Obor Itu Tak Pernah Padam: Pdt. DR. Petrus Octavianus DD. Ph.D.

Ayo Bagikan:

 

Oleh : Albertus M. Patty

Majalahgaharu Jakarta Kita mudah melabel seseorang. Padahal label itu mempersempit citra diri orang tersebut. Pengalaman ini yang saya rasakan saat, bersama Kenny Wirya, berkunjung ke Institut Injili Indonesia (I-3) dan mendengar langsung cerita tentang Pdt. DR. Petrus Octavianus, pendiri Institut Injili Indonesia, di daerah Batu, Malang. Dari cerita dan buku sejarah hidup beliau, saya menemukan tokoh besar yang seharusnya menjadi panutan kita semua.

Ada manusia yang hidupnya menjadi tanda dari kehadiran Allah di tengah sejarah bangsanya. Mereka tidak sekadar hadir, tetapi menghadirkan terang. Mereka membiarkan dirinya ‘dibakar’ dengan api Injil agar orang lain merasakan kehangatan cahaya kasih Kristus. Pdt. DR. Petrus Octavianus adalah salah satu dari sedikit hamba Tuhan yang ‘dibakar’ oleh api Injil untuk menerangi gereja dan bumi Indonesia.

Meninggalkan Tahta Dunia
Kisah beliau dimulai dari dunia pendidikan. Sebagai pendiri dan rektor pertama Akademi Pendidikan Guru Nasional Malang (1957), beliau memiliki posisi yang terhormat dan masa depan akademik yang gemilang. Namun di tengah semua itu, ia mendengar panggilan Allah yang lembut namun tegas: meninggalkan kemapanan dan mengabdikan seluruh hidupnya bagi pelayanan Injil. Ia dan istri bergumul keras. Haruskah meninggalkan semua fasilitas dan kebesaran dunia ini? Tetapi, panggilan Tuhan yang semakin hari semakin jelas membulatkan tekadnya melangkah turun dari tangga kehormatan dunia untuk menaiki tangga ketaatan rohani. Dia dan keluarga memulai hidup baru tanpa jabatan, tanpa gaji. Mereka hanya bergantung total pada kebaikan dan pemeliharaan Sang Gembala yang baik.

Keputusan itu menjadi titik balik. Dari langkah iman itu lahirlah Institut Injil Indonesia (I-3) di Batu, Malang. sebuah lembaga yang bukan sekadar sekolah teologi, tetapi rumah pembentukan rohani bagi ribuan pelayan Tuhan dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam kesunyian pegunungan Batu, beliau mendidik dengan ketegasan dan kasih, dengan disiplin akademik dan kedalaman spiritualitas. Bagi beliau, ilmu tanpa kasih akan kering, dan kasih tanpa pengertian akan rapuh.

Injil yang Membangun Bangsa
Sebagai teolog dan pengkhotbah, Pdt. Octavianus bukan hanya berbicara tentang keselamatan pribadi, tetapi juga tentang transformasi bangsa. Visinya tentang bangsa Indonesia dituangkan dalam buku “Menuju Indonesia Jaya dan Indonesia Adidaya”.

Dia menulis dengan suara kenabian:
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kuat, tetapi bangsa yang takut akan Tuhan. Indonesia tidak akan jaya karena kekayaan alamnya, tetapi karena moralitas dan iman yang hidup dalam hati rakyatnya.”

Ia percaya bahwa pembangunan ekonomi tanpa pembaruan moral akan melahirkan keserakahan. Karena itu, ia menyerukan agar gereja tidak berhenti pada ibadah yang indah, tetapi bergerak keluar menjadi garam dan terang bagi dunia. Ia menulis:
“Kita tidak boleh menjadikan Injil hanya milik gereja. Injil adalah kabar baik bagi seluruh bangsa. Ketika gereja menjadi saksi yang hidup, maka bangsa pun akan melihat kemuliaan Allah.”

Melampaui Label dan Dikotomi
Saya akui, saya pernah menilai beliau dalam kacamata teologis yang sempit. Saya menempatkan beliau di dalam kotak “Injili” yang sering dilabel eksklusif dan fundamentalis, berbeda dari arus “Oikoumenis” yang saya pahami lebih terbuka dan moderat. Namun ketika menelusuri hidup dan pelayanannya, saya justru menemukan seseorang yang melampaui label-label teologis yang membatasi.

Beliau dihangatkan oleh api penginjilan yang menyala, tetapi sekaligus hati yang penuh kasih dan penghargaan kepada sesama, termasuk mereka yang berbeda iman. Relasinya luas, ia dikenal baik oleh tokoh-tokoh lintas agama. Ia mendidik dan memberi beasiswa kepada ribuan siswa, bahkan dari agama lain, tanpa sedikit pun upaya kristenisasi. Ia menunjukkan bahwa kasih Kristus tidak perlu dipaksakan; ia cukup diteladankan.

Pdt. Octavianus adalah contoh nyata bahwa iman yang kokoh tidak harus berarti tertutup, dan keteguhan pada Injil tidak harus berarti menolak yang berbeda. Ia memegang teguh Kristus, tetapi tangannya terbuka bagi semua orang.

Kerajaan Allah & Bangsa Indonesia
Bagi beliau, pelayanan Injil dan cinta tanah air adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Ia menulis:
“Kita tidak bisa membangun Kerajaan Allah tanpa membangun bangsa ini. Tuhan menempatkan kita di Indonesia bukan untuk mengutuki kegelapan, tetapi untuk menyalakan terang di dalamnya.”

Beliau terus mendorong gereja agar menjadi agen pembaruan bangsa, tidak sekadar menjadi saksi rohani, tetapi juga pelaku keadilan sosial dan pendidikan. Dalam setiap khotbah dan kebijakan pelayanan, tampak jelas bahwa beliau menghayati doa Bapa Kami: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.”

Warisan Hidup di Generasi Baru
Warisan rohani Pdt. Octavianus tidak berhenti pada lembaga yang ia bangun, melainkan hidup dalam keluarganya dan generasi penerus pelayanannya. Anak-anak beliau melanjutkan tugas mulia di Institut Injil Indonesia, meneruskan semangat pelayanan dan integritas yang sama.

Salah satunya, Dr. Benny Octavianus, baru-baru ini diutus Tuhan untuk melayani di ruang publik sebagai Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Ini sesuai visi beliau bahwa pelayanan bukan hanya di mimbar, tetapi juga di pemerintahan; bukan hanya dalam doa, tetapi juga dalam tindakan nyata bagi kemanusiaan. Melalui anak-anaknya, nyala kasih dan dedikasi sang ayah terus menjalar, membuktikan bahwa pelayanan yang sejati tidak berhenti ketika hamba Tuhan berpulang. Kasih Allah selalu melahirkan penerus.

Terang yang Tak Pernah Padam
Kini, ketika kita menoleh ke belakang, kita melihat bahwa hidup Pdt. DR. Petrus Octavianus adalah sebuah kesaksian tentang ketaatan yang sederhana namun berdaya ubah besar. Ia pernah mengungkapkan pergumulan batinnya:

“Kebesaran seseorang tidak terletak pada gelar yang ia miliki, tetapi pada seberapa dalam ia mau taat kepada Tuhan.”

Dan benar, beliau taat. Dari ruang kelas hingga mimbar, dari pegunungan Batu hingga ke pelosok negeri, dan bahkan luar negeri, kepada elite politik, tetapi juga kepada anak-anak terlantar dan terlupakan. Beliau membagikan terang Injil secara konsisten dengan rendah hati dan cinta yang tulus.

Warisan itu kini menjadi panggilan bagi kita semua: untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, mencintai bangsa dengan segenap jiwa, dan melayani sesama dengan segenap hidup. Karena seperti beliau, kita pun dipanggil untuk menjadi obor yang tak padam, membawa cahaya Kristus di tengah bangsa yang kita cintai, bangsa Indonesia.

Bandung,
21 Okt. 2025

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Pesan Mendalam Dr. Iswanto dalam Orasi Ilmiah Wisuda IAKN Kupang

Thu Oct 23 , 2025
Majalahgaharu IAKN Kupang (Kemenag) Sidang Senat Terbuka pada Rabu (22/10/2025) Wisuda ke-VIII Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang menghadirkan momen akademik penuh refleksi melalui orasi ilmiah yang disampaikan oleh Dr. Iswanto, M.Hum., Wakil Dekan Fakultas Seni Keagamaan Kristen. Dalam orasinya yang berjudul “Kajian Semiotik: Teks, Referensi-Atribut, dan Autentifikasi dalam Komunikasi […]

You May Like