Tangerang Selatan, MajalahGaharu.com – Raut wajah terlihat lelah, tergambar kekecewan yang amat dalam. Dua tahun dirinya berjuang, listrik dan air diputus, belum lagi ada “intimidasi” hingga dilaporkan memasuki pekarangan tanpa izin.
Meski demikian Juliana Liho, demikian nama perempuan muda asal Sangir, Sulawesi Utara ini, tetap tegar dan bertekad akan terus berjuang sampai mendapatkan keadilan atas hak-haknya. Juliana Liho merupakan salah satu konsumen perumahan di kawasan Giantara Serpong City.
Suatu siang di bilangan Bintaro, perempuan yang berprofesi sebagai dosen ini, menceritakan kisah mendapat perlakuan tidak adil dari pihak pengembang PT Giantara Properti Sejahtera.
“Saya dan keluarga, benar-benar terpuruk dan secara psikologis malu dengan lingkungan. Sejak 2023 rumah yang saya tempati, akses listrik dan air bersih diputus akibat konflik yang belum terselesaikan terkait pembelian rumah di Cluster Gyan dengan pengembang. Bahkan akse masuk juga dihambat,”ujarnya bercerita pengalaman pahit yang menimpanya.
Latar konflik yang dialami Juliana bermula ketika tahun 2022 dirinya tertarik dengan penawaran rumah cluster di Serpong. Sewaktu itu, dirinya dan pengembang menyepakati perjanjian tanpa akta notaris pembelian rumah dengan cicilan 41 juta perbulan. Kedua sepakat usai membayar dua bulan, Juliana dipersilahkan menempati rumah di hook. Yang belakangan merupakan rumah contoh dari pengembang.
“Atas kesepakatan dua belah pihak, saya langsung menempati rumah, setelah bayar uang muka dan dua bulan ansuran. Sampai setahun berjalan tidak ada masalah. Menempati rumah contoh sembari menunggu rumah baru,” tuturnya.
Namun belakangan, awal permasalahan muncul ketika dirinya mendapati bahwa harga rumah yang dibeli melalui skema kredit jauh melebihi nilai appraisal bank, dengan selisih mencapai Rp 500 juta. Menyadari hal tersebut, Juliana secara itikad baik mengajukan permohonan diskon sebesar Rp125 juta serta menawarkan perpanjangan tenor kredit sebagai bentuk solusi. Namun, semua upaya penyelesaian tersebut tidak mendapatkan tanggapan positif dari pihak developer.
Karena tidak tercapai kesepakatan baru yang adil, Juliana menghentikan pembayaran cicilan. Langkah ini direspons oleh pihak developer dengan pengiriman tiga kali somasi dan kedatangan tim ke rumah, pada 11 Juli 2023, yang terdiri dari satpam, Ketua RT/RW, unsur legal, bahkan diduga melibatkan aparat berseragam. Mereka meminta agar rumah segera dikosongkan meskipun tanpa putusan pengadilan.
Upaya pengosongan rumah yang ditempatinya ditolak Juliana. Ia mengatakan akan meninggalkan rumah jika dana sebesar Rp560.731.848 (uang muka dan angsuran) dikembalikan. Atas tuntutannya, pihak developer justru memutus aliran listrik dan air ke rumah tersebut. Hingga saat ini, Juliana dan keluarganya hidup tanpa fasilitas dasar tersebut selama lebih dari dua tahun. Meski berdampak signifikan terhadap kesehatan, keamanan, dan psikologis dia terus kokoh berjuang sampai haknya diberikan.
“Akibat pemutusan semena-mena ini, kami sampai kehilangan hewan peliharaan karena dehidrasi, gangguan kesehatan karena lingkungan tidak layak. Tekanan mental dari intimidasi yang berulang bukanlah hal yang seharusnya dialami konsumen,” tukas Juliana sangat kecewa dengan perlakuan pengembang.
Alih-alih menyelesaikan sengketa secara perdata, pihak developer justru melaporkan Juliana ke kepolisian dengan dua tuduhan pidana, yaitu pencemaran nama baik melalui media sosial (UU ITE) dan pelanggaran Pasal 167 KUHP, yang menuduh JL memasuki pekarangan orang lain—padahal ia adalah penghuni sah rumah tersebut sesuai perjanjian akad kedua belah pihak. Sebaliknya, laporan Juliana atas dugaan intimidasi dan perbuatan tidak menyenangkan justru dihentikan oleh kepolisian (SP3).
Karena merasa terus ditekan, pada 7 Juli 2025, Juliana resmi melaporkan developer ke pihak kepolisian atas dugaan penggelapan dana pembelian rumah, yang kini sedang dalam proses lidik di Polres Tangsel.
Kemudian dalam korespondensi email, pihak PT Giantara (pengembang) menawarkan kompensasi sebesar Rp48.867.391 dari total dana yang telah disetorkan Juliana. Tentu saja Juliana menolak tawaran tersebut karena dianggap tidak sebanding dengan jumlah setoran selama satu tahun yang mencapai lebih dari Rp 560 juta.
Tekanan kembali terjadi pada sekitar awal Juli 2025 ketika pihak keamanan dari PT Mida Karya Abadi—rekanan Giantara—datang ke rumah Juliana untuk memaksanya keluar. Berdasarkan surat perintah tertanggal 17 Juni 2025, Direktur Utama Giantara, Cindy Giantara, memerintahkan pemblokiran akses bagi Juliana, suami, kerabat, hingga hewan peliharaan miliknya ke seluruh kawasan Cluster Gyan. Satpam yang tidak menjalankan perintah tersebut dilaporkan diberhentikan.
“Saya tegaskan ke mereka, saya tidak sedang mempertahankan rumah. Saya hanya memperjuangkan uang Rp 560 juta lebih yang belum dikembalikan. Jika developer mengembalikan uang sekarang, hari ini juga, saya akan keluar hari ini juga.”
Atas kejadian dan perlakuan buruk yang dialaminya, Juliana meminta perhatian dari institusi negara seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, dan YLKI, serta mengajak media dan masyarakat luas untuk ikut mengawasi praktik-praktik yang diduga menyalahgunakan kekuasaan oleh pelaku usaha properti.
Juliana menambahkan bahwa dia memiliki bukti-bukti dari perjanjian awal, bukti setor ansuran dan bukti-bukti lainnya bahwa keberadaannya mendiami rumah di cluster itu sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Lebih jauh dijelaskan Juliana, ada beberapa ketentuan hukum yang diduga telah dilanggar dalam kasus ini antara lain: UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 335 dan 167 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan pengusiran tanpa putusan pengadilan, Pasal 1243 KUH Perdata tentang wanprestasi, Pasal 406 KUHP tentang perusakan sarana publik (listrik/air), UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (hak atas tempat tinggal), UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Putusan MA No. 322 K/Pid/1991.
“Saya berharap berharap konflik ini dapat segera diselesaikan secara adil dan berkeadaban hukum. Kami tidak mengklaim bahwa rumah yang ditempati ini milik kami, tapi sampai hak kami tidak diberikan developer, saya akan terjuang untuk keadilan,” tukasnya sembari menegaskan bahwa langkah yang ditempuhnya murni untuk memperjuangkan hak sebagai konsumen dan warga negara.
Media ini sudah mencoba menghubungi dan mengirimkan pertanyaan chross check ke Ibu Cindy selaku pimpinan PT Giantara, namun hingga berita diturunkan belum direspon.