Kepala Daerah Yang sudah selesai dengan Dirinya Sendiri

Pilkada pilkada
Ayo Bagikan:

Oleh : Antonius Benny Susetyo

Majalahgaharu.com Jakarta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu tonggak penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Sebagai perwujudan dari semangat otonomi daerah, Pilkada berfungsi sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang memahami kebutuhan serta aspirasi rakyat setempat.

Di balik setiap pelaksanaan Pilkada, terdapat harapan besar agar pemimpin yang terpilih dapat membawa daerahnya ke arah kemajuan, menciptakan pemerataan ekonomi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kenyataannya, Pilkada seringkali diwarnai oleh berbagai tantangan, baik dari sisi kualitas calon pemimpin maupun dari sisi praktik politik yang tidak sehat.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan besar: bagaimana kita dapat memilih pemimpin yang benar-benar negarawan, sudah selesai dengan dirinya sendiri, dan mampu memimpin dengan integritas serta mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala-galanya?

Salah satu ciri utama dari seorang pemimpin yang berkualitas adalah ia harus “sudah selesai dengan dirinya sendiri.” Maksud dari istilah ini adalah bahwa seorang pemimpin tidak lagi terjebak dalam ambisi pribadi, tidak mementingkan kekuasaan semata, dan mampu memprioritaskan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Seorang pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri tidak akan terobsesi dengan kekuasaan, tidak akan menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri atau memperluas pengaruh pribadi. Sebaliknya, ia akan fokus pada pelayanan publik, pada bagaimana membuat kebijakan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas. Namun, di Indonesia, kita sering melihat fenomena yang berbeda.

Banyak pemimpin yang justru terjebak dalam ambisi kekuasaan. Mereka tidak memandang jabatan sebagai amanah, melainkan sebagai alat untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan. Dalam proses Pilkada, hal ini sering terlihat dalam berbagai praktik politik yang tidak sehat, seperti politik uang, politik dinasti, dan politik bansos yang hanya digunakan sebagai alat kampanye.

Salah satu tujuan utama dari otonomi daerah adalah pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka ini, pemimpin daerah memiliki peran strategis untuk memajukan daerahnya, baik dari sisi ekonomi, pendidikan, infrastruktur, maupun sektor-sektor lainnya yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, pemilihan pemimpin daerah yang berkualitas menjadi sangat krusial. Kepala daerah yang berkualitas harus memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan rakyatnya. Mereka harus peka terhadap aspirasi masyarakat dan mampu merumuskan kebijakan yang relevan dengan kondisi setempat. Selain itu, seorang pemimpin daerah yang baik harus memiliki visi yang jelas, inovatif, dan mampu membawa daerahnya menjadi lebih maju. Tanpa kepemimpinan yang berkualitas, semangat otonomi daerah yang diharapkan mampu menciptakan pemerataan pembangunan hanya akan menjadi jargon tanpa realisasi yang nyata.

Namun, memilih pemimpin yang berkualitas tidaklah mudah. Proses politik yang sering kali diwarnai oleh berbagai kepentingan, baik dari kelompok politik maupun dari aktor-aktor ekonomi, seringkali membuat proses seleksi pemimpin tidak berjalan sesuai harapan rakyat. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang untuk memilih pemimpin yang berkompeten dan berintegritas, sering kali menjadi arena bagi praktik politik yang transaksional. Salah satu tantangan terbesar dalam Pilkada adalah keberadaan kartel politik dan praktik politik uang. Kartel politik merujuk pada sekelompok elit politik yang menguasai proses politik dan memiliki kendali yang besar dalam menentukan siapa yang akan menjadi calon pemimpin.

Dalam sistem seperti ini, pemilihan pemimpin tidak lagi berdasarkan meritokrasi atau kemampuan individu, melainkan berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Kartel politik seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat luas dan lebih mementingkan bagaimana mereka bisa mempertahankan kekuasaan dan memperluas pengaruh politik. Dalam konteks ini, pemimpin yang dihasilkan dari proses kartel politik cenderung menjadi boneka atau alat dari kelompok-kelompok yang lebih besar. Mereka tidak memiliki kemandirian dalam membuat kebijakan dan sering kali lebih memprioritaskan kepentingan kelompok atau individu tertentu dibandingkan kepentingan rakyat.

Selain kartel politik, politik uang juga menjadi masalah serius dalam Pilkada. Banyak calon pemimpin yang menggunakan kekuatan finansial untuk membeli suara. Dalam konteks ini, Pilkada tidak lagi menjadi ajang kompetisi ide dan gagasan, melainkan ajang transaksi finansial. Masyarakat sering kali dijadikan obyek politik, di mana suara mereka dihargai dengan uang atau bantuan sosial yang diberikan menjelang Pilkada. Praktik politik uang ini merusak esensi demokrasi.

Pemimpin yang terpilih bukanlah pemimpin yang benar-benar didukung oleh masyarakat karena kemampuan dan integritasnya, melainkan karena mereka mampu “membeli” dukungan. Dalam jangka panjang, praktik politik uang ini merugikan masyarakat, karena pemimpin yang terpilih cenderung lebih fokus pada bagaimana mengembalikan “investasi politik” mereka daripada fokus pada pembangunan dan pelayanan publik.

Jika kita ingin Pilkada menghasilkan pemimpin yang berkualitas, maka kita harus melawan kartel politik dan politik uang. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan meningkatkan kesadaran politik masyarakat. Masyarakat harus diberi pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan berdasarkan uang atau janji-janji yang tidak realistis.

Selain itu, perlu ada upaya serius dari pihak berwenang untuk menegakkan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku politik uang. Pemimpin yang terlibat dalam praktik politik uang harus dijauhkan dari proses politik, dan masyarakat harus didorong untuk tidak menjual suara mereka. Dalam jangka panjang, pendidikan politik yang baik akan membangun kesadaran masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen pada pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Di sisi lain, partai politik sebagai lembaga yang mengusung calon pemimpin juga harus melakukan reformasi internal. Partai politik harus memiliki mekanisme seleksi calon yang berbasis pada meritokrasi, bukan pada kedekatan politik atau kekuatan finansial. Dalam hal ini, partai politik harus benar-benar menjalankan fungsi mereka sebagai pilar demokrasi yang mengusung calon-calon pemimpin yang berkualitas.

Selain dari aspek politik, kita juga perlu menyoroti pentingnya pendidikan dalam membentuk pemimpin yang berkualitas. Banyak orang Indonesia yang diberi beasiswa untuk belajar di luar negeri dengan harapan mereka akan kembali dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan manusia di Indonesia. Namun, kenyataannya, banyak dari mereka yang justru lebih fokus pada bagaimana mendapatkan kekuasaan, bukan bagaimana memanfaatkan ilmu yang mereka dapatkan untuk kemajuan negara.

Hal ini menjadi salah satu ironi terbesar dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk menghasilkan pemimpin yang berpikiran terbuka dan inovatif, justru sering kali melahirkan individu yang lebih fokus pada ambisi pribadi. Oleh karena itu, perlu ada perubahan dalam paradigma pendidikan, di mana kita tidak hanya berfokus pada peningkatan kapasitas individu, tetapi juga pada penanaman nilai-nilai kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan publik.

Jika kita ingin Pilkada menghasilkan pemimpin yang benar-benar negarawan, sudah selesai dengan dirinya sendiri, dan memiliki integritas yang tinggi, maka kita harus melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek dalam proses politik kita. Kita harus melawan kartel politik, memberantas politik uang, dan memastikan bahwa proses seleksi pemimpin berjalan dengan adil dan transparan.

Selain itu, kita juga harus memberikan pendidikan politik yang lebih baik kepada masyarakat, sehingga mereka dapat memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan integritas, bukan berdasarkan kekuatan finansial. Partai politik juga harus menjalankan reformasi internal untuk memastikan bahwa mereka mengusung calon-calon pemimpin yang berkualitas. Pada akhirnya, proses Pilkada bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang masa depan daerah dan negara.

Dengan memilih pemimpin yang berkualitas, kita dapat memastikan bahwa pembangunan berjalan dengan baik, kesejahteraan masyarakat meningkat, dan semangat otonomi daerah dapat terwujud secara nyata.

Penulis adalah pengamat politik

 

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Pdt. Dr. Jason Balompapueng, MTh Dalam Perayaan HUT 45 PGPI : PGPI wadah dari 96 Sinode Gereja Beraliran Pantekosta 53.135 Gereja Lokal dan 14,5 juta umat

Sat Sep 14 , 2024
Jakarta, MajalahGaharu.com – Persekutuan Gereja-Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI)  merayakan 45 tahun sejak didirikan 14 September 1979, dulu bernama Dewan Pentakosta Indonesia (DPI). “PGPI ada karena Tuhan yang menolong. Kalau hari ini bisa merayakan 45 tahun juga karena kasih Tuhan,” kata Pdt. Dr. Jason Balompapueng, MTh pada perayaan HUT-45 PGPI di […]

You May Like