JAKARTA, MAJALAHGAHARU.COM — Boni Hargens pengamat politik UI ini sejak semula terkenal lugas dalam memberikan pendapatnya tentang berbagai hal yang terjadi di Indonesianya. Sikapnya yang kristis terhadap kondisi bangsa terkait adanya berbagai kelompok yang pandangannya mulai menyimpang dari arah kebangsaan dan Pancasila menjadi keprihatinan tersendiri. Bukan rahasia lagi kalau ada kelompok yang mulai mempermasalahkan adanya keberagaman dan mencoba menyeret masuk dalam satu dominasi agama tertentu membuat keberagaman terciderai . Maka tak heran kalau Presiden Jokowi dalam kunjungan untuk meresmikan Tugu titik Nol peradaban Islam di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara Jokowi lugas mengatakan agama mesthi dipisahkan dari politik. “Saya ingin memberikan tanggapan terkait pernyataan Presiden pada saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (24/3/2017). Waktu tu, Presiden menegaskan bahwa agama mesti dipisahkan dari politik. Pernyataan itu 100 persen benar karena mencampuradukkan urusan agama dan politik berpotensi membidani tumbukan sosial dan pertikaian mendatar alias konflik horizontal”, terang Boni seperti yang riliis yang dikirimkan ke redaksi Majalahgaharu.com.
Kalau kita mau jujur, keindonesiaan kita saat ini justru sedang bergerak ke arah titik nol kalau kelompok politik berjubah agama terus dibiarkan melakukan provokasi politik dengan memakai bahasa dan simbol agama. Pernyataan Presiden adalah peringatan yang benar tentang imaginasi ke-Indonesiaan kita yang belum utuh. Boleh jadi, Max Lane (2008) benar, bahwa kita belum selesai sebagai bangsa (the unfinished nation). Evolusi keindonesiaan belum tuntas dari semangat antikolonial menuju semangat nation building yang semestinya ditandai adanya tansformasi sosial dan politik dalam mewujudkan cita-cita teleologis berbangsa dan bernegara.
Keindonesiaan adalah identitas kebangsaan yang tunggal yang dibangun secara sadar dari kebhinekaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kesadaran inilah yang menyebabkan Piagam Jakarta yang dirumuskan Tim Sembilan pada 22 Juni 1945 dulu dikoreksi oleh Muhamad Hatta, setelah bersepakat dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Saat ini kita melihat adanya bahaya yang serius karena ada kelompok yang berteriak menghidupkan lagi Jakarta Charter. RS dan kelompoknya belakangan ramai berteriak untuk menghidupkan lagi Piagam Jakarta. Kita bisa pastikan bahwa target mereka adalah mengubah Pancasila dengan sesuatu yang lain.
Para Pendiri merancang Republik ini dalam bingkai demokrasi. Hal itu tak berintensi meminggirkan peran agama dalam politik. Sekularisasi di Eropa yang memperoleh bentuk kuat pada abad ke-19, setelah bermunculan kritik keras dari para filsuf terhadap agama sejak abad ke-17, tidak serta-merta menegasi eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Prinsip sekularisasi hanya menertibkan otonomi agama dalam ruang privat karena ruang publik adalah murni politik (baca: urusan Negara). Hari ini pun, masih banyak partai memakai nama agama di Eropa yang sekuler seperti Partai Kristen (CDU) atau Partai Katolik (CSU) di Jerman. Namun, partai-partai berjubah agama itu tidak menjual kitab suci dan simbol liturgis dalam ruang publik.
Logika ini yang hendak diperkuat oleh Presiden dalam pernyataan Beliau tadi. Bahwa Indonesia adalah milik semua, tidak bisa dan tidak boleh diklaim oleh satu kelompok, entah minoritas ataupun mayoritas. Sebagai kekayaan dan identitas bangsa, agama dalam tradisi Indonesia adalah sumur nilai, tempat dimana kita menimba kebijaksanaan untuk membangun habitus keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila. Apalagi, Islam sejak awal adalah unsur penting yang turut membentuk hakikat nasionalisme keindonesiaan sebagaimana ditegaskan Michael Francis Laffan (2003) dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma below the winds—buku yang dianggap para kritikus telah melampaui Imagined Communities-nya Benedit Anderson (1983)! Berkaca pada Laffan, ekumenisme agama adalah keistimewaan dalam demokrasi kita.