Majalahgaharu.com Jakarta Dengan penuh sukacita saya menyambut kehadiran Imam Besar Al-Azhar Mesir, Yang Mulia Prof Dr Sheikh Ahmed el-Tayyeb, di Indonesia. Kunjungan Yang Mulia sungguh merupakan suatu kehormatan bagi kami, bukan saja umat muslim di Indonesia, tetapi juga bagi kami gereja-gereja di Indonesia.
Di tengah dunia yang makin tercabik-cabik oleh ragam konflik dan peperangan dan oleh peradaban yang makin mengedepankan kuasa dan harta, sebagai buah dari budaya kerakusan, acapkali perdamaian dan kemanusiaan sering tinggal menjadi slogan, karena ternyata berbagai tatanan ekonomi dan politik global terbukti tidak mampu mengatasi berbagai kontestasi dalam berbagai lapangan hidup. Mereka yang lemah, miskin dan tak mampu bersuara, utamanya perempuan dan anak-anak, dari waktu ke waktu semakin terpinggirkan.
Agama-agama yang sejatinya hadir untuk memanusiakan manusia ternyata juga sering bias oleh kepentingan sesaat, bahkan acap terjebak menjadi kendaraan bagi kepentingan ekonomi atau politik tertentu. Akibatnya peran transformatif agama-agama yang menyejarah itu sering tinggal menjadi retorika karena hanya mengedepankan simbol-simbol agama dan kehilangan nilai-nilai substantifnya.
Di tengah kecenderungan sedemikian, dunia sangat tertolong dengan komunike bersama Imam Besar Al-Azhar, Yang Mulia Prof Dr Sheikh Ahmed el-Tayyeb, dan Bapa Suci, Sri Paus Fransiskus, tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama.
Komunike yang dikenal dengan Dokumen Abu Dhabi ini menukik pada substansi hidup bersama sebagai umat manusia, yakni persaudaraan kemanusiaan, yang melewati batas-batas agama, suku bangsa, ras dan pilihan politik. Dan karenanya sangat relevan dengan masyarakat dunia saat ini.
Pernyataan bersama Yang Mulia Imam Besar mestinya telah menohok masyarakat dunia, yang punya kecenderungan beragama secara artifisial. Segala simbol-simbol agama dikedepankan, tetapi substansi hidup beragama malah diabaikan, yakni persaudaraan kemanusiaan.
Yang Mulia Imam Besar telah memotivasi kita semua untuk lebih mengedepankan perdamaian dunia dan hidup bersama, dan ini tentu akan menguatkan kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat majemuk seperti kami, Indonesia, yang sangat beragam baik dari segi bahasa, suku bangsa dan agama.
Sekalipun masyarakat kami sangat beragam, kami terus menerus membangun hidup bersama atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan di tengah keragaman yang ada. Dalam hal ini kami beruntung oleh dua hal: pertama, sebagai bangsa, kami berdasar pada ideologi Pancasila, yang merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa ini, yang diikat oleh semangat Bhinneka Tungal Ika: meski berbeda-beda tetapi tetap satu adanya.
Dan kedua, kami beruntung memiliki saudara-saudara Muslim, sebagai penduduk terbesar di Indonesia, yang mengedepankan Islam sebagai “Rahmatan lil Alamin”, yang dalam syiar keagamaannya, selalu bergandengan tangan dengan agama-agama lain. Tidaklah berlebihan bila saya katakan, Islam Indonesia yang adaptif dengan perubahan jaman, koeksistensi dalam keberagaman dan menjunjung HAM dan demokrasi bisa menjadi sumbangan bagi peradaban dunia kini dan di masa depan.
Dengan semangat seperti itu, melalui dialog dan kerjasama antar agama kami bersama-sama mengembangkan kehidupan beragama yang menukik kepada nilai-nilai substansial dari agama masing-masing dan tidak terjebak pada simbol-simbol maupun formalisme beragama. Kami senantiasa mengajak umat untuk beragama secara substansial agar mudah mempertemukan para penganut agama dari agama apa pun, karena pada hakekatnya setiap agama ada dan hadir untuk mewartakan nilai-nilai yang kurang lebih sama yakni persaudaraan, perdamaian dan hidup bersama dengan rukun.
Bagi kami di Indonesia, ungkapan Dokumen Abu Dhabi yang menyebutkan “Tuhan tidak perlu dibela”, sudah sangat lama tertanam dalam sanubari kami, karena sekitar 25 tahun lalu, Presiden keempat Indonesia, dan juga mantan Ketua Umum PBNU, Abdurrachman Wahid atau Gus Dur pernah mengungkapkan, bahwa Tuhan itu tidak perlu dibela, karena Tuhan itu serba maha. Ganti membela agama dan Tuhan, selayaknyalah kita semua membela yang lemah dan tersingkirkan, karena dengan merekalah Tuhan mempersonifikasikan diriNya (Matius 25:40).
Semoga kehadiran Yang Mulia di Indonesia, dan ditambah lagi dengan rencana kehadiran Bapa Suci, Sri Paus September yang akan datang, semakin memperkokoh komitmen kami, masyarakat dan bangsa Indonesia, untuk ikut membangun peradaban dunia yang damai dan menata hidup bersama yang lebih adil dan rukun.