Majalahgaharu.com Jogyakarta Firman Tuhan dalam Matius 19:6 berkata “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu, karena itu apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Firman Tuhan ini menjadi dasar bagi setiap orang Kristen yang akan membangun rumah tangga. Rumah tangga dibangun melalui lembaga keluarga yang diciptakan oleh Tuhan Allah, yaitu Perkawinan.
Perkawinan ada sejak awal penciptaan, Tuhan Allah menciptakan laki-laki perempuan menurut gambar dan rupa Allah. Iman Kristen meyakini bahwa perkawinan, atau yang lebih dikenal dengan pernikahan merupakan inisiatif Allah dan menjadikan pernikahan sebagai gambaran Kristus dengan jemaat, sebagaimana terdapat dalam Efesus 5 : 22. Pernikahan merupakan ikatan yang sakral.
Pernikahan Kristen dibangun dengan sebuah janji pernikahan yang diucapkan pada saat ibadah pemberkatan yang dilangsungkan. Janji pernikahan yang diucapkan tidak dapat dibatalkan antara suami istri dengan Allah sendiri. Janji pernikahan merupakan ikrar bahwa Tuhan menjadi pusat dalam kehidupan keluarga. Janji pernikahan bukan hanya perjanjian manusia dengan manusia melainkan adalah perjanjian antara manusia dengan Tuhan. Pernikahan sebagai relasi kovenan dari Allah.
Firman Tuhan tentang perkawinan yang terdapat dalam Kejadian 2:18 berkata, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Dinyatakan bahwa Allah menyatukan laki-laki dan perempuan di dalam ikatan pernikahan sebagai satu daging. Istilah satu daging di sini maksudnya adalah disatukan secara keseluruhan, secara tubuh, jiwa, dan termasuk harta. Maka dalam beberapa pemahaman bahwa tidak seharusnya ada pemisahan harta di dalam pernikahan; harta suami juga adalah harta istri, dan sebaliknya.
Di dalam pernikahan, seharusnya tidak ada lagi harta milik suami atau harta milik istri, tetapi semuanya adalah harta milik bersama. Bagaimana mungkin kita dapat menghidupi kesatuan relasi di dalam pernikahan, tetapi masih menyimpan harta kepemilikan pribadi? Pemisahan ini dapat berujung pada perceraian, yang merupakan hal yang tabu bahkan tidak boleh dilakukan.
Keyakinan bahwa perkawinan merupakan satu hal yang tidak bisa dipisahkan membawa pengaruh persepsi orang Kristen terhadap adanya perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan dianggap sebagai suatu bentuk untuk persiapan atua antisipasi apabila akan bercerai. Perjanjian seperti ini akhirnya mengubah perkawinan seakan menjadi kontrak, bukan perjanjian abadi dalam Tuhan. Alih-alih menjadi satu daging atau partner dalam susah dan senang, malah jadinya melindungi kepentingan masing-masing pribadi tanpa sepenuhnya percaya satu dengan yang lain.
Secara aspek hukum keberadaan perjanjian perkawinan merupakan sebuah wujud perlindungan hukum yang diberikan bagi setiap individu, khususnya dalam hal hubungan pribadi yang menyangkut hukum perkawinan. Menurut H. A. Damanhuri HR dalam buku yang berjudul Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama menerangkan bahwa arti formal perjanjian kawin adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, isi perjanjian ini tidak dipersoalkan.
Menurut Muchsin dalam Perjanjian Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional menerangkan bahwa perjanjian perkawinan ini tidak sebatas perihal keuangan atau harta saja, melainkan juga mengakomodir masalah lain yang penting untuk diperjanjikan, misalnya kejahatan rumah tangga, perjanjian karier meski sudah menikah, dan lainnya. Menurut Salim H.S, perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.
Belum ada definisi secara baku mengartikan perjanjian perkawinan baik menurut bahasa maupun istilah. Namun dari masing-masing kata dalam kamus bahasa dapat diartikan :
Pertama, Perjanjian : persetujuan, syarat, tenggang waktu, kesepakatan baik lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk ditepati.
Kedua, Perkawinan : pernikahan atau hal-hal yang berhubungan dengan kawin.
Berdasarkan Hukum Perdata di Indonesia, istilah Perjanjian Perkawinan dalam Bahasa Belanda disebut dengan huwelijksvoorwaarden. Perjanjian Perkawinan diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPer). Huwelijk itu sendiri dalam artian epistimologi adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan voorwaard berarti syarat. Bila dilihat lebih jauh tentang perbuatan hukum dalam masalah perikatan yang diatur dalam KUH Perdata pada buku III pasal 1338, maka perjanjian perkawinan adalah sebuah bentuk dari perikatan, dan persetujuan tersebut sifatnya mengikat dan menjadi undang-undang. Dalam arti formal perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang antara calon suami isteri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya.
Sebagai sebuah hukum khusus yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur Perjanjian Perkawinan. Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Perjanjian Perkawinan dapat diartikan sebagai kesepakatan bersama kedua belah pihak yang dibuat secara tertulis, yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Sementara itu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Sedangkan perjanjian perkawinan menurut KUH Perdata adalah dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan isteri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.
Perjanjian Perkawinan biasanya dibuat dengan tujuan kedua belah pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan mempunyai harta benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan (misalnya warisan), ingin memisahkan harta bendanya. Namun tidak sebatas pemisahan harta saja, kedua belah pihak juga dapat membuat bentuk dan isi Perjanjian Perkawinan lainnya dengan ketentuan bahwa perjanjian harus sesuai dengan batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Apabila melanggar hal-hal tersebut, maka Perjanjian Perkawinan tidak dapat disahkan.
Pada mulanya berdasarkan KUHPer dan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, Perjanjian Perkawinan hanya bisa dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau dapat disebut juga Prenuptial Agreement. Perjanjian tersebut kemudian berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Namun sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 (untuk selanjutnya disebut Putusan MK 69/2015), maka Perjanjian Perkawinan dapat dibuat sebelum atau setelah dilangsungkannya perkawinan. Secara hukum, maka di Indonesia tidak lagi menyebut perjanjian ini sebagai perjanjian pranikah melainkan perjanjian perkawinan, oleh karena tidak lagi dibedakan kapan seharusnya perjanjian ini dibuat. Isi dari perjanjian ini umumnya memang mengatur mengenai pembagian harta perkawinan.
Tetapi ada juga yang mengatur mengenai pengasuhan anak, pendidikan, komitmen tidak adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perzinahan, dan sebagainya. Sampai saat ini, peraturan tidak membatasi apa yang boleh menjadi isi dari perjanjian perkawinan asal saja tidak melanggar hukum dan norma-norma yang ada.
Perkawinan sebagai sebuah perbuatan hukum, memiliki akibat hukum, untuk itulah perlu ada hal-hal yang memberikan kepastian hukum atas akibat-akibat yang ditimbulkan dengan adanya perkawinan ini. Sejak awal perkawinan akan dilakukan, syarat sahnya diatur oleh hukum. Sahnya perkawinan juga melibatkan unsur keagamaan sebagai oleh karena perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang memiliki unsur keTuhanan didalamnya. Sebab perkawinan merupakan ibadah.
Maka keberadaan perjanjian perkawinan pun ada sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perkawinan. Hukum memberikan pilihan, apakah suatu perjanjian perkawinan akan dibuat atau tidak. Tidak ada unsur yang bersifat memaksa, artinya apabila salah satu pihak tidak menghendaki diadakannya perjanjian perkawinan maka pihak lain tidak boleh memaksakan diri untuk mengadakannya.
Adapun mengenai isi perjanjian, diserahkan sepenuhnya oleh kedua belah pihak (suami dan istri), akan tetapi tetap berpegang pada peraturan yang berlaku artinya para pihak (suami dan istri), bebas menentukan isi perjanjian perkawinan dengan melihat batasan-batasan yang telah diatur oleh undangundang dan tidak menghilangkan hak dan kewajiban suami isteri. Dalam perjanjian perkawinan, kedua belah pihak tentunya tidak menginginkan perjanjian tersebut cacat hukum, untuk itu ada syarat khusus agar perjanjian yang dibuat mempunyai kekuatan hukum.
Mengingat pernikahan bersifat ekslusif. Pernikahan permanen, kudus, intim, dan mutual, juga ekslusif. Artinya tidak ada satu orang pun di dalam dunia yang berhak mencampuri komitmen antara suami dan istri. Pernikahan hanyalah penyatuan dari dua individu atau dua pribadi, bukanlah penyatuan dari dua keluarga yang berhak mencampuri urusan pernikahan. Maka Memakai produk yang dibuat oleh hukum tertentu dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Sejauh tujuan dibuat adalah untuk menyelamatkan keluarga, bukan mengantisipasi perceraian.
Pemahaman kesatuan dalam pernikahan adalah soal komitmen dan ketaatan kita kepada Tuhan. Sedangkan perjanjian perkawinan berkaitan dengan komitmen yang dibuat berdasarkan hukum. Dua hal yang tidak serta merta bisa disejajarkan dan dibandingkan. Yang penting tujuannya harus baik, bukan mengantisipasi perceraian. Perkawinan adalah pemaknaan dan kesetiaan kita kepada Tuhan melalui keluarga.
Ditulis oleh : Sekhar Chandra Pawana S.H.,M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta