Kebangkitan yang Diragukan: Mungkinkah Partai Kristen Kembali Berjaya di Indonesia?

Ayo Bagikan:

Majalahgaharu Jogyakarta Wacana untuk menghidupkan kembali partai politik berbasis agama Kristen di Indonesia selalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam sejarahnya, umat Kristen selalu aktif dalam kancah politik nasional. Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah di tengah kompleksitas politik, sosiologi, dan tantangan internal-eksternal masa kini, masihkah partai Kristen memiliki peluang dan relevansi untuk kembali unjuk gigi?

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, politik Indonesia menyaksikan lahirnya partai-partai berbasis agama, termasuk Kristen. Yang paling menonjol adalah Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang didirikan pada akhir tahun 1945, menyalurkan aspirasi umat Protestan. Umat Katolik juga memiliki wakilnya, yaitu Partai Katolik. Kedua partai ini berperan penting dalam politik awal, bahkan beberapa kadernya menduduki posisi strategis di kabinet, seperti Johannes Leimena dari Parkindo.

Namun, era Orde Baru menjadi titik balik yang mematikan. Melalui kebijakan Fusi Partai Politik yang diterapkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1973, semua partai diwajibkan bergabung menjadi dua kelompok saja: kelompok spiritual/Islam (PPP) dan kelompok nasionalis/sekuler (PDI). Parkindo dan Partai Katolik dipaksa melebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), bersama dengan partai-partai nasionalis lainnya. Kebijakan ini secara efektif menghilangkan identitas politik Kristen yang berdiri sendiri dan membatasi ruang gerak kader minoritas, menyebabkan partai-partai berbasis Kristen yang awalnya eksis akhirnya redup dan hilang dari panggung politik.

Setelah Reformasi yang membuka keran demokrasi pada tahun 1998, upaya menghidupkan kembali partai Kristen muncul. Salah satu yang paling dikenal adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) yang berhasil lolos ke parlemen pada Pemilu 2004. Partai ini sempat menjadi satu-satunya wadah politik Kristen yang nyata dalam dua dekade terakhir. Namun, sama seperti pendahulunya, partai ini tidak mampu bertahan lama.

PDS dan partai Kristen kecil lainnya akhirnya redup atau hilang dari peta politik modern Indonesia karena beberapa faktor utama. Pertama, mereka kesulitan untuk mencapai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang semakin tinggi, menunjukkan basis suara yang tidak cukup kuat dan terfragmentasi. Kedua, para tokoh dan pemilih Kristen cenderung lebih memilih bergabung dengan partai-partai nasionalis besar yang lebih stabil dan memiliki peluang menang yang jauh lebih besar. Mereka beranggapan bahwa aspirasi politik Kristen lebih efektif diperjuangkan melalui partai nasionalis yang lebih inklusif dan dekat dengan pusat kekuasaan, bukan melalui partai eksklusif yang kesulitan lolos.

Kebangkitan partai Kristen menghadapi tantangan multidimensi. Kendala internal yang paling besar yaitu ketidakmampuan mempersatukan umat Kristen yang terpecah dalam beragam denominasi, sinode, atau gereja. Umat Protestan dan Katolik memiliki struktur dan orientasi yang berbeda. Bahkan di antara Protestan sendiri, terdapat ratusan sinode yang kerap kali memiliki fokus teologis dan sosial yang berlainan. Perbedaan cara pandang teologis-politis ini seringkali membuat tokoh-tokoh Kristen sulit bersepakat pada satu wadah politik tunggal, yang berujung pada munculnya banyak partai kecil yang justru saling berebut suara.

Secara eksternal, partai Kristen harus bersaing dengan partai-partai nasionalis besar yang sudah mapan. Partai-partai ini menawarkan “karpet merah” bagi para politisi Kristen yang berbakat, menjanjikan posisi yang lebih baik daripada berjuang di partai kecil berbasis agama. Selain itu, ada kekhawatiran dari sebagian masyarakat dan politisi Kristen sendiri bahwa pembentukan partai agama dapat memperkuat stigma sektarian dan justru melemahkan semangat kebangsaan.

Tantangan bagi partai Kristen modern semakin kompleks, misalnya tantangan Inklusivitas dan moderasi Beragama. Di era moderasi beragama, partai Kristen dituntut untuk tidak hanya memperjuangkan kepentingan internal umat, tetapi harus tampil inklusif dan berjuang untuk seluruh warga negara, tanpa memandang latar belakang agama. Mereka harus mampu menawarkan platform yang mengatasi masalah kebangsaan secara umum, jauh melampaui isu-isu gerejawi. Jika hanya fokus pada isu agama, partai akan dituduh memperkuat polarisasi.

Disi lain, partai Kristen juga menghadapi tantangan Penggalangan Dana dan Partisipasi. Menggalang dana yang memadai untuk biaya operasional dan kampanye nasional sangat sulit bagi partai minoritas. Selain itu, partisipasi politik umat Kristen cenderung pragmatis; mereka lebih suka memilih calon Kristen di partai manapun yang berpeluang menang, daripada memilih partai Kristen yang berpeluang kecil.

Saat ini, banyak sekali tokoh Kristen yang sukses dan berpengaruh di partai-partai nasionalis besar, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kita bisa melihat nama-nama besar yang aktif di PDI Perjuangan, Golkar, NasDem, Demokrat, Gerindra, dan lain-lain. Mereka menduduki posisi penting, bahkan menteri, kepala daerah, atau pimpinan komisi di parlemen.

Namun, kehadiran mereka di partai nasionalis seringkali dianggap kurang merepresentasikan suara kekristenan secara utuh oleh sebagian umat. Ada beberapa alasan, pertama karena mau tidak mau harus fokus kepada Program Universal partai. Sebagai kader partai nasionalis, prioritas mereka adalah mengusung platform partai yang bersifat universal dan nasionalis, bukan hanya agenda spesifik umat Kristen. Setiap langkah politik mereka harus dipertimbangkan dalam konteks kepentingan partai dan pemilih yang beragam.

Kedua, adanya tuntutan Loyalitas Partai: Loyalitas utama mereka diarahkan kepada garis kebijakan partai. Ketika ada isu yang sensitif bagi umat Kristen, sikap mereka seringkali harus sejalan dengan kepentingan politik partai yang lebih besar, yang bisa jadi merupakan kompromi.

Ketiga, karena hilangnya “Suara Kenabian”: Tanpa partai yang secara eksplisit menjadi juru bicara umat, suara politisi Kristen ini dianggap sebagai suara individu atau faksi dalam partai, bukan sebagai “suara kenabian” yang mewakili nilai-nilai etis Kristen secara kolektif terhadap negara. Representasi mereka menjadi representasi individu, bukan institusi politik Kristen.

Dengan menimbang semua kendala dan tantangan di atas, apakah masih ada peluang untuk membangun atau mengembangkan partai Kristen di masa kini? Jawabannya adalah ya, namun peluangnya sangat tipis dan memerlukan transformasi fundamental.

Peluang ini terletak pada kebutuhan akan representasi yang otentik. Ada argumen bahwa tanpa partai Kristen, aspirasi minoritas dapat diabaikan, dan umat Kristen hanya bergantung pada belas kasihan pemimpin mayoritas. Peluang itu ada jika sebuah partai Kristen mampu mengusung isu kebangsaan universal dengan Fokus pada hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pluralisme, bukan hanya isu gereja. Partai Kristen juga harus mampu menjadi agregator denominasi, indikartornya adalah berhasil mempersatukan tokoh-tokoh kunci dari berbagai sinode. Kemampuan untuk menarik tokoh non-Kristen juga sangat penting, untuk menunjukkan kepada publik bahwa partai ini inklusif, bukan sekadar “partai Kristen untuk orang Kristen.”

Apakah masih relevan mengimpikan munculnya partai Kristen yang kuat di Indonesia? Mungkin kurang relevan jika tujuannya hanyalah untuk menghadirkan partai berbasis agama Kristen secara eksklusif. Politik modern Indonesia menuntut adanya konsolidasi dan inklusivitas. Energi dan sumber daya umat Kristen akan lebih efektif jika disalurkan untuk memperkuat kader-kader Kristen di partai nasionalis yang besar dan beragam, yang memiliki peluang nyata untuk berkuasa dan memengaruhi kebijakan.

Namun, jika tekad untuk mendirikan partai baru tetap bulat, ada beberapa hal mendasar yang harus dipersiapkan, antara lain visi Inklusif yang Jelas. Partai Kristen harus secara tegas menempatkan Pancasila dan Kebhinekaan sebagai landasan utama, dan menjadikan moderasi beragama sebagai identitas utamanya, menjauhi kesan sektarian. Memiliki Kepemimpinan yang Kuat dan Bersatu menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar.  Harus ada kesepakatan dari semua elemen gereja dan tokoh-tokoh lintas denominasi untuk mendukung satu wadah politik saja. Tentu saja, sangat penting untuk membangun jaringandan sumber daya  hingga ke tingkat daerah dan memastikan sumber pendanaan yang transparan dan berkelanjutan.

Hal lain yang perlu disikapi karena terkait strategi mendirikan dan membesarkan partai Kristen adalah semakin tidak lakunya partai berbasis massa, sedangkan partai berbasis elektoral semakin banyak. Dikutip dari Kompas.com, hal ini disampaikan pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, dalam acara diskusi yang diselenggarakan Pusat studi Konstitusi Universitas Andalas, di Novotel Cikini, Jakarta (Rabu, ). Dia mengatakan, teknologi yang hadir di abad 21, khususnya terkait dengan dunia digital, memberikan akses langsung kepada penguasa. Peristiwa ini membuat fungsi partai politik yang sebelumnya sebagai penyalur aspirasi hilang. Partai berbasis massa kemudian mulai bergeser, beradaptasi dengan pola electoral, muncul saat dibutuhkan, dan hadir musiman saat pemilu saja.

Tanpa kesiapan ini, partai Kristen baru hanya akan mengulang sejarah lama: redup setelah berjuang sejenak, tenggelam di antara partai-partai nasionalis yang lebih kokoh. Kebangkitan sejati bukan hanya tentang nama baru, tetapi tentang visi politik yang mampu merangkul seluruh bangsa.

(Jurnalis:SHN/foto:AI)

 

 

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Gubernur NTT Natal Tahun Ini Prinsipnya Sederhana Namun Besar Dampaknya

Sat Dec 13 , 2025
Jakarta-MajalahGaharu.com – Sesuai arahan Presiden Prabowo tiga bulan lalu bahwa Natal tahun dilalukan dengan sederhana. Meski sederhana tapi tentu saja dampaknya harus besar. Maka Di NTT sendiri ada pemberian beasiswa, renovasi gereja, penyediaan ambulans dan bantuan sosial berupa paket natal. Hal itu disampaikan Gubernur Nusa Tengga Timur Emmanuel Melkiadea Laka […]

You May Like