Dialog Kebangsaan Menganalisis Kolom Agama di KTP

Ayo Bagikan:

Majalahgaharu Jakarta Polemik mengenai keberadaan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) kembali mencuat ke permukaan melalui diskusi publik yang digagas oleh Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia, Asosiasi Pendeta Indonesia dan Simposium Setara Menata Bangsa yang dipandu oleh Ashiong P. Munthe. Isu ini tak hanya menyentuh aspek administratif kependudukan, tetapi juga melibatkan dimensi hak asasi manusia, identitas kebangsaan, serta implementasi konstitusi, khususnya pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakui hak penghayat kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya di KTP.

Dalam sebuah diskusi mendalam bertajuk “Kolom Agama di KTP – Perlukah?”, Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, akademisi, sekaligus tokoh muda Hindu dari Bali, Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa, S.E., M.Si. (AWK), memberikan pandangan yang komprehensif. Menghadirkan penanggap Yohanis Henukh, Pimpinan Sekolah Tinggi Teologi Pokok Anggur, dan dipandu oleh Ashiong P. Muthe sebagai moderator, diskusi ini membuka cakrawala baru tentang masa depan identitas keagamaan di Indonesia.

Dalam pemaparannya, Dr. Arya Wedakarna menggarisbawahi sejarah kompleks agama di Nusantara, terutama kaitannya dengan agama-agama lokal. Ia membedakan antara agama besar yang datang ke nusantara, termasuk Hindu yang disebutnya sebagai agama tertua di Indonesia sejak abad ke-4 Masehi, dengan agama-agama lokal atau kepercayaan leluhur. AWK menuturkan, selama periode keemasan Hindu di Nusantara, khususnya hingga era Majapahit, kondisi keberagaman di Indonesia berjalan harmonis, bahkan turut menerima kedatangan agama-agama baru seperti Islam dan Nasrani.

Sejarah Tekanan dan Peluang Hindu Dharma, AWK secara terbuka mengakui adanya periode di masa Orde Baru, sekitar tahun 1966 dan 1970-an, di mana negara melakukan suatu “pengarahan atau bahkan mungkin pemaksaan” kepada penganut kepercayaan lokal untuk memilih salah satu dari lima agama resmi. Ia mengungkapkan bahwa agama Hindu, secara historis, justru mendapatkan tambahan umat yang signifikan pada masa ini, di mana banyak penganut agama lokal, seperti Hindu Kaharingan di Kalimantan, Parmalim di Batak Karo, hingga Sunda Wiwitan di Jawa Barat, memilih untuk bernaung di bawah payung Hindu Dharma sebagai jalan tengah.

Contoh konkret diangkat, seperti keberadaan Perguruan Tinggi Hindu terbesar di Indonesia yang justru berada di Palangkaraya, Kalimantan, dengan mayoritas siswanya adalah umat Hindu dari suku Dayak Kaharingan. Namun, ia menekankan bahwa Hindu Dharma Indonesia, melalui diskursus di kalangan intelektualnya, memilih “jalan tengah” dan mendukung penuh apabila agama-agama lokal tersebut suatu saat ingin kembali berdiri sendiri sebagai entitas kepercayaan. “Kami lebih mementingkan suatu kualitas di dalam beragama, bukan berdasarkan angka,” tegas AWK. Ia menyatakan tidak keberatan sama sekali jika mereka yang kini berada di bawah naungan Hindu Dharma memilih untuk mencantumkan kembali kepercayaan lokalnya di kolom KTP.

Implikasi Putusan MK dan Aspek Humanisme,. Mengenai urgensi kolom agama, AWK menegaskan bahwa secara hukum, polemik ini telah diselesaikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan ini, menurutnya, telah jelas memberikan dua pilihan kepada warga negara: mengosongkan kolom agama (walaupun pilihan ini sering disalahpahami pasca putusan MK yang justru memberi hak untuk mencantumkan status penghayat) atau mencantumkan nama agama/penghayat kepercayaan mereka. Ia menyebutkan data mutakhir, meskipun perlu diverifikasi secara official, bahwa sudah ada sekitar sepuluh ribu warga negara Indonesia yang secara resmi mengganti status agamanya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) menjadi penghayat kepercayaan sejak Januari hingga Oktober 2020. Bagi AWK, perkembangan ini adalah sesuatu yang positif dan legal.

Namun, yang menarik dari pandangan AWK adalah penekanannya pada aspek humanisme dan mitigasi bencana. Ia berargumen bahwa keberadaan kolom agama di KTP masih sangat diperlukan pada saat-saat darurat atau situasi kekhususan, seperti kasus orang hilang, kecelakaan, atau musibah lainnya. Kolom agama menjadi identitas krusial untuk menentukan perlakuan jenazah seseorang di akhir hayat, apakah akan dimakamkan secara Islam/Kristen, dikremasi (aben) secara Hindu/Buddha, atau perlakuan lain sesuai keyakinan. “Roh, jiwa, dan raga itu kan tidak terpisah,” ujarnya, menekankan pentingnya perlakuan yang tepat terhadap “badan kasar” di akhirat, agar “roh jiwa tidak akan menyesal di alam sana.”

Kritik Kriteria Agama dan Fasilitasi Negara : Menanggapi moderator yang menyinggung kriteria agama (kitab, nabi, tempat ibadah) dan potensi tuntutan fasilitas negara (seperti guru agama dan hari libur nasional) oleh agama lokal, AWK memberikan jawaban yang menenangkan. Ia menyatakan bahwa kekhawatiran agama-agama besar yang eksis saat ini, bahwa agama lokal akan menuntut hari raya libur nasional, “tidak sejauh itu.”

AWK berpendapat bahwa agama-agama lokal hampir seluruhnya memenuhi syarat-syarat dasar, Mereka memiliki ajaran berupa teks tertulis (disebut purana atau kitab suci), Mereka memiliki tokoh spiritual (dukun, pemangku, kesepuhan), Mereka memiliki tempat ibadah (sanggar-sanggar pamujan).

Yang terpenting, ia menekankan bahwa sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa,” sudah terkonfirmasi pada penghayat kepercayaan. Mereka semua mengakui dan percaya pada Tuhan Yang Maha Kuasa atau Sang Pencipta dengan istilahnya masing-masing.

Mengenai fasilitasi negara, AWK menjelaskan bahwa saat ini, lebih dari 200 aliran kepercayaan berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), melalui Direktorat Jenderal Khusus, bukan di bawah Kementerian Agama. Mereka dibina, difasilitasi, dan dianggarkan di sana. Keberadaan di Kemendikbud ini, menurutnya, membuat mereka merasa “nyaman” dan “tidak riuh” karena tidak harus menuntut masuk ke ranah politik anggaran Kementerian Agama.

AWK menyimpulkan bahwa argumentasi yang menolak pencantuman kepercayaan di KTP bisa dipatahkan karena alas hukumnya sudah jelas. Ia mengajak semua pihak, terutama agama-agama existing, untuk menahan diri dan mendukung upaya menjalankan Putusan MK.

Yohanis Henukh: Dukungan Kolom Agama di KTP Selama Ada Kementerian Agama
Sebagai penanggap dari perspektif Kristen, Yohanis Henukh memberikan pandangan yang lebih singkat namun lugas. Ia mengakui bahwa hak asasi manusia dan penghormatan terhadap keyakinan dasar nenek moyang (agama lokal) harus dihormati dan dihargai.

Namun, ia menegaskan bahwa selama Indonesia masih memiliki Kementerian Agama sebagai salah satu fakta sejarah dan struktur pemerintahan, maka “KTP mencantumkan agama di dalam KTP itu masih sangat diperlukan” untuk kondisi saat ini. Penghapusan kolom agama sepenuhnya dari KTP, menurutnya, akan sangat sulit dilakukan dalam waktu dekat dan mungkin hanya bisa terjadi jika Kementerian Agama sudah tidak ada lagi atau jika ada perubahan undang-undang yang radikal. Ia melihat proses untuk memberikan hak yang sama kepada saudara-saudara yang memiliki keyakinan lama masih membutuhkan waktu perjuangan bersama ke depan.

Dasar Konstitusi dan Implementasi Dukcapil
Diskusi semakin kaya dengan masukan dari Paulus Suyatno yang hadir sebagai peserta dalam diskusi, sesuai pengakuanya merupakan mantan Satuan Catatan Sipil (SCT) di Salatiga. Ia menguatkan pandangan AWK mengenai dasar hukum. Suyatno secara tegas merujuk pada UUD 1945 Pasal 28E yang menjamin kebebasan meyakini kepercayaan dan Pasal 29 Ayat 2 yang menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.

Kedua pasal inilah yang melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97 Tahun 2016, yang pada akhirnya mewajibkan bagi Penghayat Kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya di Kartu Keluarga (KK) dan KTP. Ia menambahkan, di tingkat implementasi teknis Dukcapil, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menginstruksikan kepada kepala daerah untuk menghormati, menghargai, dan melayani masyarakat yang menganut kepercayaan.

Bahkan, Suyatno memberikan contoh di Kota Salatiga, di mana sudah ada petugas pencatatan sipil khusus untuk pencatatan pernikahan Penghayat Kepercayaan. Ia setuju dengan AWK bahwa dihilangkannya kolom agama di KTP belum bisa dilakukan dalam ruang lingkup Indonesia saat ini.

Dampak Negatif dan Reformasi Administrasi
Moderator, Ashiong, menyajikan pertanyaan kritis dari Ni Luh Martiniasih mengenai reformasi administrasi; mungkinkah informasi agama disimpan secara internal dalam database Dukcapil untuk urusan hukum agama (nikah, waris, pemakaman), tetapi tidak dicetak pada KTP, seperti yang dilakukan di banyak negara lain? Serta, apa dampak negatif dari masih adanya kolom agama di KTP.

AWK menjawab bahwa penghilangan kolom agama di KTP, sebuah langkah menuju negara sekuler, membutuhkan Omnibus Law atau perubahan undang-undang yang menyeluruh karena keterkaitannya dengan banyak undang-undang lain, seperti UU Statistik, UU Anggaran (politik anggaran Kementerian Agama, Bimas), dan UU Kependudukan.

Dampak Negatif: Politik Angka dan Diskriminasi
Secara jujur, AWK mengakui bahwa keberadaan kolom agama memiliki “lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya” karena di sana “muncul satu politik angka.” Ia mencontohkan bahwa agama minoritas (Hindu, Buddha, Nasrani, Konghucu) dirugikan oleh masalah sensus dan politik angka ini, di mana anggaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Hindu saja hanya di bawah satu triliun dan cenderung statis.
Selain itu, ia mengakui bahwa kolom agama di KTP juga berpotensi memunculkan diskriminasi (seperti yang disinggung moderator) dalam pelayanan publik di luar konteks yang relevan (misalnya, mendaftar ke rumah sakit atau membuka rekening bank), serta potensi ancaman dan stigma sosial (dicap kafir, sesat, dll.) sebelum adanya Putusan MK.

Namun, ia kembali menegaskan, meskipun secara pribadi ia menginginkan tidak adanya kolom agama, kebutuhan bernegara saat ini masih membutuhkannya untuk tujuan pendataan dan humanisme. Ia menyarankan agar Indonesia membutuhkan waktu untuk pendewasaan literasi publik dan mengkaji kembali isu ini dalam satu dasawarsa ke depan. Untuk saat ini, fokus harus pada memberikan kesempatan kepada Penghayat Kepercayaan untuk menunjukkan eksistensinya secara legal, sementara agama-agama besar wajib membimbing atau diam jika tidak setuju dengan keputusan konstitusi.

Diskusi ini menyajikan gambaran bahwa masalah Kolom Agama di KTP adalah isu yang berakar pada sejarah, diikat oleh konstitusi, dan dihadapkan pada tantangan implementasi kependudukan. Dr. Arya Wedakarna, dari perspektif tokoh muda Hindu dan senator, berhasil merangkai dukungannya terhadap hak-hak Penghayat Kepercayaan (sejalan dengan Putusan MK) dengan alasan rasionalitas humanisme dan mitigasi bencana untuk mempertahankan kolom agama sementara ini. Sementara itu, Yohanis Henukh memberikan penekanan dari sisi struktural pemerintahan (Kementerian Agama), dan Paulus Suyatno menegaskan landasan hukum konstitusional serta implementasi teknis di lapangan.

Kesamaan pandangan muncul: meskipun secara ideal kolom agama mungkin lebih banyak membawa mudharat (politik angka dan diskriminasi) daripada manfaat, penghapusan totalnya di Indonesia saat ini masih belum memungkinkan secara struktural dan memerlukan timing yang tepat serta reformasi perundang-undangan yang masif. Fokus saat ini adalah memaksimalkan implementasi Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016, yaitu mencantumkan status Penghayat Kepercayaan di KTP, sebagai langkah maju dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di bawah payung Bhinneka Tunggal Ika.

Perlukah kolom agama di KTP? Jawabannya saat ini adalah ‘ya’ bukan sebagai instrumen diskriminasi, melainkan sebagai penjamin hak konstitusional Penghayat Kepercayaan dan alat bantu identifikasi kemanusiaan (humanisme) di tengah situasi darurat, hingga kondisi politik dan literasi keagamaan bangsa mencapai taraf kedewasaan yang memungkinkan reformasi administrasi secara total. APM

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

PD Pewarna Banten Gelar FGD dan Pelantikan Pengurus Banten

Mon Oct 6 , 2025
Majalahgaharu Tangsel Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna) Provinsi Banten resmi dilantik oleh Ketua Umum Pewarna Indonesia, Yusuf Mujiono, didampingi Sekretaris Jendral, Ronald S. Onibala, pada Sabtu (04/10/2025) di Gedung DPRD Kota Tangerang Selatan. Pelantikan ini menandai dimulainya masa bakti Pengurus Daerah Pewarna Banten Periode 2025–2030 dengan semangat baru untuk berkiprah […]

You May Like