama dengan dokter SHARE di mana mereka datang melayani masyarakat ke pedalaman aktif membagikan obat dan melakukan bedah minor di tenda-tenda, Honai di pedalaman Papua khususnya di Intan Jaya yang susah dijangkau. Hampir 5.000 yang dilayani mengalami kesembuhan. Tidak hanya peduli membangun dan meningkatkan iman warga, Marten peduli untuk meningkatkan SDM warga asalnya. Sebagai kebaputen yang termasuk di daerah rawan konflik, Intan Jaya berbatasan dengan Puncak, Paniai dan Waropen.
“Kabupaten Intan Jaya termasuk terisolir. Akses jalannya belum dibuka karena sulitnya medan. Rata-rata berada di ketinggian 4.000 dpl. Kebanyakan hanya bisa diakses dengan pesawat. Untuk pergi ke kabupaten dan distrik terdekat lain, kalau jalan kaki bisa berhari-hari mesti pesawat,” ungkapnya.
Bahkan, pemekaran Papua menjadi 6 provinsi menurut Marten belum berdampak ke daerah. Salah satunya karena pemerintah pusat belum menyerahkan sepenuhnya sesuai tertuang dalam UU Otsus Papua karena banyak Perdasus tidak berpihak dan mengamankan kebutuhan orang masyarakat Papua.
Menurutnya, kepemimpinan yang melibatkan OAP sangat berperan penting untuk menunjang kemajuan pembangunan di Papua. Marten yang masih muda (39), punya keterpanggilan kuat membangun daerahnya. Sejak usia muda sudah terjun politik. Terpilih 3 periode dan telah malang melintang menjabat berbagai pimpinan di DPRD Kabupaten Intan Jaya. Sekarang dirinya menjabat Ketua DPD NASDEM Kabupaten Intan Jaya. Pada Pemilu 2024 lalu, Marten tidak mencalonkan lagi. “Ya saya di Pileg lalu sudah tidak mencalonkan diri. Tidak mencalonkan bukan berarti vakum dalam politik. Kalau Tuhan berkenan, saya berniat maju mencalonkan diri jadi Bupati Intan Jaya pada Pilkada November 2024. Mohon doanya,” ujar Ketua DPRD termuda dan pertama definitif di Kabupaten Intan Jaya.
Keinginan putera daerah Intan Jaya membangun daerahnya memang harus diberi kesempatan membangun Intan Jaya. Track record-nya sudah terbukti, peduli membangun keimanan, membangun SDM dengan pendidikan, kesehatan dan hidupnya sepenuhnya dicurahkan membangun tanah kelahirannya. “Potensi Intan Jaya itu sangat besar. Baik tambang emas dan berbagai tambang lainnya. Yang pasti untuk membangun Intan Jaya dan Papua umumnya, harus mengembangkan kemampuan SDM dulu. Maksudnya membangun aset yang sudah ada yaitu manusia, budaya dan alam,” tutupnya.