Jakarta, majalahgaharu.com- Gelaran Webinar yang diadakan P3S sangat menarik, dengan tema yang menohok penggalian fosil komunisme untuk kepentingan politik, apalagi memang hari ini bertepatan dengan peringatan pengkianatan PKI 30 September yang lazim jaman Orde Baru selalu saja diputar film G 30 S PKI tersebut.
Belum lagi sekarang issue komunisme sengaja ditiupkan seperti yang dilakukan salah satu mantan pangab dengan lembaganya yang banyak di tolak amsyarakat tersebut. “Fosil Komunisme ini digali kembali semata untuk kepentingan politik. Bisa kepentingan politik kelompok yang kontra pemerintah dengan berbagai alasan sempit lainnya”, ujar Eduard Lemanto direktur LKIP ini Selasa 29/09/20.
Lebih Lanjut eduard menegaskan bisa pula kepentingan politik elektoral. Cara kerjanya? Komunisme “didaur” ulang sebagai entitas yang bisa dijadikan musuh bersama oleh kelompok tertentu. Kelompok tertentu itu paling mencolok adalah agama.
Karena itu, oleh kelompok (politis) yang berkepentingan itu, Komunisme dimaknai secara sempit, misalkan ideologi anti Tuhan atau anti agama. Upaya ini semacam ada penciptaan paranoid kolektif di hadapan komunisme.
Tujuannya agar “orang-orang beragama” bergerak membangun soliditas. Soliditas kaum agamis dipakai dan ditunggangi oleh “kelompok politis” itu, bisa untuk kepentingan elektoral pun bisa menjadi kekuatan dalam mengoposisi pemerintahan yang sedang berkuasa karena berbagai alasan, baik alasan ekonomi maupun kepentingan politik kelompok tersebut. Agama untung? Tidak.
Agama dan kaum beriman (congregations) hanya dipakai sebagai “political cattle: peternakan politik”. Demikian halnya warga negara lainnya bukan lagi citizens di mata kelompok politis itu tetapi sekedar “gerombolan massa” yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan mereka.
Sadar atau tidak, anatomi dari upaya-upaya di atas sesungguhnya membentuk politik rasial. Sebab, agama dijadikan instrumen politik.
Fosil komunisme itu dipakai sebagai lawan kuat agama. Ini adalah bentuk politik rasial. Masalahnya, agama dalam politik rasial adalah death zone; zona kematian. Sebab, konflik karena agama hanya akan menghancurkan negara hingga berkeping-keping, apalagi di dalam negara multi-SARA.
Banyak laboratorium di dunia yang telah berhasil membuktikan bahwa pemakaian politik rasial tidak akan membawa sebuah negara ke kedamaian, selain konflik berkepanjangan.
Sementara pada paparannya Dr. Jerry Masie direktur P3S tegas memang saat ini goreng-menggoreng isu sangat kental terjadi. Apalagi isu PKI. Terkait sejarah lahirnya paham komunisme saat Karl Marx melarikan diri dari Prussia yang kita kenal sekarang Jerman.
Tambahnya di tahun 1843 dan pada tahun 1848 di Prancis dia mendirikan revolusi komunisme bersama Weitling dan Proudhon. Jerry paham komunis lebih condong ke kaum buruh dan seruan mereka agar semya manusia yang tertindas bangkit.
Barangkali kalau tak di lihat dalam kacamata dogmatis maka berbahaya.
Memang ajaran Marx ini populer tapi pada era 90-an di mana Jerman Timur awalnya komunis bergabung dengan Jerman Barat. Begitu pula Glasnot dan Perestroika di Uni Sovyet pada 1991 terpecah sampai ke Yugoslavia.
Sedangkan China pada 2017 jumlah keanggotaan paham ini hampir 89,45 juta sedangkan partai komunis di parlemen berjumlah 2.982.
Tetap sejarah kelam pembantaian PKI jangan dilupakan tak boleh dimana para pahlawan revolusi tewas dalam aksi ini. Tapi saat ini kita hidup di masa present bukan past (lampau), biarlah kita berpikir future (masa akan datang) bangsa ini.
Dan pada Maret 1966 Presiden Soeharto melarang komunis dan Tahun 1966 dibekukan yang ditanda tangani oleh Jenderal AH Nasution.
Sampai ini isu komunis dijadikan komoditas politik sama seperti isu HTI dan Khilafah. Kalau di Amerika Serikat isu yang terkenal sejak Presiden Abraham Lincoln yakni black and white issues (isu hitam dan putih). Atau ini lebih dikenal dengan isu rasial. Harapnya dengan gorengan issue komunisme ini perlu dihindari hal ini
dijadikan propaganda politik oleh sebagian kelompok.