Masjid Istiqlal Sebagai Rumah Kemanusiaan

Ayo Bagikan:

Majalahgaru Jakarta– Rabu siang di Masjid Istiqlal, suasana berbeda terasa. Di ruang utama, bukan hanya lantunan ayat suci yang terdengar, tetapi juga pembahasan tentang kepemimpinan berbasis pelayanan Paus Fransiskus. Imam Besar sekaligus Menteri Agama, Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA, berdiri tenang di mimbar yang disediakan, menyampaikan visinya: Istiqlal bukan sekadar rumah ibadah, melainkan “rumah besar bagi kemanusiaan”.

Pewarna saat menyambangi Masjid IstiQlal Jakarta

Pernyataan itu disampaikan Nasaruddin Umar dalam Dialog Antaragama bertajuk “The Servant Leadership of Pope Francis”, yang digelar organisasi Vox Point di ruang VIP masjid kebanggaan nasional itu, Rabu (28/5).

Menag tidak berhenti pada retorika. Ia menunjuk ke arah luar, mengisyaratkan sebuah karya nyata simbol persaudaraan: terowongan penghubung antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta. “Paus pernah menegaskan, jangan bangun tembok. Tembok adalah simbol ketidakmanusiawian,” ujar Nasaruddin, mengutip pemimpin tertinggi Katolik itu. “Di Istiqlal, jawaban kami adalah membangun terowongan, jalan penghubung. Itulah arsitektur perdamaian kita,” tegasnya.

Lebih jauh, Menag memaparkan bahwa filosofi “rumah kemanusiaan” itu diwujudkan dalam beragam kegiatan dan fasilitas di kompleks Istiqlal. ” Di sini (istiqlal) bukan hanya ada shalat dan pengajian,” katanya. Ia menyebut program kursus Bahasa asing gratis yang terbuka untuk siapa saja, dukungan terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), hingga keberadaan hotel di lingkungan masjid yang menyediakan sarapan gratis bagi mereka yang membutuhkan, tentu dengan ketentuan berlaku.

“Semua ini kami hadirkan dengan satu pesan,” lanjut Nasaruddin. “Rumah ibadah harus menjadi rumah bagi kemanusiaan yang menyatukan sesama manusia dalam kebaikan dan rasa saling peduli.”

Dalam dialog yang hangat itu, Menag juga menyentuh akar pentingnya membangun rumah ibadah yang inklusif: pendidikan agama. Ia mengingatkan bahaya indoktrinasi kebencian sejak dini dan menekankan perlunya pendidikan agama yang menanamkan cinta kasih, bukan prasangka. Gagasan segar pun dilontarkannya, berupa ajakan untuk mengembangkan pendekatan teologi yang lebih “feminin”, lebih memeluk dan mengasihi, menggantikan teologi yang dirasakannya terlalu maskulin, normatif, dan keras.

Acara itu menjadi bukti nyata bagaimana Istiqlal, di bawah pandangan Imam Besarnya, terus berupaya mengisi makna “rumah besar kemanusiaan” itu, terowongan, kursus gratis, dan dialog antaragama demi perdamaian pada suatu waktu. (Nick Irwan)

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Pancasila sebagai Pondasi Bangsa: Refleksi Ketua PGLII Kota Bandung

Sat May 31 , 2025
Majalahgaharu Kota Bandung – Menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2025, awak media berkesempatan mewawancarai Pdt. Abednego Mulianto Halim, (tautan tidak tersedia), rohaniawan di Kota Bandung melalui saluran selulernya pada Jumat malam [30/05]. Dalam wawancara ini, Pdt. yang disapa Pak Mul ini, dengan semangat cinta tanah air yang […]

You May Like