Oleh : Merling Tonia Litron Litos Conthes Messakh, M.Pd
Majalahgaharu Kupang Di tengah krisis pangan global yang semakin mengkhawatirkan, pandangan teologis Kristen tentang makanan dan konsumsi menawarkan perspektif transformatif terhadap cara kita memandang piring makan. Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB mengungkapkan tren yang memprihatinkan: pada tahun 2019, sebanyak 161 juta orang menderita kelaparan; angka ini melonjak drastis di tahun 2020 menjadi 720 hingga 811 juta orang (FAO, 2021). Eskalasi berlanjut pada tahun 2021 dengan 702 hingga 828 juta orang menghadapi kelaparan (FAO, 2022), kemudian sedikit menurun menjadi 735 juta orang pada tahun 2022 (FAO, 2023). Meskipun data tahun 2024 belum menunjukkan angka pasti, laporan terbaru menegaskan bahwa miliaran manusia di seluruh dunia masih kekurangan akses terhadap makanan yang bergizi, aman, dan cukup (FAO, 2024).
Data tersebut menunjukkan bahwa masih ada begitu banyak orang di dunia yang mengalami kelaparan, sementara sepertiga makanan yang diproduksi terbuang sia-sia. Kesenjangan ini bukan hanya masalah ekonomi atau politik, tetapi juga mencerminkan krisis etika dan spiritual yang membutuhkan respons dari komunitas iman. Paradoks kelimpahan yang terbuang di tengah kelaparan massal ini mengundang refleksi mendalam tentang sistem nilai yang mendasari pola produksi dan konsumsi global kita.
Etika piring makan Kristen berakar pada konsep penatalayanan (stewardship) yang menekankan bahwa manusia bukanlah pemilik absolut atas sumber daya bumi, melainkan pengelola yang bertanggung jawab. Kitab Kejadian memaparkan bahwa Tuhan memberikan manusia tugas untuk “mengusahakan dan memelihara” taman Eden (Kejadian 2:15), yang dapat diinterpretasikan sebagai mandat untuk mengelola sumber daya pangan dengan bijaksana dan berkelanjutan. Manusia bukan “pemilik” dari alam semesta, manusia adalah “pengelola.” Dalam konteks krisis pangan global, penatalayanan ini berarti mengembangkan pola konsumsi yang mempertimbangkan keadilan distribusi, keberlanjutan ekologis, dan kesehatan holistik. Ketika kita memahami makanan sebagai bagian dari ciptaan yang dipercayakan untuk dikelola dengan baik, setiap keputusan di meja makan menjadi kesempatan untuk mempraktikkan iman yang holistik dan bertanggung jawab.
Etika Piring Makan Kristen
Pertama, makanan sebagai anugerah, bukan hak
Cara pandang ini menggeser fokus dari sikap konsumerisme yang melihat makanan sebagai komoditas, menuju penghargaan atas makanan sebagai anugerah yang melibatkan jejaring relasi kompleks antara Pencipta, ciptaan, dan komunitas manusia. Groppe (2011) berargumen bahwa memahami makanan sebagai anugerah dapat menciptakan “etika gratitude” yang menantang dominasi paradigma konsumerisme dalam sistem pangan global. Sikap syukur ini tidak hanya diekspresikan melalui doa sebelum makan, tetapi juga melalui pilihan konsumsi yang etis dan berkelanjutan.
Kedua, prinsip solidaritas dan berbagi
Tradisi Kristen kaya dengan narasi tentang berbagi makanan, dari kisah Yesus memberi makan lima ribu orang hingga praktik makan bersama. Wirzba (2011) dalam bukunya “Food and Faith: A Theology of Eating” menjelaskan bahwa ritual makan dalam tradisi Kristen selalu memiliki dimensi komunal yang menekankan solidaritas dan pemerataan. Menurutnya “Makan adalah tindakan sakramental yang menghubungkan kita dengan Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan.” Perspektif ini mengajak kita untuk memikirkan kembali praktik konsumsi individual yang sering mengabaikan dimensi keadilan sosial dan ekologis.
Ketiga, pemulihan hubungan dengan tanah dan proses produksi makanan
Etika piring makan Kristen menekankan pentingnya memahami asal-usul makanan kita dan dampak produksinya terhadap lingkungan dan komunitas penghasil. Ayres (2013) menyoroti bagaimana keterasingan dari proses produksi makanan telah mengikis kepekaan moral kita terhadap krisis pangan. Ia mengusulkan “literasi pangan” sebagai bagian integral dari formasi spiritual Kristen kontemporer. Praktik seperti berkebun komunitas, mendukung pertanian lokal, dan mempelajari teknik pengolahan makanan tradisional dapat menjadi sarana untuk memulihkan hubungan ini.
Implementasi etika piring makan Kristen membutuhkan transformasi pada level individu maupun komunal. Pada level individu, ini berarti mengembangkan kesadaran kritis terhadap pilihan makanan kita, mempertimbangkan dampak sosial dan ekologisnya, serta melatih disiplin spiritual yang memungkinkan kita mengembangkan pola konsumsi yang lebih etis. Pada level komunal, gereja dapat menjadi laboratorium sosial untuk mempraktikkan alternatif sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan, misalnya melalui program kebun komunitas, jaringan distribusi makanan yang adil, atau advokasi kebijakan pangan yang berpihak pada kelompok marjinal.
Perspektif makanan Kristen dalam konteks krisis pangan global bukanlah semata-mata tentang mengatasi kelaparan melalui amal, tetapi lebih fundamental tentang mentransformasi paradigma kita mengenai makanan, konsumsi, dan hubungan kita dengan seluruh ciptaan. Nessan (2013) dalam artikelnya “Give Us This Day: A Lutheran Proposal for Ending World Hunger” berargumen bahwa respons Kristen terhadap kelaparan harus melampaui bantuan darurat menuju transformasi struktural yang menantang akar penyebab ketidakadilan pangan.
Dalam menghadapi krisis pangan global, etika piring makan Kristen menawarkan paradigma perspektif yang menantang kita untuk melihat makanan tidak sebagai komoditas tetapi sebagai sarana komunio yang menghubungkan kita dengan Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan. Sebagaimana diungkapkan oleh teolog kontemporer Moe-Lobeda (2013) dalam tulisannya yang berjudul “Resisting Structural Evil: Love as Ecological-Economic Vocation”, praktik makan yang etis adalah bentuk penolakan terhadap “kejahatan struktural” yang melanggengkan kelaparan di tengah kelimpahan.
Dengan demikian, perspektif makanan Kristen bukan sekadar tentang apa yang kita makan, tetapi tentang bagaimana kita memandang makanan dan bagaimana pandangan itu membentuk seluruh jaringan relasi yang terlibat dalam proses dari “ladang ke meja”. Inilah tantangan profetis bagi gereja di abad ke-21: untuk mengembangkan dan mempraktikkan etika piring makan yang memulihkan keadilan, keberlanjutan, dan sukacita dalam proses pemberian dan penerimaan makanan sebagai anugerah ilahi.
Referensi
Ayres, J. (2013). Good food: Grounded practical theology. Baylor University Press.
Food and Agriculture Organization og the united nations (2021). The State of Food Security and Nutrition in the World 2021. https://www.fao.org/interactive/state-of-food-security-nutrition/2021/en/
Food and Agriculture Organization og the united nations (2022). The State of Food Security and Nutrition in the World 2022. https://www.fao.org/interactive/state-of-food-security-nutrition/2022/en/.
Food and Agriculture Organization og the united nations (2023). The State of Food Security and Nutrition in the World 2023. https://www.fao.org/interactive/state-of-food-security-nutrition/2023/en/
Groppe, E. T. (2011). Eating and drinking. Theological Studies, 72(1), 60-85.
Moe-Lobeda, C. D. (2013). Resisting structural evil: Love as ecological-economic vocation. Fortress Press.
Nessan, C. L. (2013). Give us this day: A Lutheran proposal for ending world hunger. Dialog: A Journal of Theology, 52(3), 203-212.
Wirzba, N. (2011). Food and faith: A theology of eating. Cambridge University Press.
Penulis adalah *Dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang