
Jakarta, majalahgaharu.com – Jakarta disebut salah satu kota dengan Indeks Kota Toleran (IKT) rendah oleh Setara Institute. Ada empat variabel yang digunakan sebagai alat ukur indikator toleransi di sebuah kota. Keempatnya yakni, regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial dan demografi agama. Ibu Kota berada di peringkat 92 dari 94 kota dalam IKT. Jakarta memperoleh nilai 2,88 pada riset yang dilakukan oleh Setara Institute tahun ini. Pada 2017, Jakarta berada pada posisi paling ujung, yaitu 94 dengan nilai 2,30. “Tidak terlalu banyak kemajuan yang kita lihat dari Jakarta. Peristiwa intoleransi terlalu banyak,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili di Jakarta, Jumat lalu (07/12/2018).
Ketua Setara Institute Hendardi menjelaskan, ini adalah IKT ketiga yang diselenggarakan sejak 2015 lalu. Tujuan dari IKT ini adalah mendorong praktek toleransi di perkotaan, sehingga memicu kota lain yang masih kurang baik penilaiannya menjadi lebih baik. “Dua IKT sebelumnya juga telah mendorong wacana publik dalam pentingnya partisipasi lokal,” kata dia di Jakarta, Jumat SETARA Institute mencatat terdapat 109 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dengan jumlah 136 tindakan hingga pertengahan tahun 2018. Pelanggaran tersebut tersebar di 20 provinsi dan baru tahun ini, peristiwa tersebut paling banyak terjadi di DKI Jakarta. Ia menyebutkan bahwa seringkali Jawa Barat yang menduduki posisi tertinggi.
Sebagai Ibu Kota, berbagai dinamika politik terjadi di sini, terutama menjelang Pilpres 2019. Sama seperti Pilkada 2017 lalu. Tampilan politik melibatkan agama dan suku dari masing-masing kelompok yang bersaing. Pilkada 2017 disebut sangat berpengaruh di indeks tolerensi di Jakarta termasuk adanya berbagai reuni-reuniyang memiliki pengaruh terhadap indeks toleransi. Apalagi disebutkan adanya tindakan dan tampilan kekerasan dalam konteks politik identitas dalam agama atau suku. Penyebab Jakarta masuk 10 besar Kota toleransi terendah karena Jakarta adalah pusat politik dan kekuasaan.
Terkait hal ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswesdan pun merespon. Menurut Anies, bukan hanya hasil survei yang harus dijadikan patokan, tapi sebuah pertanyaan yang disebar kepada publik harus pula diuji. Karena bisa saja daftar pertanyaan sengaja disusun untuk mengarah pada jawaban tertentu. Mantan Mendikbud ini bahkan ingin mengundang para ahli statistik dan ahli pengukuran ilmu sosial untuk menghitung apakah hasil survei Setara soal kota toleran valid atau tidak. [RA]