Jakarta, majalahgaharu.com-Bukan saja waktu terjangkit virus covid19 yang menjadi momok, tetapi saat orang meninggal karena covid19 menjadi persoalan tersendiri. Apakah jenazah orang meninggal karena covid19 itu masih menularkan atau seperti apa, akibatnya ada beberapa orang yang menolak saat korban virus corona ini dikuburkan.
Terkait persoalan pemakaman akibat covid19 IKA UKI dan PEWARNA Indonesia menggelar daring dengan tema prosesi pemakaman covid19 manusiawikah?,Selasa, 7/7/20, mengangkat tema ini dihadirkan beberapa narasumber antaranya Dekan FH UKI, Hulman Panjaitan,S.H.,M.H.,
“Terkait dengan Proses Pemakaman Korban Covid-19, Kepentingan Yang Diperhadapkan: satu. Kepentingan Negara/Masyarakat Luas, yaitu tujuan penetapan ketentuan/aturan adalah untuk mengatur tertib masyarakat/ kesejahteran masyarakat, memutus mata rantai penularan, Melindungi kepentingan masyarakat secara luas”, tegasnya.
Prosesi pemakaman dari sisi rohaniawan dalam hal ini Pdt Martongo Sitinjak Kadep. Koinonia Gereja Huria Kristen Batak Protestan yang juga calon kuat Ephorus berikutnya ini, menyampaikan bahwa “Orang yang meninggal langsung dikuburkan tanpa serenomi, jikalau sudah terdampak covid tidak masalah, karena semua orang sudah memahimi dampak covid ini”, ujarnya tegas.
Namun, jelasnya lagi “jikalau bukan covid, namaun dikebumikan secara covid, maka ini menjadi masalah”. “Kehidupan, kematian dan kehidupan kekal, yang bisa dijangkau saat ini adalah kehidupan. Oleh karena itu, kita harus pro kehidupan, maka kita harus memperhatikan orang yang masih hidup.
Prosesi pemakaman, silahkan dilakukan, namun harus tetap memperhatikan protokol kesehatan. Covid bukanlah kutuk, sehingga orang yang terdampak tidak perlu dihindari atau diwaspadai. Perlu mendukun orang yang terpapar. Kita pun harus mendoakan dan mendukung tim medis supaya bekerja dengan bai dan tidak perlu memperkeruh suasana”, jelasnya.
Dr.Jimmy R.Tambunan,Sp.OG menjelaskan “Jenazah yang terdiaknosis covid-19 harus dilakukan SWAB atau sample lainnya. Demikian juga, karena infeksi penyakit menular lainnya, harus ditangan secara hati-hati.
“Pemindahan jenazah yang terinfeksi sampai penyambutan jenazah dari rumah sakit hingga sampai kepada keluarga, harus dilakukan dengan protokol kesehata dengan menggunakan APD. Keluarag juga bisa ikut, namun harus menggunakan APD”. “Jenzah yang terinveksi harus dikavani dengan kedap air, menggunakan peti dengan menutup seluruh celah yang bisa mengeluarkan inveksi.
Setelah di peti baru dipindahkan ke rumah duka. Peti tidak boleh dibuka kembali. Maksimal yang menghadiri rumah duka maksimal 30 orang dengan protocol kesehatan dan maksimal 4 jam jenazah sudah harus dimakamkan dan harus ada jarak minimal 50 meter dari mata air. Saran beliau, “pemerintah harus membuat aturan terkait ritual keagamaan yang terstandard untuk pemakaman covid-19”.
“Masyarakat perlu menghargai tim medis yang sudah bekerja dengan baik. Perlu diingat juga, bahwa meninggal karena covid-19, bukan kejahatan, sehingga harus dihindari seperti orang jahat. Perlakukanlah orang terpapar covid secara manusiawi” pesannya.
, Prof. Dr. dr. James Tangkudung,Sportmed., M.Pd. Guru besar Universitas Negeri Jakarta memaparkan bahwa orang meninggal itu sudah tidak diperlakukan sebagai manusia lagi, seperti di Jerman, dianggap sebagai barang. Karena manusia yang disebut mati ada tiga kriteria, yaitu jantung berhenti, otak tidak berjalan, dan pernafasan berhenti total.
Lalu terkait pemakaman, lanjutnya “boleh kok dilakukan sesuai ritual keagamaan dengan mengikuti protokol kesehatan sesuai anjuran WHO. Austraulia, lanjutnya menghadiri duka dan pemakaman bisa lebih dari 30 orang, namun tetap mengikuti protocol kesehatan.
Bagi bapak yang pernah menjadi staf ahli di kementerian pemuda dan olah raga ini, orang beriman selau melihat hidup kekal, namun manusia yang masih hidup perlu memberi penguatan bagi keluarga yang berduka, supaya memberi penghiburan.
Tegasnya kembali demi kesehatan, saat ini ada alternatif pemakaman, yaitu dengan pemakaman jarak jauh bisa dilakukan untuk menghindari penularan dari yang sudah meninggal kepada yang masih hidup” sarannya. Saat ini, timnya dengan mahasiswa sedang menggagas pembuatan diagnosis bio biometric untuk mempermudah identifikasi covid-19.
Sementara bagi pendiri LABB Penerapan Hukum Adat Batak sekaligus mantan Hakim Agung RI, Dr. H.P. Panggabean, SH, MS, menyampaikan bahwa “Acara pemakaman dilakukan untuk keluarga yang meninggal. Perlu ada penghiburan bagi keluarga yang sudah ditinggal.
Ada tiga dalam buda Batak terkait yang meninggal, yaitu Partangiangan, Sarimatua, Saur matua, Saur Matua Mauli Bulung”.
“Pemakaman secara budaya batak bisa dilakukan, namun hanya terbatas orang tertentu yang hadir. Biasanya hanya berdoa atau partangiangan saja. Untuk acara adatnya bisa ditunda dengan alasan karena ada wabh covid-19. biasa saja. Acara pernikaan dalam budaya batak selama covid-19 ini juga dibatasi hanya 20 orang. Setelah catatan sipil dan pemberkatan di gereja lalu dilanjutkan dengan acara yang hanya dihadiri orang yang sangat terbatas”, ujarnya. Intinya acara adat bisa ditunda setelah selesai covid-19, baik untuk pernikahan maupun untuk pemakaman dan yang lainnya” tutupnya.
Webinar yang di moderatori Donna Sampaleng Litbang Pewarna yang juga kesehariaannya aktif di STT IKAT Jakarta ini diharapkan memberikan pembelajaran bagaimana umat dan masyarakat bersikap ketika ada saurada atau kerabatnya meninggal karena covid19, Ashiong M