Majalahgaharu Jakarta, CNN Indonesia Aktris Tika Bravani kembali menghidupkan sosok Siti Walidah, istri pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, lewat sebuah teater monolog bertajuk Aku yang Tak Kehilangan Suara. Pertunjukan ini akan digelar pada Sabtu, 31 Mei 2025 di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Proyek ini diprakarsai oleh Regina Art dan didukung Djarum Foundation, sebagai bagian dari upaya mengangkat kisah perempuan yang kerap tersisih dari sejarah arus utama.
“Monolog itu sebenarnya hal yang paling saya hindari. Takut mati gaya, lupa dialog, dan takut sendirian di panggung,” kata Tika usai gladi resik di Jakarta, Jumat malam (30/5).
Namun, Tika memilih menghadapi ketakutan itu. Ia tampil seorang diri di panggung membawakan cerita hidup Siti Walidah, yang dikenal sebagai pejuang pendidikan dan penggerak emansipasi perempuan dalam lingkungan Islam modernis awal abad ke-20.
Dari Film ke Teater: Tantangan Baru
Bukan kali pertama Tika memerankan tokoh ini. Pada 2017, ia membintangi film Nyai Ahmad Dahlan. Namun, kali ini tantangan berbeda: tanpa ruang untuk kesalahan.
“Kalau di film bisa take ulang. Di panggung, salah ya lanjut saja. Jadi saya latihan keras. Dialog saya hafal sambil treadmill tiap pagi,” ujar Tika.
Naskah Sarat Emosi dan Keteguhan Perempuan
Pertunjukan ini ditulis oleh Dian dan disutradarai Wawan Sofwan. Naskahnya menyoroti dinamika batin Siti Walidah sebagai istri, pemimpin perempuan, dan pendidik. Termasuk bagaimana ia menghadapi poligami dalam rumah tangganya bukan sebagai fokus cerita, tapi sebagai pintu masuk menggambarkan keteguhan seorang perempuan dalam menghadapi luka.
“Kita ingin menunjukkan bagaimana perempuan berdamai dengan luka, bangkit, dan tetap berdaya,” kata Dian.
Dipilih karena Komitmen
Produser pertunjukan Joane Win menyebut Tika sebagai pilihan utama karena dedikasi dan keterikatannya pada karakter.
“Dia serius dalam latihan, menjaga stamina, dan memahami Siti Walidah dengan hati,” ujarnya.
Pemilihan Tanggal Bukan Kebetulan
Awalnya pertunjukan dijadwalkan 8 Maret, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Namun karena berdekatan dengan Ramadan, jadwal diubah ke 31 Mei — yang ternyata merupakan hari wafatnya Siti Walidah.
“Waktu tahu itu hari wafat Bu Walidah, rasanya ini pertanda. Jadi lebih bermakna,” ujar Tika.
Teater ini diharapkan tak hanya menjadi ruang apresiasi seni, tapi juga refleksi sejarah bahwa suara perempuan, seperti Siti Walidah, layak mendapat panggung utama dalam narasi perjuangan bangsa.
Reporter Elly T