Christian Warinusy Meminta Presiden Joko Widodo Mencari Tokoh Penghubung Untuk Papua Damai

Ayo Bagikan:

Majalahgaharu-Papua-Operasi Militer di Tanah Papua sudah menjadi catatan khusus di hari setiap insan Orang Asli Papua (OAP) sejak akhir tahun 1961 hingga kini atau sekitar 60 tahun. Hal itu terjadi setelah rakyat Papua melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara demokratis dan duduk di dalam Dewan Rakyat yang dalam bahasa Belanda disebut Nieuw Guinea Raad (NGR) bersidang dan memutuskan bahwa kelak apabila Tanah Nieuw Guinea atau Papua akan merdeka maka cikal bakal negara tersebut sudah harus memperoleh lambang negara, bendera dan lagu sendiri.

Dewan Rakyat atau Nieuw Guiena Raad tersebut saat dilantik tanggal 5 April 1961 memiliki tugas penting yaitu untuk jangka waktu 1 (satu) tahun memberikan nasihat mengenai cara bagaimana hak menentukan nasib sendiri penduduk Papua Belanda (Netheland Nieuw Guinea) dapat dilaksanakan. Kemudian pada tanggal 18 November 1961, NGR menetapkan peraturan-peraturan mengenai bendera dan lagu kebangsaan yang oleh Gubernur Jenderal selaku wakil resmi Pemerintah Belanda di Tanah Papua yaitu Platteel menetapkan hal itu di dalam ordonansi-ordonansi. Sementara soal lambang harus berisitirahat dahulu

Karena dibutuhkan campur tangan Dewan Tinggi Bangsawan atau Hoge Raad Van Adel) di Den Haag. Sehingga kemudian pengibaran bendera dilaksanakan pertama kali pada tanggal 1 Desember 1961 di Kota Hollandia dan semua ibukota onderafdeling di Tanah Nieuw Guinea (kini Tanah Papua). Ahli sejarah Belanda l, Prof.P.J.Drooglevwr dalam bukunya Een Daad Van Vrije Keuze, De Papoea’s westelij Niew-Guinea en de grenzen van get zelbeschikkingseecht atau Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, edisi pertama tahun 2005.

Drooglever menulis, di mana-mana pengibaran bendera Bintang Pagi (The Morning Star) itu terjadi dalam suasana khidmat dan tenang dan dihadiri oleh penguasa-penguasa setempat. Pertanyaannya, apakah sesudah pengibaran bendera tersebut ada Orang Papua yang ditangkap, ditahan serta diproses hukum karena dianggap melawan Negara Belanda ketika itu?

Belum ada satu artikel atau literatur yang mencatat hak tersebut. Karena Drooglever juga menulis bahwa menerima bendera negeri bukan berarti pengakuan kedaulatan. Hal itu masih tetap ada pada Belanda, yang harus diungkapkan di dalam pemberian tempat penampilan. Sebaliknya di kota Yogyakarta, tepatnya di alun-alun kota pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden RI Ir.Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang salah intinya membubarkan “negara boneka” Papua kala itu.

Inilah awal dimulainya operasi militer ke Tanah Nieuw Guinea atau Tanah Papua hingga saat ini. Kata Negara Boneka cukup mempengaruhi situasi politik dan keamanan saat itu (1961), karena sejumlah anggota Dewan Rakyat kemudian masuk dalam “radar” aparat keamanan TNI dan Polri untuk dijadikan target operasi. Bahkan anggota Komite Nasional Papua yang bertugas menyusun sejumlah dokumen dan prasyarat berdirinya negara Papua seperti Baldus Mofu (bapa kandung dari musikus Mambesak almarhum Edu Mofu).

LP3BH Manokwari memiliki informasi yang sudah diverifikasi bahwa Baldus Modul mengalami penangkapan dan disekap bahkan disiksa di Kantor Polisi TNI Angkatan Udara di Pangkalan Udara (Lanud) Manuhua, Burokub-Biak hingga mengalami “gangguan kesehatan” pada otaknya.

Sejak Desember 1961 operasi militer dilakukan ke Tanah Papua. Pemerintah Belanda melakukan siaga satu hingga “menenggelamkan” KRI Macan Tutul di perairan laut dekat Kaimana, Papua Barat kala itu. Meja perundingan akhirnya menjadi pilihan ketika itu, dimana pada akhirnya terjadi penandatanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang menjadi awal dari diberikannya kesempatan bagi Orang Asli Papua untuk menentukan nasib sendiri menurut versi Belanda, Indonesia dan Perserikatan Bangsa Bangsa di bawah sorotan dan nasihat Amerika Serikat.

Sehingga terjadi peralihan administrasi kekuasaan pemerintahan di Tanah Papua per tanggal 1 Mei 1963 yang menandai dimulainya pemerintah Indonesia berkuasa penuh hingga kini di Tanah Orang Papua. Sayangnya setelah 1 Mei 1961, tekanan militer semakin tinggi di tanah Papua hingga menjelang, pada saat bahkan setelah pelaksanaan Act of Free Choice atau Tindakan Pilihan Bebas itu dilaksanakan bulan Juli hingga awal Agustus 1969, dimulai dari Merauke dan berakhir di Jayapura.

Diduga keras banyak warga sipil Orang Asli Papua mengalami penangkapan, penahanan, disiksa, dibunuh secara keji di luar proses hukum. Bahkan ada yang diasingkan keluar Tanah airnya dan ada yang dihilangkan. Pelakunya diduga keras berasal dari TNI dan Polri ketika itu. Banyak sudah laporan dan literatur bahkan telegram rahasia Pemerintah Amerika Serikat mencatat dengan baik peristiwa-peristiwa dugaan pelanggaran HAM masa lalu di Tanah Papua tersebut. Sesungguhnya inilah titik soal yang seyogyanya disikapi secara arif dan bijaksana oleh Pemimpin Negara RI dalam merancang pola penanganan dan penyelesaian masalah Papua sejak awal reformasi tahun 1998 yang lalu.

Karena itu, sebagai Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari dan selaku Advokat dan Pembela HAM, saya ingin menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera memerintahkan dilaksanakannya penghentikan segenap operasi militer dalam bentuk dan cara apapun di Tanah Papua. Kemudian Presiden Joko Widodo dapat memerintahkan dilakukannya penarikan seluruh personil militer non organik dari Tanah Papua.

Presiden Joko Widodo juga dapat menentukan tokoh kunci sebagai penghubung Presiden untuk memulai percakapan ke arah pencarian solusi damai dengan semua pihak yang dianggap melawan negara selama ini di Tanah Papua, termasuk Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM).

Maupun United Liberation Movement of West Papua (ULMWP). Langkah ini penting dimulai dengan Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mencabut label teroris yang telah diumbar di media massa terhadap TPN OPM yang sangat bersifat menyesatkan demi terbangunnya suasana damai di Tanah Papua yang telah dimerdekakan secara kultural sejak Tanggal 5 Februari 1855 tersebut.

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Pdt Arliyanus Larosa MT.h  Ketum MPH PGI DKI Jakarta Meminta Kerjasama anggota PGI Membangun Keesaan Gereja

Sun May 2 , 2021
Majalahgaharu-Jakarta-Suasana pelantikan Majelis Pengerja Harian (MPH) Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) DKI Jakarta periode 2021-2026 berlangsung sukses dan lancar. Sekalipun pelaksanaan ibadah pelantikan MPH PGI DKI Jakarta dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Pelantikan MPH PGI DKI mengangkat tema Gerakan Oikumene Merespon Pandemi dihadiri hampir seluruh pengurus dan juga pembina […]

You May Like