Jakarta-majalahgaharu.com Antonius Benny Susetyo, pakar komunikasi politik, menegaskan bahwa tugas seorang kepala daerah adalah untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama. Hal itu diungkapkannya terkait tanggapan akan penolakan pembangunan Gereja HKBP Maranatha di Cilegon yang juga dilakukan oleh Walikota Cilegon, Helldy Agustian.
Benny, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa Helldy selaku seorang kepala daerah tidak seharusnya menolak pendirian rumah ibadah, apapun agamanya.
“Tidak ada alasan untuk seorang kepala daerah manapun di Indonesia, untuk menolak pendirian rumah ibadat. Ada mekanisme dan solusi dalam penyelesaian pendirian rumah ibadat itu, dan itu diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Rohaniwan katolik tersebut merujuk kepada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 (untuk Menteri Agama) dan Nomor 8 Tahun 2006 (untuk Menteri Dalam Negeri) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung. Pada ayat (2) pasal yang sama, dijelaskan syarat-syarat khusus, meliputi:
a. daftar nama dan KTP pengguna rumah adat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Disebutkan juga pada ayat (3), bahwa jika persyaratan pada ayat (2) huruf a sudah terpenuhi sedangkan huruf b belum, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
“Dalam peraturan bersama pasal 13 dan 14, dukungan tidak sampai 60 orang tetapi syarat pengguna 90 orang, kepala daerah berkewajiban menyediakan fasilitas. Ada juga mekanisme izin sementara berlalu 2 tahun,” tegasnya.
Hal ini didukung dengan hasil statistik masyarakat Cilegon, dengan jumlah penduduk non-muslim pada tahun 2019 mencapai 8.920 orang, dengan pembagian 6.740 warga Kristen Protestan, 1.743 warga Kristen Katolik, 215 warga Hindu, 215 warga Buddha, dan 7 warga Konghucu.
“Kepala daerah juga harus tunduk pada konstitusi. Jelas dituliskan bahwa Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945, yang menjamin kebebasan warga negara Indonesia dalam memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing,” tuturnya.
Salah satu pendiri Setara Institute ini pun menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan manapun, baik pusat maupun daerah, tidak boleh menyalahi konstitusi, yaitu UUD 1945.
“Kedepannya kita berharap konstitusi kita, UUD 1945, dan terutama juga, sila-sila dan nilai-nilai Pancasila, harus menjadi dasar dalam pembuatan peraturan daerah,” katanya.
“Tugas kepala daerah adalah juga untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama dalam daerahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang urutannya sesuai dengan hierarki perundang-undangan yang dituangkan pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tutup Mantan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja tersebut.