Bersama empat kawan wartawan dari Jakarta, Kamis (26/04/2017) saya akhirnya berkesempatan juga menginjakkan kaki di Taman Wisata Bukit Kasih Kanonang (TWBKK). Atas kebaikan, rekan wartawan di Tomohon, Bang Silitonga (seorang putra Tarutung yang kini menetap di Tomohon) kami berangkat ke TWBKK.
Perjalanan dua jam Manado-Kanonang, jarak 130 KM tak terasa karena keakraban yang terjalan lama dan bicara ngaral ngidul. Suguhan alam yang indah dan berbagai kuliner sepanjang perjalanan membuat perjalanan terasa singkat. Incaran pertama adalah pasar Tomohon yang terkenal itu. Yang jual ular, kelelawar dan tikus hutan. Membayangkannya sudah pasti bergidik ya, jadi teman wartawan Inspirasi bersemangat sekali mencobanya.
Kesempatan itu kami lewatkan karena guade kami Bang Silitongan menyarankan untuk lebih dulu mengunjungi Bukit Kasih Kanonang baru mampir ke pasar Tomohon. Meski demikian, di Kwangkonan kami juga merasakan suguhan kuliner khas Manado, lengkap dengan paniki dengan harga terjangkau dengan makan sepuasnya.
Memasuki desa Kanonang, pemandangan langsung beda. Desa yang rapi dan bersih, sepertinya kesadaran wisata sudah tumbuh. Hiasan janur, salib lengkap lampu hias menggambarkan masih suasana paskah.
Diujung desa sebuah gerbang dengan tulisan selamat datang wisatawan memasuki wilayah Bukit Kasih yang terdiri dari 35 hektar di luar kawasan hutan lindung. Seratusan meter terdapat puluhan tangga yang di bagian atasnya sebuah tugu setinggi 15 meter yang dipuncaknya sebuah merpati dengan bola dunia. Puluhan wisatawan lokal tampak berfoto, dan mereka berinteraksi dengan puluhan pedagang cinderamata.
“Ini simbol dari Bukit Kasih Kanonang, dan tanda merpati simbol kasih. Bukit Kasih ini sebagai simbol kerukunan. Di atas bukit sana ada enam tempat ibadah yang diakui pemerintah. Sulawesi Utara berharap bisa menjadi ikon kerukunan di Indonesia,” tutur Wiebe Salomon sembari menunjukkan tempat ibadah yang persis di atas epicentrum air panas.
Wakil Ketua pengelola Bukit Kasih Kanonang ini, bercerita pengunjung hanya dikenakan sumbangan seribu perak, baik wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara. Meski kecil dan tidak seperti wisata lain, Wiebe tetap bersemangat mengelola TWBKK. Sebagai perbandingan taman air panas di Jawa Barat yang tak seindah TWBKK tarifnya rata-rata di atas lima ribu.
Wiebe menceritakan bahwa pada libur hari raya, pengunjung bisa mencapai 5000 orang dan hari biasa hanya seratus orang saja.
Mendaki 2300-an tangga
Tantangan terbesar di TWBKK adalah menaklukkan 2300-an anak tangga untuk mencapai Salib Besar setinggi 15 meter yang terletak di puncak bukit. Melayangkan pandangan dari bawah tangga dengan pegangan di sisi kiri kanan terlihat seperti tembok China, yang dibangun mengikuti lekuk perbukitan.
Di beberapa bukit kecil menju puncak dibangun patung-patung, dan satu diujung lain ada patung disebut bukit Golgata. Perjalanan ke atas tentu saja awal bersemangat karena mengitara perbukitan di tengah-tengah semburan awan Belerang, yang muncul di hampir semua punggung bukit.
Berenam, dari pos penjagaan kami pun bersemangat mendaki. Meski pukul dua siang, masih terik panas tetap bersemangat. Serombongan ibu dan bapak, yang rata-rata usia 60 tahun ke atas juga start bersama-sama. Terbayang bagaimana, seorang Bapak tua, Reinhard Rondonuwo yang meski sudah 71 tahun masih bisa sampai ke puncak.
Masuk pos kedua, rombongan kami sudah ditinggalkan jauh. Tanpa lelah mereka terus mendaki. Bau balerang yang menyengat membuat kita harus sering berhenti mencari oksigen. Pos pemberhentian berikutnya masih ada bangunan dan penjual.
Memasuki tanjakan tajam penuh dengan asap balerang, pendakian terasa sulit. Di beberapa titik tangga hancur kerena muncul titik belerang menjadi tantangan sendiri. Rombongan kami juga terpecah tiga. Saya dan Bang Silitonga berusaha mengejar rombongan Bapak yang sudah tak tampak. Tanjakan yang nyaris 70 derajat penuh dengan bau balerang membuat saya hampir menyerah dan berbalik. Tetapi membayangkan salip putih yang berada di hijau hutan membuat saya bertekad sampai ke puncak.
Dua rekan yang ikut tertinggal di bawah, bahkan hampir menyerah dan berbalik. Belakangan, keduanya bercerita hampir pingsan, dan pandangan mereka sudah berkunang-kunang.
Sayangnya, sepanjang perjalanan mendaki ke atas, banyak sekali sampah botol plastik bertebaran. Bahkan di hampir semua mata air panas dan asap belereng sampah itu menumpuk. Beberapa anak tangga memang memerlukan kehati-hatian karena sudah hancur. Terkait itu, Wyba menyatakan bahwa pihaknya sudah maksimal memperbaiki tapi karena titik balerang berpindah-pindah kadangkala merusak jalur pendakian.
Bagian puncak pendakian, sama dengan memasuki hutan. Vegetasi hutan basah terlihat lengkap dengan aneka tumbuhannya. Semangat mendaki muncul karena harus menyulusri pohon-pohon meski bagian tangga sudah hilang sama sekali.
Sebuah warung kecil, yang hanya menjajakan air mineral menjadi tanda akhir pendakian. Berhadapan di depan, sebuah dataran luasnya seratus meter di tengahnya berdiri tegak salib putih, bahannya terbuat dari kramik.
Sekelilingnya berumput kurang terawat. Bagian bawah salib tak terurus, karena tampak besi yang sepertinya akan dicor terbengkalai. Tempat ini sepertinya dijadikan tempat pemandangan sayang tak kunjung usai. Pencapaian ke puncak terasa tidak terpuasakan karena kondisi salib seperti terabaikan. Apalagi di sekelilingnya banyak kotoran kerbau yang tentu membuat kita segera turun.
Kabar baiknya, rupanya ada cara lain puncak tanpa mendaki susah-susah. Kami juga awalnya kaget karena menemukan sepeda motor di belakang pohon pisang dan bertanya dalam hati bagaimana caranya bisa sampai. Menurut Juve petani bawang dan penjual air mineral di puncak, ternyata ada jalan setapak dari desa sebelah yang bisa ke puncak. Sayangnya ketika ini ditanyakan ke pengelola bahwa jalur resmi hanya dari pintu masuk.
Kurangnya perawatan dari salib putih dipuncak membuat kami tak betah berlama-lama di sana. Perjuangan untuk turun rupanya lebih muda. Kalau mendaki lewat jalur timur rupanya ada jalur baratnya, meski harus menelusuri hutan dan tanpa tangga, tembus langsung ke kompleks enam rumah ibadah. Sebenarnya, jika mendaki jalur barat pasti lebih mudah dari jalan reguler timur. Tentu kalau hujan, lebih baik dari jalur biasa, karena jalur barat licin dan tidak bisa digunakan.
Menelusuri hutan lebat tentu memiliki pengalaman sendiri. Pengalaman ini sulit dilewatkan karena merasa mendaki gunung sebenarnya. Butuh waktu 10 menit, sudah sampai di komplek ibadah. Rumah ibadah katolik, mushola, pura dan paling ujung rumah ibadah umat protestan dengan hamparan tanah gesang dengan balerang.
Menyempatkan diri untuk berdoa sejenak, jangan kaget jika ruangan tiba-tiba dipenuhi bau balerang yang menyengat. Usai berdoa, kami juga menjajal air nira (tuak) yang dijajakan satu botol sedang dengan harga sepuluh ribu. Tentu, air nira ini langsung diambil dari pohon di sekelilingnya, dan belum dipermentasi sehingga nol persen alkohol.
Hamparan ladang, jagung dan sayur, juga cengkeh menemani kita ketika menuruni anak tangga menuju pintu masuk. Di bawah puluhan ibu-ibu menanti untuk menawasia.rkan jasa pijit kaki dengan menggunakan air belerang. Buat yang lelah mendaki selama hampir dua jam tentu tawaran seperti itu tidak bisa dilewatkan.
Taman Wisata Bukit Kasih Kanonang sebenarnya memliki daya tarik, sayangnya karena kurang terurus membuat siapapun mungkin kurang berminat kembali mengunjungi. Membandingkan Taman Wisata sejenis di Tarutung, Taman Wisata Salib Kasih, maka Taman Wisata Bukit Kasih Kanonang perlu mendapatkan sentuhan ahli pariwisata profesional. Dinas Pariwisata Pemprov Sulawesi Utara yang membawahi perlu memberikan perhatian lebih untuk merawat Taman Wisata Bukit Kasih Kanonang yang menjadi simbol Kerukunan Indonesia.
makasih buat info nya