Jakarta, majalahgaharu.com- Kasus hukum yang menjerat Pendeta Mohammad Husein Hosea S.Th mulai dipersidangkan pada Kamis siang (05/03/2020). Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kakek berusia 68 tahun itu hanya diam menahan kesedihan sembari mendengarkan eksepsi yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Husein Hosea adalah hamba Tuhan yang sedang berjuang menuntut keadilan atas dirinya. Pdt. Hosea dituduh sebagai “Pendeta Gadungan” yang memberkati pernikahan antara almarhum Basri Sudibjo dengan Juniar alias Vero, 2017 silam.
Semasa hidup, Basri Sudibjo pernah mengalami sakit kronis. Basri kemudian mendatangi klinik pengobatan acupuncture, peripheral dan MET milik Vero yang adalah seorang fisiolog dan ahli TCM (Traditional Chinese Medicine). Usai dinyatakan sembuh, Basri yang ketika itu sudah berstatus duda menikahi Vero yang juga sudah berstatus janda.
Pernikahan mereka diberkati oleh Pdt. Husein Hosea sesuai hukum gerejawi dibuktikan dengan surat Akte Perkawinan dengan Nomor 02/GKP/C-B/VI/A-K/2017, tanggal 11 Februari 2017.
Sebagai tanda kasih, Basri lalu menghadiahi Vero sertifikat dari sebidang tanah di daerah Pondok Pinang, Jakarta Selatan, bernilai miyaran Rupiah.
Namun permasalahan kemudian muncul pasca Basri kembali jatuh sakit hingga akhirnya berpulang pada 10 Oktober 2018. Salah seorang anak tiri Vero dari Basri, pada tahun 2019 melaporkan ke pihak Kepolisian bahwa pernikahan ayah mereka dengan Vero tidak sah secara hukum. Padahal, Akte Perkawinan antara Basri dan Vero sudah diperkuat dengan adanya Penetapan Pengadilan bernomor 290/Pdt.P/2019/PN, Jkt.Utr, tertanggal 13 Mei 2019.
Buntut dari Laporan Polisi bernomor LP/5905/IX/2019/ PMJ/Ditreskrimum tersebut, baik Vero, Pdt. Hosea dan seorang lainnya bernama Agus Butar-Butar akhirnya ditangkap dan ditahan oleh pihak Kepolisian.
Mereka dituduh melakukan persekongkolan untuk menguasai tanah milik almarhum Basri. Dalam sebuah konferensi pers yang digelar oleh Dirkrimum Polda Metro Jaya pada 28 Januari 2020, pukul 13:30 WIB, kasus ketiganya dipublikasi dengan judul “Pendeta Gadungan dan Terapis Palsukan Akte Nikah Untuk Kuasai Tanah Senilai 40 Milyar!”
Tidak Dendam
Ketika persidangan berlangsung, Husein Hosea hanya bisa duduk pasrah di kursi pesakitan. Hamba Tuhan yang menempuh pendidikan teologi di STT Nommensen, Sumatera Utara, rentang tahun 1972 hingga 1977, itu, disejajarkan dengan para pelaku kriminal lainnya yang sedang menanti giliran persidangan.
Sesekali kepala Pdt. Hosea menoleh ke arah JPU yang sedang membacakan eksepsi atas pembelaan terhadap dirinya. Pdt. Hosea nampak kesulitan mengikuti jalannya persidangan akibat gangguan penglihatan dan pendengaran yang sudah dideritanya.
Sementara Vero yang telah lebih dahulu mendengarkan eksepsi JPU, tampak berupaya tegar dan menghibur sang putri yang tak mampu menyembunyikan kesedihan.
Usai sidang, kepada wartawan Pdt. Hosea mengaku dirinya bukanlah pendeta gadungan seperti yang telah didakwakan kepadanya. Dirinya lalu menjelaskan perjalanan pelayanannya sebagai mahasiswa teologi, vikaris, hingga ditahbiskan sebagai pendeta.
“Prakteknya sudah banyak saya. Sekolah teologinya di Nommensen, tahun 1972 sampai 1977. Kalau prakteknya di Siborongborong, Doloksanggul, ke Parbotihan, Onan Gajang, baru Sibolga. Sehabis itu baru saya dipindah ke Medan. Saya ditahbiskan (sebagai Pendeta) di Tebing Tinggi tahun 1980,” ujarnya.
Hosea mengaku, dirinya sangat bersedih atas kasus yang menimpanya bersama dengan Vero. Terlebih, saat ini penghilatannya berangsur mulai berkurang dan hampir buta. Namun ada satu keyakinan yang ia pegang hingga saat ini, bahwa ajaran Kristiani tidak mengizinkan semua tuduhan yang telah dialamatkan kepada dirinya dibalas dengan sikap penuh dendam.
“Saya yang memberkati pernikahannya (Vero dan Basri), saya yang mengantarkan surat nikahnya. Saya memberkati pernikahan ibu Vero, dibilang akte (pernikahannya) palsu, lalu pendeta gadungan. Saya hanya bisa menangis. Empat bulan sudah saya buta, kacamata hancur terinjak dan pecah. Saya tidak mau dendam, tidak boleh dendam. (Kristen) satu-satunya agama di muka bumi ini yang mengajarkan ‘Kasihilah Musuhmu’,” seru kakek yang sudah memutih rambutnya, itu, dengan mulut dan tangan bergetar menahan tangis.
Demi Kemanusiaan
Sementara itu Penasehat Hukum Vero dan Pdt. Hosea, Kamaruddin Simanjuntak SH., MH, menuturkan kliennya telah terbukti secara hukum dan tata gereja di HKBP sebagai seorang pendeta yang sah. Legalitas itulah yang memberi kewenangan kepada Pdt. Husein Hosea untuk memimpin sakramen, termasuk pemberkatan pernikahan. Menurut keterangannya pula, status kependetaan Pdt. Hosea turut diperkuat karena pernah memimpin sakramen penguburan dari almarhumah Imelda Rini, yang merupakan adik kandung almarhum Basri Sudibjo.
“Dengan ditahbiskannya beliau menjadi pendeta, maka beliau punya otoritas atau wewenang untuk membaptis, kemudian Sidi, lalu memberkati pernikahan, melakukan sakramen-sakramen lainnya seperti perjamuan kudus, kemudian mengubur orang mati. Dia berhak, karena dia pendeta,” tegas advokat dari firma hukum Victoria, ini, saat ditemui wartawan usai sidang.
Demi kesehatan kliennya, Kamaruddin juga meminta agar Majelis Hakim mempertimbangkan untuk memberikan penangguhan penahanan. Kamaruddin berharap para hakim dapat terketuk pintu hatinya karena alasan kemanusiaan.
“Yang diharapkan Penasehat Hukum ke depan adalah ada penangguhan penahanan terhadap beliau, atau dialihkan menjadi tahanan kota demi kesehatannya dan alasan kemanusiaan. Yang kedua, eksepsi kita diterima,” pintanya.