Oleh Antonius Benny Susetyo
Majalahgaharu.com Jakarta Pesta Demokrasi bagi bangsa Indonesia sebentar lagi akan datang. Pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang, setiap masyarakat Indonesia yang dinyatakan mampu dan sesuai, akan melaksanakan hak dan kewajibannya dengan mengikuti pemilihan umum langsung. Masyarakat Indonesia akan menggunakan haknya dalam menyatakan aspirasinya, dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia, dalam menentukan masa depan Indonesia. Oleh karena itu, saya mencoba untuk mengingatkan masyarakat Indonesia untuk menggunakan akal dan emosinya dalam menjalankan demokrasi Indonesia.
Partisipasi dalam demokrasi memerlukan keseimbangan antara akal dan emosi. Ketika emosi terlalu sedikit, politik menjadi permainan yang kering; namun ketika emosi – terutama ketakutan, kemarahan, dan kebencian – menguasai tanpa ditentang oleh nalar, perdebatan politik menjadi hampa. Semakin banyak – di seluruh dunia mulai dari Hongaria hingga Perancis, dan dari Inggris hingga Rusia dan Amerika Serikat – hampir semua komentar politik disusun secara negatif seputar xenofobia dan positif seputar nasionalisme.
Sebenarnya satu-satunya identitas sosial yang tersisa yang mempunyai makna politik dan membawa emosi yang kuat adalah kebangsaan, dan mungkin juga ras. Dan di dunia yang ditandai oleh globalisasi, integrasi Eropa dan trans-nasional lainnya, imigrasi, pengungsi, dan terorisme, banyak orang mendapati identitas nasional mereka menjadi lebih menonjol dan emosional. Marine Le Pen, pemimpin Front Nasional Perancis, bahkan menyindir setelah referendum Inggris dan terpilihnya Donald Trump bahwa kita melihat ‘kembalinya patriotisme’. Seiring berkembangnya, perpecahan ini tampaknya juga mengadu emosi dengan nalar. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang: dari satu sudut pandang, perasaan hangat solidaritas nasional melawan alasan dingin yang memperhitungkan kepentingan pribadi; dari yang lain, emosi yang dapat memicu kebencian terhadap kewajaran. Reaksi terhadap hal tersebut kini telah tiba, dengan nasionalisme dan xenofobia yang mengisi kekosongan emosional banyak orang.
Demokrasi Indonesia adalah berlandaskan pada Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, serta Keadilan Sosial, adalah nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila. Pancasila adalah dasar falsafah serta ideologi negara Indonesia, serta menjadi dasar bagi pembentukan berbagai peraturan dan kebijakan di Indonesia. Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal ini berarti Pancasila harus menjadi landasan semua masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali, apapun jabatan ataupun latar belakangnya, dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadaban berlandaskan nilai-nilai Pancasila adalah mutlak harus dijalankan dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia, dan tidak terkecuali, oleh semua instrumen pemerintahan di negara Indonesia.
Oleh karena itu, keadaban demokrasi di Indonesia haruslah patuh pada nilai dan etika serta moral yang terdapat dalam Pancasila. Secara garis besar, Pancasila, yang juga terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, semua warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan kata lain, baik masyarakat, pelaku ekonomi (pasar), dan pemerintah, memiliki hak dan kewajiban yang sama, yaitu berhak dan harus menjaga keadaban demokrasi Indonesia yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Keadaban demokrasi, seyogyanya, bisa berjalan dengan sangat baik, saat pemimpin (pemerintahan) menunjukkan sikapnya sebagai seorang negarawan.
Negarawan sejati tidak memiliki kepentingan, tidak menginginkan kekuasaan, tetapi dia bekerja dengan memiliki tujuan untuk menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjalankan politik etis, berdasarkan Pancasila. Moralitas serta etika menjadi pegangannya, untuk menjalankan pemerintahan yang bersih, anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), transparan, serta menjunjung tinggi keadaban. Keadaban demokrasi tidak akan berjalan jika semua elemen tidak tunduk pada nilai etis yang terkandung dalam Pancasila. Fungsi silang antara pasar, masyarakat dan pemerintah, harus saling mengawasi agar demokrasi berjalan dengan sebaik-baiknya. Asas transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi berjalan dengan baik.
Warisan demokrasi dan nilai etika Indonesia terletak dalam tugas dari seluruh elemen masyarakat untuk melakukan pemenuhan pangan, sandang, dan papan, bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemilu adalah alat penyampaian aspirasi masyarakat, untuk melakukan tugas pemenuhan pangan, sandang dan papan tersebut. Dia menyatakan bahwa pemilihan menjadi pemimpin harus melalui pertimbangan yang matang, jangan hanya tergiur dengan sosok yang dibuat di media-media.
Pikiran dan hati, moral dan etika, emosi dan logika, harus menjadi satu, dalam melakukan tugas dan kewajiban melaksanakan pemilu. Siapapun pemimpinnya harus dipertimbangkan dengan matang. Masyarakat harus pintar dan cerdas dalam mencermati moral dan etika dari semua calon, tanggung jawab, latar belakang dan track record-nya, serta kemampuannya memahami harapan masyarakat Indonesia.
Yang harus benar-benar diperhatikan oleh seluruh warga negara Indonesia adalah menggunakan akal dan emosi dalam berdemokrasi. Perpecahan yang terjadi bisa saja mengaduk emosi dengan nalar, dan menciptakan perpecahan yang semakin tidak bisa dirajut kembali. Bangsa Indonesia memang berbeda satu sama lainnya, berbeda pilihan tentang siapa yang diinginkan menjadi pemimpin juga pastinya berbeda.
Tetapi harus disadari bahwa Pancasila harus tetap menjadi junjungan, baik masyarakat yang memilih, dan juga para calon yang akan dipilih, sehingga menunjukkan etika dan moral berdasarkan nilai-nilai Pancasila adalah hal yang mutlak harus ada. Pemilih harus benar mencermati siapakah para calon yang benar menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, dan bukan sekedar gimmick. Para calon pun juga benar harus menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, bukan hanya sekedar ajang dan cara mendapatkan hati masyarakat.
Pergulatan emosi dan keinginan serta kepentingan jangan sampai mengoyak persatuan dan kesatuan. Kontestasi pemilu harus dijalani dengan menyeimbangkan akal dan emosi masing-masing, sehingga pemilihan umum dapat berlangsung dengan penuh integritas dan tidak melanggar nilai-nilai Pancasila, serta moral dan etika yang terdapat di dalamnya.
Penulis adalah Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila