Majalahgaharu Ambon, 29 November 2025 – Inisiatif para guru di kota Ambon, Maluku, untuk membangun perdamaian melalui pendekatan literasi keagamaan lintas budaya di sekolah telah menjadi contoh nyata kolaborasi untuk memperkuat kohesi sosial masyarakat Maluku yang pernah tercerai-berai karena konflik sosial.
Dua sekolah yaitu SMAS Kristen Rehoboth dan SMA Al-Hilal, Ambon, telah mendeklarasikan diri sebagai Sekolah Gandong, yakni simbol persaudaraan lintas iman yang berakar dari kearifan lokal Maluku. Deklarasi Sekolah Gandong ini adalah salah satu implementasi Program LKLB untuk Perdamaian yang diadakan Institut Leimena, Yayasan Pembinaan Pendidikan Kristen (YPPK) Dr. JB. Sitanala, dan Sasakawa Peace Foundation dengan dukungan Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Yayasan Sombar Negeri Maluku.
“Sedikit refleksi pada Januari 1999, kota Ambon dilanda dengan sebuah peristiwa konflik yang sangat memilukan dalam sejarah Maluku dan juga Indonesia karena saat itu ribuan nyawa, rumah, semua kita terpaksa hidup terpisah-pisah, ada trauma dan rintihan dimana-mana. Ruang pertemuan dengan saudara Muslim dan Kristen yang tadinya dibalut hubungan pela dan gandong menjadi rusak,” kata Kepala SMAS Kristen Rehoboth, Salomina Patty, di Ambon, Jumat (28/11).
Salomina mengatakan inisiatif Sekolah Gandong adalah upaya memulihkan perdamaian di Maluku melalui peran guru sebagai agen perubahan masyarakat. Guru berperan penting menumbuhkan persaudaraan lintas iman dan budaya kepada generasi penerus bangsa, terutama melalui pendekatan kekerabatan “gandong” di Maluku.
Salomina menjelaskan pendekatan LKLB diterapkan guru-guru di SMAS Kristen Rehoboth melalui pembelajaran di kelas dengan mengedepankan tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi, artinya memahami agama sendiri dalam relasi dengan orang lain yang berbeda; kompetensi komparatif, yaitu mengenal ajaran agama lain dalam rangka membangun empati dan relasi lintas iman; dan kompetensi kolaborasi atau mampu bekerja sama sekalipun berbeda agama.
“Kami mengambil ‘Sekolah Gandong’ karena bagi kami berdua itu mempunyai ikatan kekerabatan lebih dekat daripada ‘pela gandong’, karena ‘gandong’ artinya saudara sekandung,” kata Salomina.
Ia menambahkan Sekolah Gandong menjadi ruang perjumpaan bagi para siswa yang berbeda agama dari kedua sekolah mereka. Ini adalah upaya transformasi untuk mengatasi prasangka dan stigma yang muncul akibat trauma konflik agama di masa lalu.
“Para siswa baik dari SMA Al-Hilal maupun SMAS Kristen Rehoboth saling bertukar nomor handphone, mereka bertemu, saling menyapa ‘Halo Gandong’, artinya ‘Hai Saudara’, ayo makan bersama. Mereka berlatih menari bersama dan paling penting diberikan ruang belajar untuk membangun rasa saling percaya dan memahami perbedaan,” kata Salomina.
Sementara itu, Kepala SMA Al-Hilal, Jaleha Sangaji, mengatakan deklarasi Sekolah Gandong dengan SMAS Kristen Rehoboth, yang ditandatangani 19 Oktober 2025, menghadapi sejumlah tantangan khususnya untuk dukungan dari orangtua murid dan yayasan. Namun, Jaleha bersama Salomina mampu menjelaskan pentingnya kolaborasi kedua sekolah yang berbasis agama berbeda dalam merawat perdamaian, menjauhkan dari intoleransi bahkan tawuran antarsiswa yang bisa dipicu oleh sentimen agama.
“Sebelum deklarasi Sekolah Gandong, kami bekerja sama dalam menyiapkan makanan untuk pertemuan bersama. Jadi bukan dari Rehoboth saja yang menyiapkan, tapi anak-anak dan orangtua dari Al-Hilal juga membuat dan membawa ke Sekolah Rehoboth. Kita bekerja sama sehingga di situlah mulai akrab,” kata Jaleha.
Menurut Jaleha, kerja sama Sekolah Gandong antara Sekolah Al-Hilal dan SMAS Rehoboth dilakukan dalam bentuk mengadakan kegiatan siswa bersama, pertukaran guru, dan mendorong para guru di kedua sekolah untuk menginsersikan pendekatan LKLB ke dalam pembelajaran.
“Di sekolah kami tidak ada guru PPKn, sehingga saya minta dari Ibu Salomina untuk membantu kita dalam mengajar di sekolah saya. Seperti itu juga sebaliknya, guru dari SMA Al-Hilal datang mengajar ke SMAS Rehoboth, kita saling berbagi,” kata Jaleha.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan Program LKLB untuk Perdamaian ini adalah pengembangan dari program LKLB yang diadakan Institut Leimena sejak 2021 bersama lebih dari 40 mitra lembaga pendidikan dan keagamaan. Program LKLB secara keseluruhan telah diikuti lebih dari 10.700 guru dari 38 provinsi di Indonesia, sedangkan khusus di Maluku, Program LKLB untuk Perdamaian sudah dimulai sejak 2024 dan telah melatih 120 guru dari SD, SMP, SMA, dan madrasah di Ambon.
“Saat ini juga sedang diadakan pelatihan LKLB untuk Perdamaian di kota Ambon yang diikuti 40 guru beragama Islam dan Kristen. Program LKLB untuk Perdamaian menghadirkan pendekatan baru, yakni menggunakan musik sebagai sebuah pedagogi untuk membangun perdamaian karena Ambon telah ditetapkan sebagai ‘UNESCO City of Music’,” kata Matius.
Matius menyampaikan Maluku masih menghadapi tantangan segregasi sosial berbasis agama akibat konflik masa lalu, sehingga diperlukan pendekatan yang relevan dengan konteks budaya masyarakat setempat. Program LKLB untuk Perdamaian mencakup serangkaian sesi yang diisi para tokoh agama, akademisi, dan pemimpin masyarakat.
“Orang Ambon suka menyanyi, dan musik merupakan bagian yang sangat dekat dengan hati mereka, karena itu kami melihat musik bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana membangun kebanggaan dan solidaritas lintas iman. Musik juga akan menjadi alat baru bagi para guru untuk mengajar murid tentang keberagaman,” ujar Matius.

