Maraknya persoalan intoleransi saat ini semakin merajalela,hal ini sudah mulai terjadi di seluruh tanah air. Dalam diskusi yang diselenggarakan PP GMKI, PIKI dan didukung oleh BPK Gunung Mulia pada Rabu, (21/12/2016) di aula BPK Gunung Mulia, Jalan Kramat I no 23, Kwitang, Jakarta Pusat menghadirkan beberapa pembicara dari berbagai elemen, Pdt. Abertus Patty unsur PGI, Abdul Ghopur Wasekjen Lesbumi NU dan juga direktur Eksekutif LKSB, Asfinawati direktur YLBHI, Mangaranap Sinaga sekretrais FKUB Depok dan ketua Parkindo, Woro Wahyunningtyas ( Direktur JKLPK ) dan Theofransus Litaay (DPP PIKI Dan hadir juga beberapa tokoh antaranya Baktinendro Ketua Umum PIKI, Ketua umum PMKRI Chrisman Manik dan Dickson Siringoringo GAMKI. .
Pdt. Albertus Patty, S. Th ( ketua PGI ) mengatakan, kita (Bangsa Indonesia) sedang mengalami kebiadaban. Kebiadaban itu berbentuk kekerasan yang dilakukan terus menerus sesama rakyat Indonesia. Menurut Pdt Albertus, hal di atas karena faktor globalisasi termasuk globalisasi informasi. Identitas (Suku, Ras Agama dan Antar Golongan) seseorang menjadi permasalahan. Selanjutnya Pdt Albertus juga menyampaikan, tantangan bagi agama sekarang bagaimana (agama) memposisikan diri menjadi social integration. Untuk Pancasila dan UUD, dia memberi catatan khuusus, menurutnya tanpa ke dua hal itu Indonesia akan hancur. Solusi yang ditawarkan Pdt Albertus, mengganti kekerasan itu dengan menghadirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Abdul Ghopur ( Wasekjen Lesbumi NU dan juga sebagai Direktur Eksekutif LKSB ) mengatakan, Indonesia harus melandasi kebersamaan dengan keadilan yang merupakan cita-cita para pendiri bangsa ini. Hendaklah Indonesia tetap menjaga kemajemukan dalam bangsa ini, yaitu Pancasila.
Menurut Asfinawati ( Direktur YLBHI ), hal-hal mengenai intoleransi sudah sangat lama terjadi di Indonesia. Intoleransi disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi proses intoleransi seperti faktor politik, ideologi/nilai/keyankinan, wacana publik dan ketidakpuasan atas kebijakan publik (mencari ruang artikulasi kepentingan). Asfinawati menekankan, di atas hukum masih ada yang lebih tinggi yaitu etika. Dia menyerukan untuk meletakkan etika sebagai junjungan tertinggi, sebelum hukum.
Woro Wahyunningtyas ( Direktur JKLPK ) mengatakan, betapa kebencian terhadap yang berbeda itu sangat kuat dan hal ini dekat dengan diri kita (individu). Kita cenderung membuat prasangka kecurigaan terhadap sesama kita yang berbeda dengan kita dan hal itu bahkan terjadi dengan orang yang bahkan belum berkomunikasi atau bersinggungan secara langsung dengan kita.
Mangaranap Sinaga (Sekretaris FKUB Kota Depok/Ketua DPP PARKINDO) mengatakan, kondisi masyarakat (Indonesia) saat ini belum terbiasa untuk saling memahami sehingga intoleransi kerap terjadi. Peran pemerintah sangat menentukan untuk mampu menekan hingga menjaga masyarakatnya agar tidak menjadi korban dari bentuk-bentuk intoleransi. Selain itu, antar umat beragama harus bersama-sama memerangi intoleransi ini. Musuh bersama kita bukanlah agama tetapi korupsi, ketidakadilan dan penindasan.
Menurut Theofransus Litaay (DPP PIKI), Indonesia masih dalam proses menjadi dan akan terus mengalami ujian-ujian dalam konteks tertentu. Hukum sebagai landasan bertindak dan mengatur perilaku. Kita harus melalui ini semua. Hal ini menjadi sesuatu yang biasa terjadi dalam masyarakat yang majemuk. Kita mudah gaduh dan ribut karena globalisasi informasi. Maka kita harus mengakses berita positif agar kerangka berpikir positif yang terbangun.
Pimpinan pengurus aras nasional dari kelompok Cipayung plus pada diskusi ini bertugas sebagai penanggap. Menurut Sahat Sinurat ( Ketua Umum PP GMKI), dalam berbangsa majemuk, maka yang kita lakukan tidak boleh merugikan orang lain. Pemerintah harus revolusi dalam menanggapi keadaan negara, menanamkan sejak dini akan nilai-nilai keberagaman melalui pendidikan. Persoalan Globalisasi informasi juga dengan sangat cepat akan sampai ke seluruh pelosok, maka media (karya jurnalistik) juga harus benar-benar menjaga etika dalam penyampaian informasi supaya dapat mendidik bangsa tanpa menyebabkan perpecahan. Persoalan yang harus kita perangi saat ini adalah kesenjangan yang terjadi untuk tetap menjaga kemajemukan bangsa.
Sementara itu Chrisman Damanik (Ketua Presidium GMNI) menyampaikan, bangsa Indonesia sudah lari dari falsafah bangsa. Pancasila merupakan konsensus bersama. Hilangnya pemahaman bangsa akan karakter Pancasila dikatakan Chrisman uang menjadi penyebab. Negara sudah didirikann, maka persoalan negara sudah tuntas dan harus menerima Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, NKRI dan UUD sebagai kekuatan kebangsaan.
I Made Wirayasa (Presidium KMHDI) juga mengatakan Intoleransi terjadi karena keadaaan negara yang tidak stabil, seperti perekonomian, kehadiran pemerintah belum bisa dirasakan oleh warga. Maka yang menjadi akar menyelesaikan segala masalah yang ada di Indonesia adalah Pancasila.
Pada acara diskusi tersebut beberapa pertanyaan disampaikan peserta. Dikson Siringoringo (DPP GAMKI) menanyakan, bagaimana apabila kita membiarkan kelompok intoleran dan kelompok toleran hidup sendiri dengan konsep ideologi dan pemahamannya? Pertanyaan berikutnya ditambahkan Andary (Islam Toleran), Apa penyebab dari ketidakadilan? Doni (GMKI Cab. Jakarta) juga menanyakan, kenapa rakyat (Indonesia) tidak diberikan sesuai hak-haknya dan kenapa “peperangan” itu dilakukan oleh sesama “Agama langit”. Sementara agama trdisional yang menjadi Agama asli Indonesia tidak ada masalah sesama mereka.
Para narasumber menjawab ketiga penaya dengan antusias. Asfinawati mengatakan, Semua AGAMA adalah benar, toleransi tidak masuk akal dan salah apabila diajarkan ke kaum minoritas (bukan persoalan diskriminasi). Seharusnya diajarkan dan didoktrin kepada kelompok mayoritas. Pdt.Albertus Patty menyampaikan, jangan menganggap sebuah konflik itu hal yang biasa-biasa saja. Kita harus serius menanggapinya. Ditengah-tengah spirit kapitalis, maka kita harus merasakan senasib dan sepenanggungan. Kegagalan ada di institusi pendidikan, karena pendidikan tidak lagi memberikan keberagaman.
Manusia berdosa yang kecenderungan ingin mendominasi ingin melihat orang lain berada dibawah. Selagi kita masih bisa mempertahankan Pancasila, maka semua masalah intoleran akan selesai. Ditengah-tengah kasus intoleran, maka pemerintah harus melakukan desakralisasi dan harus dipertanggungjawabkan.
Sementara itu Abdul Ghopur juga mnegkritik kondisi terkini dengan mengatakan, spiritulitas nusantara sudah mulai lupa, semua mengagungkan bangsanya sendiri. Prinsip-prinsip kebangsaan mulai hilang. Hal ini dikarenakan sebagai bangsa, setiap individu/kelompok belum mampu menerima perbedaan. Banyaknya pembenaran dengan paham masing-masing merugikan keberadaan Pancasila. Bangunlah bangsa ini sesuai dengan kultur yang ada.
Sebagai closing statement acara diskusi yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai golongan ini, Bakti Nendra (Ketum DPP PIKI) menyampaikan, berbicara toleransi jangan lupa membahas intoleransi. Pada dasarnya negara memiliki prinsip dan nilai-nilai. Masyarakat harus membangun toleransi dan mengambil sikap. Semua agama kita adalah benar. Bangsa ini harus terbiasa akan Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa semua agama adalah mengajarkan yang baik untuk warga nya.