Buku “Manajemen Pendidikan di Perkebunan Sawit” : Paling Baik Menjadi Role Model Bagi Pendidikan Sekolah di Daerah Terpencil  

Ayo Bagikan:

JAKARTA – Menelusuri pendidikan sekolah di perkebunan kelapa sawit bagi penulis merupakan pengalaman luar biasa. Beberapa hal  menarik, keterbatasan fasilitas tidak membuat para guru menjadi lemah, justru bersemangat untuk dapat mempengaruhi peserta didik. Dapat dipastikan tidak mudah  menyesuaikan diri jika hidup di lingkungan perkebunan kelapa sawit dengan kehidupan yang cenderung terisolasi dengan masyarakatnya.

Dalam rangka Dies Natalis Program Pascasarjana UKI ke-27, Program Studi Magister Administrasi Pendidikan menyelenggarakan kegiatan Bedah Buku, “Manajemen Pendidikan di Perkebunan Sawit” karya  penulis  Dra. Dr. Mesta Limbong, M.Psi pada Kamis, 08/12/2022 lewat Zoom Meeting. Tampil sebagai pengulas dua profesor yakni  Prof. Dr. Neti Karnati, M.Pd  selaku Guru Besar Universitas Negeri Jakarta dan   Prof. Dr. Manahan Tampubolon. Diskusi Webinar  dipandu Dr. Lisa Kailola.

“Sebenarnya buku ini cukup lama tidak saya sentuh, sempat bertanya memulai darimana. Buku ini hasil riset  bertahun-tahun di perkebunan sawit dan memang  kajian literatur agak sedikit.  Umumnya orang tidak tertarik tinggal di lingkungan sawit. Pendidikan pada perkebunan sawit sudah ada sejak Hindia Belanda. Saya mencoba memotret dibeberapa perkebunan. Pendidikan di sana cenderung terisolasi dengan masyarakat,” kata Dra. Dr. Mesta Limbong, M.Psi.

Menurut Ketua Program Magister Administrasi Pendidikan UKI ini, bahwa anak didik di sana (perkebunan) adalah aset bangsa. Jumlahnya  signifikan,  puluhan ribu anak. Tiga kebun besar saja ada sepuluh ribu anak sekolah. Sayangnya pendidikan di sana masih ala kadarnya. “Meski pemerintah membuat kebijakan kalau tidak ada sekolah dibangun maka kebunnya tidak boleh beroperasi tidak langsung berdampak kepada kualitas pendidikan. Namun kalau kebijakan perusahaan dipengaruhi  dengan pentingnya sekolah untuk anak-anak di kebun maka perusahaan mau melakukan yang terbaik,” ujarnya.

“Bayangkan lewat jam 6 di sana sudah terisolasi dan tidak bisa keluar. Anak-anak itu seperti itu kondisinya. Saya coba memotret beberapa kebun dari sisi pendidikan, guru, fasiltas dan pembiayaan. Dari 8 sekolah hanya empat dipotret dan saya tuangkan dalam buku ini,” paparnya.

Kondisi perusahaan merekrut pengajar sesuai dengan standar pemerintah. Guru-guru aktif dan cenderung displin. Tenaga pendidik mampu mengoperasikan komputer. Adapun pembiayaan sekolah ditanggung perusahaan. Sarana prasarana cukup,  lokasi luas, rumah guru dan fasilitas lainnya tersedia. “Jadi perusahaan akhirnya mau menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan untuk pendidikan setelah terus dipengaruhi bahwa penting memperhatikan pendidikan anak-anak.”

Kelemahannya, lanjut Mesta,  guru yang umumnya sarjana mengajar bukan bidangnya.  Menurutnya hal seperti itu akan terjadi selama intervensi pemerintah kurang untuk menjadikan guru di sana PNS. Meski demikian guru di perkebunan sawit itu cenderung kaya, memiliki mobil  dan rumah dinas. Juga kadang ada bantuan pemerintah untuk sekolah terpencil.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah penting pelatihan dan pendampingan meningkatkan kompetensi guru. Meningkatkan kualitas sekolah menjadi percontohan untuk sekolah sekitar, meningkatkan prestasi akademik dan non akademik agar guru semakin terampil dalam persiapan pengajaran.  Serta guru mulai menggunakan teknologi media pembelajaran.

“Manajemen pendidikan di kebun ada dua model yakni model pertama sekolah dikelola perusahaan dan sekolah yang dikelola pemerintah. Namun perusahaan lebih suka mengelola sendiri, hasilnya lebih baik.  Karena belum ada kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah. Pendidikan di kebun sawit harus diperhatikan untuk menciptakan kualitas SDM yang baik,” ujar Mesta Limbong.

Karena itu perusahaan dan pemerintah harus bersinergi baik untuk mengelola sekolah di perkebunan sawit sehingga target pemerintah mewajibkan sekolah 12 tahun bisa dicapai. Sekarang sekolah di  pedalaman baru terealisasi  9 tahun.

Tampil pengulas pertama Prof. Dr. Neti Karnati, M.Pd  menyampaikan bahwa setelah membaca dan mengkaji buku ini, buku ini ditulis cukup gamblang. Secara umum dikemas secara sederhana dan ringkas hanya 135 halaman.

“Buku ini hasil penelitian Bu Mesta di perkebunan sawit. Cukup menarik untuk dibaca, terutama bagaimana partisipasi perusahaan kebun sawit di Indonesia membangun pendidikan yang bermutu  terutama dari SD, SMP dan SMK. Perencanaan pendidikan sudah diuraikan dan menjelaskan bagaimana kualitas pendidikan di perkebunan di kelapa sawit,” ulas Guru Besar Universitas Negeri Jakarta ini.

Menurutnya, aspek keunggulannya buku ini sangat memberi pengetahuan bagi pembaca,  bagaimana manajemen sekolah khususnya partisipasi masyarakat dan implementasi manajemen sekolah profesional. Di sini perusahaan perkebunan sawit di Indonesia sudah  cukup baik.  Tentu dalam konteks itu buku ini bisa dilengkapi lagi.

“Saya kira tidak banyak orang paham pendidikan di perkebunan sawit. Buku ini masih bisa diperluas dan diperdalam, sehingga bukunya lebih tebal,  bisa jadi 300 halaman. Meski demikian saya tetap apresiasi atas keberanian Bu Mesta menulis buku ini. Perlu diperluas agar semua  pengalaman melakukan penelitian bisa dituangkan dengan baik,” sarannya. Ia juga merekomendasikan untuk memudahkan mencerna buku ini perlu  melengkapi dengan foto-foto sekolah di perkebunan  sawit. “Saya berharap ke depan buku ini bisa role model pendidikan sekolah-sekolah di lingkungan perkebunan sawit,” tegasnya.

Senada dengan itu,  Prof. Dr. Manahan Tampubolon mengatakan bahwa buku ini seharusnya bisa menjadi role model bagi sekolah di perkebunan-perkebunan di daerah terpencil.

Menurut Manahan Tampubolon, yang paling baik kalau buku ini bisa dijadikan role model. Bisa dibuat secara etnografi, perlu ada sumber informasi dan membuat analisis taksonominya. Kedua, studi kasus menjadi model input dan outputnya. Kalau ini sudah dilakukan maka buku ini bisa  menjadi role model.  Persoalan funding untuk pembiayaan penelitian nanti bisa negosiasi dengan perusahaan-perusahaan perkebunan.  Jadi nanti role model tidak hanya di Indonesia bisa di Papua Nugini, Malaysia dan negara lainnya.

Sebelumnya,  dalam sambutannya Direktur Pascasarjana UKI Prof Dr. dr. Bernadetha Nadeak, M.Pd., PA  mengapresiasi kegiatan  Bedah Buku yang diselenggarakan prodi Magister Administrasi Pendidikan UKI. Ia mengharapkan buku ini dapat menjadi panduan untuk insan pendidikan secara umum dan secara khusus bagi semua, terutama selaku seorang manajer pendidikan dalam mengelola pendidikan formal maupun non formal.

“Buku karya Bu Mesta ini menggambarkan  lembaga pendidikan (sekolah) di luar kota atau daerah terpencil, dalam mengelola pendidikan. Dan juga menekankan pentingnya sekolah dalam menggunakan manajemen pendidikan sehingga sekolah itu dapat melakukan tata kola yang baik dan bermutu.  Dengan demikian diharapkan lulusan-lulusan juga bermutu,” pungkasnya.

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

CENKRESINDO Merayakan Natal dan HUT ke-2 di LAI

Fri Dec 9 , 2022
  JAKARTA -majalahgaharu.com  Ibadah dan perayaan Natal sekaligus HUT Central Kristen Indonesia  (CENKRISINDO) Ke-2 dengan  tema: Empathy, Loyality &  Commitment, dengan Subtema: “…Pulanglah mereke ke negerinya melalui jalan lain.” Matius  2:12 bertempat Lantai 10 Aula Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) Jl. Salemba Raya, Jakarta, Jumat, 9/12/2022. Ketua CENKRISINDO Dr (Hc) Karel […]

You May Like