Jakarta, MajalahGaharu.com – Dualisme kepengurusan Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) yang berlangsung satu dekade, akhirnya memilih jalan damai setelah PGI menengahi dan mempertemukan kedua belah pihak, 19 November, sepakat berpisah dan nomor diundi.
Hasilnya GKSI yang seringkali kami sebut GKSI Rekonsialisasi, lewat jalan diundi oleh PGI mendapatkan Nomor 64. Nomor 64 adalah nomor keanggotaan GKSI yang sudah ada di PGI dan GKSI pimpinan Matheus Mangentang mendapatkan Nomor 105. Nomor 105 adalah nomor baru yang diberikan kepada GKSI Mangentang sebagai nomor keanggotaan di PGI. Untuk anggota penuhnya (dejure) akan diresmikan di Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI di Malang awal Tahun depan. Saat ini, tercatat resmi jumlah gereja anggota PGI 104 sinode, pasca penambahan 7 anggota baru (sebelumnya 97) ditetapkan Sidang MPL PGI Toraja lalu.
Menurut Frans Ansanay, penantian 10 tahun penyelesaian dualisme kepemimpinan sinode GKSI secara damai dapat terwujud patut disyukuri.
“Terima kasih kepada PGI yang sudah berperan sebagai mediator yang baik, penuh kesabaran dan bijaksana hingga terwujudnya solusi perdamaian di GKSI,” ungkap Frans pada Sabtu (23/11/2024).
Dijelaskan, pilihan damai diambil setelah PGI menawarkan tiga poin yakni pertama kedua kubu yang berkonflik sama-sama bersalah. Kedua, kedua belah pihak sama-sama tidak boleh menggunakan nama Gereja Kristen Setia Indonesia. Ketiga, soal logo boleh menggunakan logo yang lama atau baru.
“Sejak dua tahun lalu kami sudah menawarkan hal itu. Tapi tidak apa kalau sekarang PGI sukses mencari jalan keluar dan telah disepakati bersama. Terimakasi Pak Gomar dan Pak Jacky yang menuntaskan masalah ini,” tutur Frans.
Menurut Frans, GKSI Pdt Dr Iwan Tangka sudah memiliki logo yang dipatenkan Kementerian Hukum dan HAM. Sementara pihak sebelah menggunakan logo yang mirip dengan logo kami. Semoga berubahnya nama GKSI versi mereka maka logonya berubah. Kedepan kedua pihak harus bersahabat dalam pelayanan dan terus menghadirkan kedamaian sesuai terang Firman Tuhan.
Rayakan HUT 36
GKSI Rekonsiliasi seolah mendapatkan hadiah istimewa di Hari Ulang Tahun (HUT)-nya yang ke 36 Tahun yang dirayakan hari Sabtu (23/11/2024). Hadiah itu berupa mendapatkan Nomor 64 daftar keanggotaan PGI.
“Mungkin saja ini perayaan terakhir kita dengan menggunakan nama Gereja Kristen Setia Indonesia. Kedepan kita akan merayakan HUT GKSI dengan usia 37, 38, 39 tahun dst dengan versi GKSI baru. Untuk itu saat ini kita mengadakan ibadah syukur HUT ke 36 kita (GKSI) ini serempak di seluruh wilayah pelayanan GKSI yang ada di Indonesia, baik melalui off line maupun daring,” ujar Frans Ansanay, S.H, M.Pd yang juga selaku Ketua Majelis Tinggi Sinode GKSI.
Frans juga mengajak seluruh hamba Tuhan, pelayan dan jemaat GKSI Rekonsiliasasi untuk terus semangat dan kerja keras menunaikan panggilan pelayanan.
“Gereja kita bukan milik seseorang yang bisa mengklaim sendiri, tapi gereja ini milik sang kepala gereja yakni Kristus. Kalau kita jadi ilalang berati gereja berhenti (bergerak) tetapi kalau kita gandum maka gereja akan terus bertumbuh,” ujarnya menyemangati.
Seperti diketahui, Sinode GKSI berdiri pada, 21 November 1988, yang sejak awal berdirinya hingga 2014 dipimpin oleh Pdt, Dr, Matheus Mangentang, S,Th. Dia digantikan oleh Pdt. Ramles Silalahi sebagai Pelaksana Tugas Ketum yang diangkat pada Sidang Istimewa Sinode GKSI tahun 2014. Tak terima digantikan, Pdt, Matheus Mangentang lalu mempertahankan diri dengan memimpin sinode GKSI versi Jl.Daan Mogot hingga sekarang.
Sinode GKSI yang berkantor sekreteriat di Jl. Kerja Bakti, Kp.Makasar, Jaktim, selanjutnya pada Sidang Sinode 2015 memilih Pdt Marjiyo sebagai Ketua Umum Sinode GKSI hingga tahun 2020 dan pada Sidang Sinode GKSI tahun 2020, Pdt Marjiyo kembali terpilih sebagai Ketua Umum. Tahun 2022 Ketum Sinode GKSI mengundurkan diri sehingga diadakan Sidang Istmewa yang memilih Pdt Dr Iwan Tangka sebagai Ketua Umum Sinode GKSI hingga sekarang.
GKSI Jl.Kerja Bakti seringkali kali dianggap GKSI Rekonsiliasi karena sejak terjadi dualisme kepemimpinan Tahun 2014, selalu mengupayakan perdamaian melalui rekonsiliasi yang demokratis. Berkeinginan dengan rekonsiliasi maka proses pemilihan Ketum Sinode bisa berjalan secara demokratis dan tidak ada jabatan ketua umum seumur hidup.
Kiranya peristiwa berpisahnya kedua kubuh dan berdiri sendiri akan membawa ketenangan bagi teman-teman hamba Tuhan di dilapangan.
Kami juga sepakat semua aset gereja dikedua pihak menjadi milik masing-masing, demikian tutur Frans.