Peresensi: Yudhie Haryono | CEO Nusantara Centre
Judul buku asli: Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia (Epos Sumbangsih Cerlang Nusantara sebagai Pandu Masa Depan).
Penulis: Yudi Latif.
Penerbit: Kompas, Jakarta.
Tahun terbit: 2024.
Tebal: 750+xxxiii hlm.
ISBN: 978-623-523-730-5.
Harga: Rp299.000.
Kategori: Sejarah Peradaban.
Majalahgaharu Jakarta Selamat untuk Kang Yudi Latif. Selamat untuk Indonesia. Akhirnya buku babon dan terbarunya terbit dan sangat keren isinya. Terlebih, diluncurkan pas hari sumpah pemuda, dengan harapan bangsa ini percaya diri dan siap jadi peradaban besar.
Tentu, ini satu kelangkaan, satu kesepian yang lahir dari optimisme di tengah makin gelapnya (ekopol) republik. Kita wajib bersyukur. Semoga jadi daya ungkit dan daya dorong kembalinya pembaharuan.
Ya. Angka dan prestasi elite negara ini yang tersaji besar hanya KKN. Prestasi positif yang lain makin tak tampak. Padahal, kita selalu bermimpi tentang indah hari tua bersama Indonesia. Tetapi korup kerja elitnya terus tak putus meskipun hati rakyat rindu sejahtera; kangen keadilan; rindu kesentosaan.
Sebaliknya, kita saksikan elite Indonesia itu penjumlah dendam dan luka. Menjejernya untuk merasa bahagia. Tak minat mengobati. Sebab, cara mengobatinya hanya membuat luka baru dan menjejernya kembali. Menyebalkan. Menjijikkan. Anti kewarasan.
Ya. Yudi Latif, penulis jenius ini berkonstribusi besar dalam menulis dan memupuk literasi keindonesiaan yang dahsyat. Sejumlah karya babon menjadi bukti prestasinya. Ia bagai novelis besar Pramoedya Ananta Toet di narasi sastra yang mendunia.
Tesisnya menarik, “bangsa ini bukan ditakdirkan menjadi pengikut. Ia pernah menjadi pemimpin. Untuk kembali ke sana, ingatan adalah energi, dan sejarah adalah senjata.” Sayangnya kita kini miskin dan dimiskinkan (oleh semua penjahat lokal dan internasional).
Tentu saja, menghabisi kemiskinan dan keterbelakangan itu tak mudah karena, selama ratusan tahun diperkosa kolonialisme yang menghegemoni pandangan dunia sekaligus mencerabut masyarakat dari akar identitasnya, lalu mewariskan mental inlander dan bertradisi KKN.
Tetapi, selalu ada harapan walau tipis. Kata penulis dengan satir, “ingat langit itu tinggi sedangkan lautan itu dalam. Jangan pernah mencintai elite
setinggi langit, jika tidak mau terluka sedalam lautan.” Ini refleksi 10 tahun kepemimpinan yang lama tentu saja.
Salah satu bab yang sangat menarik dari buku ini bagi peresensi adalah bab 8 yang meriset soal herbal dan jamu. Kebetulan sudah dua tahun, kami sedang menyiapkan lembaga Banrehi (Badan Nasional Rempah dan Herbal Indonesia). Jadi ini tema yang saling berkaitan.
Menurutnya, “sumber daya alam, hutan tropis, keanekaragaman hayati, hingga warisan pengetahuan tradisional seperti jamu dan obat herbal menjadi bagian dari kekuatan Indonesia yang turut menghidupi dunia.
Keindahan alamnya telah menjadi inspirasi tanpa batas; sementara penemuan arkeologis dan paleoantropologis menunjukkan bahwa jejak awal manusia dan kebudayaan dunia juga tertanam di bumi Nusantara (h.195).”
Lebih jauh, Latif berhipotesa bahwa, “herbal dan jamu Indonesia bukan sekedar obat: mereka mahakarya peradaban dari dialog manusia dengan alam dan kultur nusantara; menyatukan ilmiah dan spiritual, sambil terus memperbarui diri tanpa tercerabut dari akar budaya, demikian keyakinannya yang sangat keren (h.187).”
Ketika hati kita yang miskin dan kebanyakan sudah rapuh melepuh. Kalah diuji oleh duniawi, diuji oleh bidadari, diuji oleh posisi, sekarat untuk kesekian kali, buku ini datang menemani. Buku ini berkata, “mari bertempur dan berperang kembali. Tegakkan jati diri. Menangkan masa depan.”
Terdiri dari 22 bagian tema besar, merentang dari geologi sampai bahasa Indonesia, penulis buku mengajarkan kita terus menikmati ujian untuk bekerja; ujian untuk berterimakasih; ujian untuk bersabar; ujian untuk beriman; ujian untuk berdoa. Inilah 5 ujian dalam hidup kita yang riil di Indonesia yang hari ini bernasib memilukan.
Satu-satunya kritik untuk buku ini adalah: terlalu tebal dan terlalu mahal. Di zaman ketika niat baca itu defisit dan kaum miskin makin banyak, “tebal dan mahal” itu kutukan.
Di atas segalanya, buku ini menyatukan pikiran, perasaan dan kemauan penulis untuk berbuat baik, benar dan indah demi kejayaan Indonesia. Semoga mestakung.(*)

