Jakarta, majalahgaharu.com-Tingkat Kecamatan, Kelurahan, Desa, hingga RT-RW merupakan “battleground”, ujung tombak yang berhadapan langsung dengan polemik intoleransi, khususnya berdasarkan agama/kepercayaan.
Bukan hanya eksekutif dan legislatif (Bupati, Camat, DPRD, dsb), tetapi juga aparat penegak hukum, khususnya kepolisian tingkat Daerah/Kota/Kecamatan dst.
Produk-produk seperti musyawarah warga/tokoh-tokoh lokal misalnya, atau Keputusan Kepala Desa, jelas tidak lebih tinggi “pangkat”nya dari UUD ’45. Terlebih lagi kita adalah Negara Kesatuan, bukan Federal.
Tetapi berkaca pada beberapa kasus terakhir (Dharmasraya, Karimun, dsb), secara de facto pada tingkat tersebut: 1) Terlihat seolah Kepala Desa lebih berkuasa dari Konstitusi. 2) Tekanan dari massa/ormas cenderung lebih berpengaruh ketimbang peran aparat. 3) Kepala daerah dari partai-partai berplatform “nasionalis” tidak menjadi jaminan.
Yang terjadi disana ibarat analogi kapal laut. Di tengah laut, pangkat dan platform tidak lagi berbicara, tetapi hukum rimba yang berbicara.
Muncul kecenderungan adanya “bias mayoritas atas nama stabilitas”. Semacam menyalibkan hak segelintir manusia demi tercapainya keharmonisan semu antar manusia.
Misalnya dengan melarang sekelompok warga tertentu untuk mengamalkan Sila Pertama Pancasila secara komunal menurut kepercayaannya.
Polemik tirani lokal tersebut dapat dibahas dari berbagai perspektif. Namun sudut pandang yang saya sampaikan secara khusus dalam kolom ini adalah: perlu adanya upaya/mekanisme khusus dari pemerintah pusat untuk menjamin keselamatan para aparatur dan aparat (beserta keluarganya) di tingkat akar rumput saat mereka menjalankan amanat Konstitusi, dan disaat yg sama juga berhadapan dengan tekanan-tekanan sosial politik.
Jangan biarkan mereka merasa sedang berada “di tengah laut”. Menurut saya, Presiden (baik yang sedang bertugas, maupun yang akan datang) harus memiliki/mengusahakan hal di atas.
Harapan ini juga saya sampaikan pada FGD dengan tema “Menimang Sosok Calon Pemimpin Indonesia 2024” pada 13 Maret 2020 lalu.
FGD tersebut diadakan oleh Pewarna, Asosiasi Pendeta Indonesia (API), Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI), dan Online Church Ministry.
Oleh Arbie Haman, S.I.P.
Founder of Angkatan Muda Protestan Pluralistik (AMPP)
Instagram: @arbiehaman