Oleh : Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan)
Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Majalahgaharu Jakarta Tiga daulat (pangan, energi, iptek) adalah keharusan. Bagaimana ia menjadi prioritas di masa kini dan depan? Karena, perang asimetrik dunia adalah memperebutkan ketiganya. Siapa yang berdaulat di ketiga aspek itu, dimungkinkan memenangkan perang tersebut dan menjadi peradaban besar.
Atas argumentasi itu, kebijakan pangan dalam Undang-Undang Perekonomian Nasional harus menempatkan swasembada sebagai agenda strategis yang menentukan arah kemandirian bangsa. Dalam konteks krisis global yang semakin tidak menentu, kedaulatan pangan dipahami sebagai prasyarat dasar agar Indonesia tidak terus terombang-ambing oleh fluktuasi harga dunia, gangguan iklim, dan ketergantungan impor yang melemahkan posisi negara.
Pangan diperlakukan bukan sebagai komoditas pasar semata, tetapi sebagai hak dasar yang harus dijamin negara. Di sinilah fondasi kemandirian nasional dibangun. Di sini, transformasi struktur produksi pangan menjadi langkah awal yang tidak bisa ditawar.
Sekadar meningkatkan volume panen tidak cukup. Negara harus memastikan sistem produksi yang efisien, berkelanjutan, dan terintegrasi agar petani, nelayan, peternak, serta pelaku UMKM pangan tidak terus berada dalam posisi rentan. Ketika akses teknologi, pembiayaan, benih unggul, dan perlindungan risiko tersedia secara nyata, produsen pangan dapat bergerak sebagai subjek yang kuat, bukan sebagai pihak yang ditinggalkan dalam struktur pasar yang timpang.
Pendekatan ini selaras dengan New Structural Economics dari Justin Yifu Lin (2010), yang menekankan bahwa negara harus membangun kapasitas produksi dan menghilangkan hambatan struktural pada sektor-sektor strategis. Dalam konteks pangan, teori ini memperjelas bahwa dominasi impor dan spekulasi hanya dapat dilawan dengan penguatan riset pertanian, pembangunan infrastruktur pangan, dan integrasi rantai nilai dari hulu ke hilir. Negara tidak boleh menjadi penonton, tetapi harus menjadi arsitek yang mengarahkan transformasi sektor pangan.
Kerangka kebijakan ini juga beririsan kuat dengan Food Sovereignty Theory yang diperkenalkan oleh La Via Campesina (1996), yang menegaskan bahwa kendali atas pangan harus berada di tangan negara dan produsen lokal.
Ketergantungan pada pasar global telah terbukti menciptakan kerentanan harga, melemahkan posisi petani kecil, dan menempatkan pangan dalam logika spekulasi internasional. Kedaulatan pangan berarti mendahulukan kebutuhan domestik, melindungi produsen nasional, dan menjaga agar harga tidak ditentukan oleh permainan pasar global yang tidak memihak kepentingan warga-negara.
Konsistensi kebijakan ini terlihat dari penekanan pada perbaikan distribusi pangan. Selama bertahun-tahun, distribusi yang mahal dan tidak efisien menjadi penyebab utama gejolak harga dan ketidakmerataan pasokan antarwilayah. Karena itu, logistik nasional diposisikan sebagai tulang punggung sistem pangan. Produksi yang melimpah menjadi sia-sia jika pangan tidak dapat bergerak cepat dari sentra produksi menuju konsumen. Ketika distribusi kuat, harga stabil, pasokan merata, dan produsen pasti mendapatkan insentif/keuntungan yang layak.
Stabilisasi harga kemudian menjadi mekanisme kunci untuk melindungi warga negara. Negara harus mengelola cadangan pangan strategis dan melakukan intervensi bila harga melonjak atau pasokan terganggu. Kebijakan ini bukan bentuk distorsi, melainkan tindakan konstitusional untuk memastikan pangan tetap terjangkau. Dengan cadangan nasional yang terkelola baik, harga pangan tidak lagi menjadi arena spekulasi yang memperkaya segelintir pihak dan merugikan jutaan keluarga.
Arah kebijakan pangan ini juga sejalan dengan nilai-nilai ekonomi Pancasila yang mengedepankan keadilan sosial, gotong royong, dan keberpihakan terhadap kesejahteraan warga-negara. Dalam kerangka ini, pangan diposisikan sebagai urusan kemanusiaan yang tidak boleh tunduk pada kalkulasi pasar semata. Negara harus hadir tidak hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penjamin keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan pemerataan manfaat bagi seluruh warga negara.
Di sini tata produksi, tata distribusi, tata kelembagaan dan tata agensi menjadi hal yang sangat penting, strategis dan prioritas. Tanpa empat tata itu, semua harapan akan kemandirian pangan akan muspro dan ilusif.
Kesimpulannya sederhana tetapi tajam: Indonesia tidak akan pernah menjadi negara kuat jika perut warganya bergantung pada produk asing. Karenanya, swasembada pangan tidak boleh jadi slogan, tetapi garis hidup yang menentukan masa depan bangsa.
Negara yang ingin berdaulat harus memastikan satu hal yang paling mendasar bahwa setiap warganya makan dari tanahnya sendiri. Ini bukan idealisme, tetapi syarat minimum bagi sebuah bangsa yang ingin berdiri tegak di panggung dunia. Mari segerakan ini menjadi gerakan nasional dan kebijakan yang riil serta cepat bin tepat.(*)
