Majalahgaharu Jakarta Fenomena intoleransi terhadap umat Kristen kembali menyeruak dalam ruang publik Indonesia. Belum lama ini, tepatnya 27 Juli 2025, sebuah ibadah umat Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kota Padang disegel dan dibubarkan oleh massa. Sebulan sebelumnya, pada 27 Juni 2025, sebuah retret remaja Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, berakhir ricuh. Sejumlah warga menyerang vila tempat retret berlangsung, merusak fasilitas, dan menimbulkan trauma mendalam bagi para peserta muda. Dua peristiwa ini hanyalah potret kecil dari wajah buram kebebasan beragama di negeri yang berdiri atas semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Peristiwa-peristiwa intoleransi ini menimbulkan pertanyaan besar: di manakah peran negara yang seharusnya hadir melindungi hak warganya untuk beribadah? Apalagi UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) dengan tegas menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya itu.” Namun di lapangan, praktik konstitusi sering kali kandas di hadapan tekanan massa.
Tren Intoleransi yang Mengkhawatirkan
Secara empiris, tren pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) menunjukkan eskalasi tajam. Laporan tahunan SETARA Institute mencatat 175 peristiwa (333 tindakan) pada 2022. Angka ini naik menjadi 217 peristiwa (329 tindakan) pada 2023, dan melonjak signifikan menjadi 260 peristiwa dengan 402 tindakan pelanggaran pada 2024. Data ini menunjukkan pola yang konsisten: intoleransi bukan melemah, melainkan justru menguat.
Lebih jauh, dari 217 peristiwa pada 2023, kelompok korban terbesar adalah umat Kristen dan Katolik dengan 54 peristiwa, tertinggi di antara kelompok agama lain. Gereja menjadi sasaran utama: dari 65 tempat ibadah yang diganggu, 40 di antaranya adalah gereja. Sepanjang 2024 tercatat 16 insiden intoleransi menimpa warga Kristen, dan dalam enam bulan pertama 2025 setidaknya sudah ada 10 kasus.
Angka-angka tersebut membuktikan bahwa kebebasan beragama bagi umat Kristen belum sepenuhnya dijamin. Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang relatif stabil (76,47 pada 2024) justru kontras dengan kenyataan di lapangan. Ada paradoks antara narasi resmi kerukunan dan fakta diskriminasi yang dialami umat Kristen sehari-hari.
Negara yang Absen
Kasus intoleransi yang terus berulang memperlihatkan lemahnya kehadiran negara. Pernyataan seorang anggota DPR pernah menegaskan bahwa pembubaran ibadah tanpa dasar hukum yang jelas adalah pelanggaran hukum. Tetapi dalam praktiknya, aparat kerap membiarkan aksi intoleransi berlangsung, seakan hukum tunduk pada tekanan kelompok mayoritas lokal.
Dalam jangka panjang, abainya negara bukan hanya menyakiti hak-hak kelompok minoritas, melainkan juga merusak prinsip rule of law. Jika hukum bisa dikalahkan oleh tekanan massa, maka keadilan kehilangan makna, dan konstitusi kehilangan daya. Yang tersayat bukan sekadar perasaan umat Kristen, melainkan juga integritas demokrasi itu sendiri.
Tokoh gereja pernah mengingatkan, intoleransi adalah racun yang menggerogoti keutuhan bangsa. Ketika negara gagal menjamin hak beribadah warganya, kerukunan menjadi rapuh, dan kohesi sosial yang menjadi modal utama kebangsaan semakin terkikis.
Jejak Politik Umat Kristen
Dalam sejarah Republik, umat Kristen tidak pernah apatis terhadap politik. Sejak awal kemerdekaan, mereka menyadari pentingnya keterlibatan politik untuk menjaga kebebasan beragama. Pada 1950, lahirlah Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang aktif hingga 1973. Parkindo menjadi wadah politik bagi umat Kristen Protestan di berbagai wilayah seperti Tapanuli, Nias, Maluku, dan daerah lainnya.
Partai ini tidak hanya menjadi saluran aspirasi politik, tetapi juga simbol kesadaran bahwa kebebasan beragama perlu diperjuangkan melalui jalur konstitusional. Namun, sejak era Orde Baru, wadah politik khusus itu lenyap. Sejak saat itu, umat Kristen menitipkan aspirasinya pada partai-partai umum yang bersifat sekuler. Sempat juga ada Partai Demokrasi Kasih Bangsa yang memperoleh 5 kursi di DPR RI pada pemilihan umum tahun 1999. Demikian juga dengan Partai Damai Sejahtera pada Pemilu 2004 PDS mendapatkan 13 kursi di DPR RI. Namun, terhempas dan tidak bisa berkiprah di Senayan.
Masalahnya, representasi melalui partai umum sering kali tidak cukup kuat. Aspirasi umat Kristen, terutama yang terkait kebebasan beribadah, kerap terpinggirkan. Contoh paling nyata adalah keberadaan SKB 2 Menteri 2006 tentang pendirian rumah ibadah. Syarat administratif yang diskriminatif—90 jiwa pemeluk ditambah dukungan 60 warga setempat—sering kali menjadi alat penolakan terhadap pembangunan gereja. Aturan ini tetap berlaku hingga hari ini, menunjukkan lemahnya advokasi politik terhadap persoalan yang menekan umat Kristen secara langsung.
Masih Layakkah Partai Kristen Dihidupkan?
Di tengah situasi intoleransi yang kian meningkat, muncul kembali wacana tentang perlunya partai politik Kristen. Pertanyaannya: masih layakkah partai semacam itu dihidupkan? Masih adakah umat yang merindukannya?
Jawaban atas pertanyaan itu tidak sederhana. Namun jika ditilik dari data dan realitas, kebutuhan akan representasi politik umat Kristen sangat nyata. Menghidupkan kembali Partai Kristen dapat menjadi solusi untuk memastikan aspirasi umat tidak hilang dalam arus besar politik nasional.
Sebuah partai Kristen bukanlah proyek nostalgia, melainkan jawaban atas defisit representasi. Kehadirannya dapat menjadi mekanisme demokratis untuk menyalurkan aspirasi konstitusional umat Kristen, sekaligus mengingatkan negara pada mandat yang telah digariskan dalam UUD 1945.
Risiko dan Peluang
Tentu, ada risiko jika sebuah partai politik berbasis agama berdiri kembali. Di satu sisi, ia bisa dituding menambah sekat-sekat sosial. Namun di sisi lain, jika dikelola dengan visi yang kuat dan berjuang untuk kesetaraan, kehadiran partai Kristen justru memperkaya demokrasi. Nilai-nilai Kristiani seperti keadilan, kemanusiaan, perdamaian, dan penghormatan terhadap martabat manusia adalah nilai universal yang sejalan dengan Pancasila.
Oleh karena itu, sebuah partai Kristen masa kini tetap eksklusif dalam “ideologinya”, namun inklusif dalam perjuangannya. Ia harus mampu menunjukkan bahwa perjuangannya bukan hanya untuk umat Kristen, melainkan untuk menegakkan keadilan bagi semua warga negara. Dengan cara itu, keberadaannya menjadi solusi.
Demokrasi Tanpa Representasi
Demokrasi sejati tidak hanya berarti mayoritas berkuasa, tetapi juga minoritas terlindungi. Dalam konteks ini, absennya partai Kristen dapat dimaknai sebagai defisit demokrasi. Umat Kristen selama ini lebih banyak bergantung pada simpati pemimpin mayoritas. Namun dalam banyak kasus, simpati tidak cukup untuk mengubah aturan diskriminatif atau menghentikan praktik intoleransi.
Dengan partai politik yang jelas identitas dan orientasinya, umat Kristen memiliki saluran formal untuk menagih komitmen negara terhadap konstitusi. Kehadiran partai semacam itu juga akan memperkuat posisi umat Kristen dalam dialog nasional, sekaligus mencegah lahirnya rasa frustasi yang bisa mengikis kepercayaan pada sistem demokrasi.
Intoleransi Sebagai “Bom Waktu”
Para pengamat mengingatkan, intoleransi yang dibiarkan terus-menerus ibarat bom waktu. Jika kelompok minoritas terus dipinggirkan, kohesi sosial bangsa bisa runtuh. Dalam konteks inilah, menghidupkan kembali partai Kristen bisa dipandang bukan sekadar kerinduan, melainkan kebutuhan mendesak. Ia dapat berfungsi sebagai pengawas konstitusi yang aktif, memastikan setiap warga negara diperlakukan setara di hadapan hukum.
Relevansi yang Mendesak
Melihat akumulasi data intoleransi, lemahnya respons negara, dan defisit representasi politik, wacana menghidupkan kembali Partai Kristen patut dipertimbangkan secara serius. Tujuannya bukan memecah belah bangsa, melainkan memperkuat komitmen terhadap kebhinekaan dan keadilan konstitusional.
Sejarah membuktikan bahwa umat Kristen pernah berkontribusi besar dalam politik melalui Parkindo, PDKB dan PDS. Kini, di tengah tantangan intoleransi yang semakin kompleks, kerinduan akan hadirnya kembali partai Kristen menjadi relevansi yang mendesak.
Pada akhirnya, pertanyaan kuncinya, beranikah bangsa ini menghadirkan kembali wadah politik umat Kristen sebagai salah satu penyangga demokrasi yang lebih inklusif? Jika jawabannya iya, maka lahirnya partai Kristen bukanlah ancaman, melainkan bentuk kedewasaan politik bangsa dalam merawat kebhinekaan.
Oleh: Ashiong P. Munthe, Litbang Pewarna Indonesia, Dosen di STT Berita Hidup, STT IKAT Jakarta, UMN dan UBM