Majalahgaharu.com, Jakarta- Anggota Komisi III DPR-RI, I Wayan Sudirta, S.H., M.H, meraih gelar doktor dari Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia. Gelar doktor berhasil diraih I Wayan Sudirta usai menjalani Ujian Terbuka (Promosi Doktor) di Kampus Program Pascasarjana UKI, Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis siang (7/9/2023).
Direktur Program Pascasarjana UKI Prof. Dr. dr. Bernadetha Nadeak, M.Pd, PA dalam sambutannya di Ujian Terbuka menyampaikan bahwa Program Studi Doktor Hukum memiliki visi menjadi Program Studi Hukum, Program Doktor yang bermutu, mandiri dan inovatif dalam bidang Hukum Tata Negara, Hukum Ekonomi Bisnis dan Hukum Pidana, yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa, negara dan masyarakat.
“Dalam dunia yang serba cepat saat ini, canggih, dinamis, IPTEK yang sangat berkembang, menuntut setiap lembaga untuk mengikuti perkembangan yang ada. Kemajuan IPTEK yang ada harus diimbangi dengan kehidupan bernegara yang baik menjadi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan setiap program studi, termasuk dalam Program Studi Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia,” ujar Profesor Bernadetha.
Di penutup sambutannya, Profesor Bernadetha juga berharap agar sumbangsih I Wayan Sudirta terhadap bidang hukum di Indonesia tidak berhenti sampai di momen tersebut. Dirinya berharap agar sumbangsih itu dapat terus diberikan sepanjang hidup.
“Jangan lupa, Bapak menyandang gelar sebagai alumni Universitas Kristen Indonesia. Jaga nama baik almamater di mana pun Bapak berada,” tutupnya.
Promovendus I Wayan Sudirta kemudian memaparkan disertasinya yang diberi judul “Rekonstruksi Pemahaman Atas Nilai-nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” pada Ujian Terbuka (Promosi Doktor) yang dipimpin langsung oleh Rektor UKI Dr. Dhaniswara. K. Harjono, S.H., M.H., M.BA.
Dhaniswara yang juga bertindak sebagai Ketua Sidang didampingi oleh Prof. Dr. John Pieris, S.H., M.H., M.S, selaku Sekretaris Sidang dan Promotor; Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum (Co-Promotor I); Prof. Dr. Benny Rianto, S.H., M.Hum (Co-Promotor II); Prof. Dr. Abdul Bari Azed, S.H., M.H (Penguji Eksternal); Prof. Dr. M. S. Tumanggor, S.H., M.Si; dan Prof. Dr. Mompang. L. Panggabean, S.H., M.Hum.
“Saudara Promovendus I Wayan Sudirta, saya menyatakan Anda layak menjadi seorang doktor. Pertahankan pikiran Anda. Perspektif Anda menunjukan bahwa kemampuan akademik Anda sangat layak. Sebagai seorang pejabat negara, saya harap Anda dapat meneruskan perjuangan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa,” buka Profesor John Pieris.
Bung Karno Sebagai Penggali Pancasila
I Wayan Sudirta memulai pemaparannya dengan menjelaskan sejarah singkat lahirnya Pancasila. Menurutnya, Ir. Soekarno-lah yang menjadi tokoh penting penggali dari grundnorm bangsa Indonesia, itu, yang kemudian hari kelahirannya ditetapkan pada 1 Juni 1945.
“Sebagaimana pidato Soekarno di hadapan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) karena sempat terjadi pro dan kontra tentang masalah ini,” ujar I Wayan.
Disampaikannya pula bahwa tujuan dari penelitian yang disertasinya adalah untuk menafsirkan kembali ide-ide Soekarno tentang Pancasila guna perbaikan sistem kenegaraan saat ini. I Wayan mengungkapkan, melalui penelitian yang dirampungkannya diharap dapat mendatangkan manfaat untuk mengaktualisasikan Pancasila, dalam sistem kenegaraan Indonesia, sekaligus ingin meluruskan fakta sejarah terkait lahirnya Pancasila.
Melalui penelitiannya I Wayan lalu menjelaskan, bahwa BPUPKI melakukan persidangan mulai pada tanbggal 29 Mei 1945. Ketika itu sidang BPUPKI dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat (Dr. Kandjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat). Menurutnya ketika itu Radjiman menawarkan di persidangan untuk membicarakan dasar negara jika Indonesia telah merdeka. Lalu pada momen tersebut terdapat empat orang yang bersedia berbicara. Tiga tokoh penting yang berbicara di antaranya adalah Sokarno, Mohammad Yamin, dan Soepomo.
Ketika Mohammad Yamin mendapatkan kesempatan untuk berbicara, dirinya lebih banyak membahas bagaimana bentuk negara jika Indonesia sudah merdeka. Mohammad Yamin kemudian berulangkali mendapat peringatan dari Soeroso selaku Wakil Pimpinan Sidang. Soeroso kembali meminta agar Mohammad Yamin kembali kepada bahasan rancangan dasar negara yang akan dipakai ketika Indonesia merdeka.
Pada tanggal 1 Juni 1945, tibalah kesempatan bagi Bung Karno untuk berbicara. Pada waktu itu Bung Karno berpidato soal dasar negara Indonesia. Selama satu jam Bung Karno berpidato dan mendapatkan sambutan yang meriah dari peserta sidang. Apa yang disampaikan oleh Bung Karno kemudian ditawarkan kepada pimpinan sidang. Pidato itu akhirnya diterima secara aklamasi dan diterima sepenuhnya oleh pimpinan sidang ketika itu.
“Kemudian apa yang terjadi setelah itu? Tentu pidato lisan dari Bung Karno perlu dirumuskan lebih detail, lebih pasti dan tidak melenceng dari apa yang dimaksudkan oleh Bung Karno. (Kemudian-red) dibentuklah Tim Delapan. Tim inilah yang melanjutkan proses itu sampai kemudian terbentuk Tim Sembilan, lalu Piagam Jakarta lahir, dan akhirnya lahirnya Pancasila pada tahun 1945,” ungkap pria kelahiran Karangasem, 20 Desember 1950, itu.
Menurut penelitian lebih lanjut dari I Wayan Sudirta, mengungkap fakta bahwa di masa Orde Baru pernah terjadi sebuah kontroversi yang meragukan peran tunggal Bung Karno sebagai tokoh “penggali” Pancasila. Kontroversi tersebut muncul setelah Nugroho Notosusanto menuliskan dalam bukunya bahwa selain Bung Karno terdapat pula peran Soepomo dan Mohammad Yamin dalam perumusan Pancasila. Belakangan diketahui bahwa tulisan Nugroho Notosusanto bersumber dari sebuah buku tulisan dari Mohammad Yamin. Kontroversi tersebut sempat memicru reaksi luar biasa di Tanah Air. Petisi penolakan kemudian muncul dari kalangan tokoh pejuang 1945 yang masih hidup di masa Orde Baru.
I Wayan Sudirta kemudian mengungkapkan bahwa pada akhirnya peran Bung Karno sebagai penggali Pancasila dapat diluruskan oleh Panitia 5 bentukan Presiden Soeharto, yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Keterangan langsung dari Bung Hatta sebagai saksi sejarah perumusan Pancasila makin menegaskan bahwa Mohammad Yamin bukanlah tokoh perumus Pancasila. Bung Hatta Kemudian menuliskan sepucuk surat wasiat yang menegaskan bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno. Kesaksian Mohammad Hatta didukung pula oleh temuan berupa dua buah arsip nasional yakni risalah sidang BPUPKI yang disimpan oleh Pringodigdo, sebagai Wakil Kepala Tata Usaha BPUPKI.
“Ada dua bukti yang menguatkan penggali Pancasila adalah Bung Karno. Apa itu? Yang pertama adalah risalah BPUPKI yang ditemukan di Solo. Kemudian dilengkapi lagi (dengan-red) risalah kedua yang disita oleh Belanda, kemudian dikembalikan. Sekarang sudah ada dua arsip nasional yang mengatakan Bung Karno sebagai penggali Pancasila,” jelasnya.
Di kesimpulannya, I Wayan Sudirta menerangkan bahwa untuk menetapkan bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno, serta tanggal hari kelahiran Pancasila merupakan 1 Juni 1945, harus melewati jalan yang sangat berliku dan berat.
“Para pendukung Bung Karno, orang-orang partai yang mendukung Bung Karno, antara lain Pak Taufik Kiemas (Ketua MPR-RI 2009-2013) itu luar biasa memperjuangkannya hanya unutk memastikan ada Hari Pancasila 1 Juni yang bisa menjadi libur nasional. Luar biasanya Pak Jokowi tidak takut menetapkan itu (Hari Lahir Pancasila-red), setelah presiden-presiden sebelumnya juga berusaha tetapi belum sampai pada hasil yang final. Bisa jadi Pak Jokowi menetapkan tanpa mengabaikan usaha-usaha tersebut. Jadilah KEPPRES No. 24 Tahun 2016, jadilah 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila,” tegas I Wayan Sudirta.
Ketika menjelaskan tujuan penulisan disertasinya, Promovendus I Wayan Sudirta menjelaskan dirinya ingin menafsirkan kembali ide-ide Soekarno tentang Pancasila guna memperbaiki sistem kenegaraan di Indonesia saat ini.
“Kami tidak berani menafsirkan dan maksud dari nilai-nilai Pancasila yang dimaksudkan oleh Bung Karno. Tapi apa yang akan kami tafsirkan? Aktualisasi dari nilai-nilai itu penting, agar dia sesuai dengan keperluan zaman, agar dia bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Itu yang ingin kami tafsirkan, itu yang ingin kami aktualisasikan, itu yang ingin kami rekonstruksikan,” tegas pria yang pernah tergabung di Lembaga Kajian MPR-RI ini.
Dalam hal Rumusan Masalah, terdapat 3 poin yang dipaparkan oleh Promovendus I Wayan Sudirta. Pertama, apakah makna dan kedudukan nilai-nilai Pancasila mempunyai penafsiran yang berbeda sejak perumusan sampai diintegrasikan dalam Pembukaan UUD 1945?
Kedua, kenapa penerapan nilai-nilai Pancasila dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini belum sesuai dengan makna dan hakikat Pancasila sebagai philosofische grondslag dan weltanschauung?
Ketiga, bagaimana merekonstruksi kembali nilai-nilai Pancasila sebagai philosofische grondslag dan weltanschauung?
Teori yang digunakan oleh I Wayan Sudirta adalah Teori Hermeneutika (Hans Georg Gadamer), Teori Kepastian Hukum (Gustav Radbruch) dan Teori Hierarki Norma (Hans Kelsen, Hans Nawlasky). Sedangkan metode penelitian yang digunakan Promovendus adalah Metode Penelitian Doktrinal, dengan menggunakan metode Yuridis Normatif.
Di kesimpulan dan saran, Promovendus ingin agar mengembalikan penafsiran Pancasila pada ide awal Soekarno ketika menggali Pancasila, dalam pidato 1 Juni 1945. Kedua, Pancasila harus menjadi rujukan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, saat ini diperlukan penguatan peran BPIP. Ketiga, Promovendus merasa diperlukan penelitian lanjutan mengenai nilai-nilai Pancasila pada Konstitusi maupun Undang-Undang yang ada.
Prof. Dr. M. S. Tumanggor, S.H., M.Si di kesempatan itu menyanyakan tentang kaitan implementasi nilai-nilai Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno terhadap rekonstruksi nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat, khususnya di Bali.
Menjawab pertanyaan itu I Wayan Sudirta membedah tentang budaya dan kearifan lokal masyarakat di Indonesia yang kemudian menjadi inspirasi dari nilai-nilai Pancasila.
“Jika hari Jumat di Jalan Diponegoro (Denpasar, Bali-red) masjidnya itu kecil. Sementara itu umat Islam di Denpasar semakin banyak. Apa yang terjadi? Masjid tidak bisa menampung, karena masjidnya dibuat ketika umat Islam di Bali masih sedikit, sekarang sudah banyak. Mereka kewalahan menyetop kendaraan yang lewat karena mereka harus sembahyang di jalanan. Tetapi orang Bali sadar sebesar apapun jalan itu, mereka (umat muslim-red) sedang sembahyang. Ini bicara Ketuhanan. Apa yang terjadi? Ketika keamanan masjid tidak mampu menghentikan orang yang lewat, polisi tidak mampu menyetop orang lewat, pecalanglah yang menyetop. Tidak ada yang berani melewati kalau Pecalang yang menyetop. Itulah budaya agama yang menurut kami adil hukum. Itu yang dimaksudkan oleh Bung Karno betapa budaya-budaya kita ini luar biasa penting dan dari sanalah nilai-nilai Pancasila itu diangkat,” urai Promovendus.
Doktor Dhaniswara. K. Harjono menyoroti salah satu kesimpulan yang dibuat oleh I Wayan Sudirta yang menjelaskan bahwa Pancasila belum menjadi panduan dan haluan yang memudahkan perumusan prioritas pembangunan, pencanangan program kerja serta pilihan kebijakan yang diperlukan.
“Dalam konteks tentunya mendudukan Pancasila sebagai simbol belaka. Nah terkait dengan hal ini di depan kita, dua puluh dua tahun lagi, visi Indonesia Emas 2045. di situ tentunya tujuan kita adalah mencapai masyarakat yang maju, adil dan makmur. Bagaimana pendapat dari saudara Promovendus terkait dengan visi Indonesia Emas 2045, padahal saat ini Pancasila masih dalam keadaan memprihatinkan seperti yang saudara sampaikan?” tanya Dr. Dhaniswara.
Menjawab pertanyaan itu I Wayan Sudirta kemudian mengungkapkan pandangan pribadinya, andai dulu Bung Karno tidak dijatuhkan maka pembangunan Indonesia saat ini dipastikan sudah mengalami kemajuan yang luar biasa, tidak kalah dengan Republik Rakyat Cina.
“Kini Jokowi memiliki keinginan untuk itu (mewujudkan visi Indonesia Emas 2045-red). Saya yakin kalau kita bersatu pasti bisa (terwujud-red). Hanya satu yang membuat ancaman, yang membuat Indonesia menghadapi masalah lagi, yakni persatuan. Jika persatuan ini lemah, jika nilai-nilai budaya asing datang dan kita tidak menyaring, jika orang membawa Undang-Undang Dasar ke arah lain, maka kita akan mengalami situasi yang berbahaya,” tegas I Wayan Sudirta, yang merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Program Magister Hukum UKI, itu.
Lulus dengan Nilai Sempurna
Usai menjatuhkan skorsing untuk memberikan waktu bagi Dewan Penguji untuk melakukan penilaian, Ketua Dewan Penguji Dr. Dhaniswara menyatakan bahwa I Wayan Sudirta lulus dengan nilai 97.57, huruf “A”.
“Selanjutnya dinyatakan bahwa saudara I Wayan Sudirta menjadi lulusan doktor ke-4 yang dihasilkan Program Studi Hukum, Program Doktor, dan lulusan doktor ke-12 Universitas Kristen Indonesia,” ujar Dr. Dhaniswara.
Lebih lanjut Dr. Dhaniswara kembali membacakan hasil yudisium berupa Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana UKI bernomor 0830/UKI.PPS/HKP.03.01/2023. Melalui surat keputusan tersebut dinyatakan bahwa I Wayan Sudirta lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif 4.00, atau dengan nilai sempurna, dengan predikat Cum Laude,
I Wayan Sudirta kemudian menjalani proses pengukuhan sebagai doktor hukum, didampingi oleh Dewan Penguji dan Direktur Program Pascasarjana UKI.
UKI Terpercaya
Ketua Fraksi Indonesia Perjuangan di DPR-RI, Drs. Utut Adianto menyatakan bahwa dirinya bangga atas capaian dari rekan kerjanya tersebut. Di usia senja, lanjut Utut, I Wayan Sudirta masih bersemangat dalam menuntut ilmu. Utut juga berharap agar ilmu yang diperoleh oleh I Wayan Sudirta dapat terus dibagikan kepada generasi penerus bangsa.
“Ketika dikasih undangan ini, ada dua pertanyaan saya. Gelar ini untuk apa? Apakah masih perlu pengakuan? Ternyata gelar akademik itu penting. Walaupun kemampuannya sudah sangat mumpuni ternyata kalau memakai gelar doktor beliau (I Wayan Sudirta-red) merasa lebih nyaman lagi. Yang kedua, pertanyaan berikutnya, kalau sudah doktor ya idealnya mengajar lagi. Itu sebabnya kalau ada teman-teman yang sudah menjadi doktor, harapan saya, mereka bisa mengajar. Sekali lagi saya ikut merasa senang dan bangga atas (capaian-red) Bli I Wayan Sudirta. Tidak ada kata terlambat. Beliau di usia 73 tahun meraih gelar doktor,” ujar Utut Adianto.
Di mata kalangan praktisi dan akademisi, Universitas Kristen Indonesia juga dikenal sebagai kampus yang terpercaya dalam mendidik dan melahirkan generasi unggul. Hal itu pula yang diungkapkan Utut Adianto dalam sambutannya.
“Kita tahu Universitas Kristen Indonesia merupakan bagian dari universitas yang sangat terpercaya. Mudah-mudahan ada Komisi X DPR-RI, kita harus bantu ini (UKI). Ini jelas mendidik orang dengan baik sekali,” pinta pria yang juga dikenal sebagai Grandmaster catur Indonesia, itu.
Ujian Terbuka dan pengukuhan Doktor I Wayan Sudirta di Kampus Program Pascasarjana UKI turut dihadiri oleh Menteri Koperasi dan UMKM Republik Indonesia, Drs. Teten Masduki. Selain Teten hadir pula Ketua Komisi III DPR-RI, Ir. Bambang Wuryanto, M.BA,; Ketua BPIP, Prof. Drs. K. H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D; Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto; Ketua DPP PDI Perjuangan, Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, M.S; Jaksa Agung RI periode 2004-2007, Drs. Abdul Rahman Saleh, M.H, M. Kn; Advokat senior, Juniver Girsang; dan Ketua Majelis Agama Hindu.