Majalahgaharu Bandung Abstrak Wacana pembubaran Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencuat sebagai respons terhadap beragam persoalan yang menimpa institusi kepolisian, mulai dari penyalahgunaan wewenang hingga krisis kepercayaan publik. Artikel ini menganalisis isu tersebut melalui perspektif teori komunikasi publik (Lasswell) dan teori legitimasi institusional (Suchman, 1995).
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dan kajian literatur dari berbagai sumber berita kredibel serta pernyataan pakar hukum, artikel ini menemukan bahwa gagasan pembubaran Polri lebih merefleksikan krisis komunikasi dan legitimasi, bukan kebutuhan struktural negara. Data dari Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 76,4%, menandakan bahwa reformasi lebih relevan daripada pembubaran. Rekomendasi utama penelitian ini adalah pentingnya komunikasi publik yang transparan, reformasi hukum dan kelembagaan, serta pembentukan Komite Reformasi Polri Independen untuk mengembalikan legitimasi institusional.
Kata Kunci: Polri, komunikasi publik, legitimasi, reformasi, pembubaran lembaga
Pendahuluan
Isu pembubaran Polri menjadi perbincangan publik di tengah berbagai kritik terhadap lembaga penegak hukum tersebut. Desakan ini muncul dari ketidakpuasan masyarakat atas sejumlah kasus pelanggaran HAM, praktik penyalahgunaan kewenangan, dan rendahnya akuntabilitas institusi keamanan. Namun demikian, gagasan untuk membubarkan institusi sebesar Polri tidak hanya berimplikasi pada aspek hukum, melainkan juga menyentuh dimensi komunikasi publik dan legitimasi negara.
Menurut teori Harold Lasswell (1948), setiap kebijakan publik harus dianalisis melalui lima elemen komunikasi: who says what, in which channel, to whom, and with what effect. Dalam konteks ini, pertanyaan utamanya bukan semata apakah Polri harus dibubarkan, melainkan siapa yang mengusulkan, dengan pesan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan dampak sosial-politik seperti apa.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode kajian pustaka (library research). Sumber data berasal dari laporan survei nasional, pernyataan pakar hukum, artikel media kredibel, dan dokumen lembaga negara seperti Komnas HAM dan DPR RI. Analisis dilakukan dengan mengaitkan data faktual dengan teori komunikasi publik dan legitimasi untuk menemukan pola argumentatif antara persepsi publik, komunikasi institusional, dan krisis kepercayaan.
Hasil dan Pembahasan
- Fakta Empiris dan Dinamika Kepercayaan Publik
Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 76,4%, dengan 95,9% masyarakat merasa aman di lingkungannya dan 76,2% puas terhadap layanan kepolisian (AntaraNews, 2024). Data ini menunjukkan bahwa meski sempat turun akibat kasus Ferdy Sambo, Polri telah memulihkan sebagian besar kepercayaannya. Secara komunikasi publik, angka ini mencerminkan bahwa legitimasi institusi belum hilang, melainkan membutuhkan perbaikan transparansi dan responsivitas. - Wacana Pembubaran: Analisis Isi dan Aktor Komunikasi
Wacana pembubaran Polri muncul di media sosial dan ruang publik sebagai bentuk protes terhadap RUU Polri yang dinilai memperluas kewenangan tanpa pengawasan ketat (AJI, 2024). Namun sejumlah pakar hukum menilai usulan ini tidak proporsional.
Beberapa tanggapan penting antara lain:
– Dr. I Ketut Adi Purnama (2025): Dugaan skenario untuk mengganti Polri menjadi Kementerian Keamanan RI (Koma.id, 2025).
– Moh. Aan Riyana Saputra (2025): Subordinasi Polri ke kementerian akan melemahkan independensi.
– Prof. Sugianto (2025): Mendukung pembentukan Komite Reformasi Polri independen (RMOL Jabar, 2025).
– Habib Syakur Ali Mahdi (2025): Menyebut wacana pembubaran sebagai “halusinasi politik” (RedaksiKota, 2025).
– Komnas HAM: Menegaskan pentingnya Polri dalam melindungi kebebasan sipil (HayuaraNet, 2025). - Krisis Komunikasi dan Legitimasi
Polri menghadapi dua krisis besar: krisis persepsi publik dan krisis komunikasi kelembagaan. Dalam teori komunikasi krisis (Coombs, 2007), lembaga publik harus cepat, terbuka, dan empatik dalam merespons kasus sensitif. Polri sering kali menggunakan komunikasi yang reaktif dan defensif, yang memperburuk persepsi publik. Namun teori legitimasi (Suchman, 1995) menegaskan bahwa legitimacy can be restored through communicative action. - Alternatif Solutif: Reformasi dan Komite Independen
Dari berbagai pendapat pakar, solusi utama bukanlah menghapus Polri, melainkan:
– Revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
– Pembentukan Komite Reformasi Polri Independen.
– Transparansi anggaran dan digitalisasi layanan.
– Pelatihan komunikasi publik dan etika pelayanan.
Kesimpulan
Wacana pembubaran Polri merupakan refleksi dari krisis legitimasi dan komunikasi publik, bukan kebutuhan struktural negara. Data empiris menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri masih tinggi, dan pakar hukum menilai reformasi kelembagaan jauh lebih realistis daripada pembubaran total. Dari perspektif teori komunikasi, solusi yang dibutuhkan adalah peningkatan transparansi, partisipasi publik, serta komunikasi krisis yang empatik dan jujur.
Daftar Pustaka
- (2024). Survei Indikator: Tingkat Kepercayaan pada Polri 76,4 Persen. https://www.antaranews.com/berita/3809973/survei-indikator-tingkat-kepercayaan-pada-polri-764-persen
- AJI Indonesia. (2024). Rilis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian. https://aji.or.id/informasi/rilis-koalisi-masyarakat-sipil-untuk-reformasi-kepolisian-reform-police-menolak-ruu-polri
- id. (2025). Pakar Hukum Bongkar Dugaan Ada Skenario Pembubaran Polri Diganti Kementerian Keamanan RI.
- RMOL Jabar. (2025). Presiden Bentuk Komite Reformasi Polri, Pakar Hukum Bubarkan Tim Internal.
- (2025). Usulan Bubarkan Polri Dinilai Halusinasi Politik.
- (2025). Komnas HAM Desak Kepolisian Usut Pembubaran Diskusi di Kemang.
- Suchman, M. C. (1995). Managing Legitimacy: Strategic and Institutional Approaches. Academy of Management Review, 20(3), 571–610.
- Lasswell, H. (1948). The Structure and Function of Communication in Society.

