Majalahgaharu Jakarta Ketika Sigit Triyono mengusulkan kepada satu gereja untuk menghapus kegiatan paduan suara, majelis gerejanya tersinggung. ‘Ini kegiatan yang sudah berjalan puluhan tahun, gak mungkin dihapus,’ katanya marah. Sigit menanggapinya dengan senyum.
Hal begini kerap muncul dalam perdebatan ketika Sigit yang ekspert dibidang manajemen mendampingi banyak gereja gereja dalam urusan perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Ia mengingatkan agar gereja jangan terjebak dalam rutinitas programis tanpa pernah tau mau kemana, tak punya kemampuan strategis untuk mengoptimalkan semua sumber daya.
Berdasarkan basis pengalaman praksis mendalami topik manajemen strategis dalam konteks lembaga nirlaba di bawah gereja, Dr Sigit Tiryono alumnus Universitas Negeri Yogyakarta yang meraih Doktor Ilmu Manajemen di Universitas Negeri Jakarta, akhirnya menuangkannya dalam buku “Manajemen Strategis Model Roket ST,” sebagai hasil evolusi temuan pertama tahun 2005-an.
Pendekatan roket juga pernah diimplementasikan dalam membantu merumuskan penyusunan rencana jangka panjang dan rencana strategis banyak lembaga lembaga gereja di Indonesia. Juga diimplementasikan dalam membantu peta jalan lembaga bentukan gereja gereja.
Pendekatan model roket telah dilakukan penulis dalam pengalaman menghadiri berbagai forum di luar negeri antara lain saat ke Jerman, Sri Lanka, Rwanda, Kenya, Namibia, RD Kongo dan Tanzania.
Model Roket ST adalah peta jalan/roadmap. ST dibagian akhir adalah ‘Sinar Terang’ yang menjadi tujuan holistik pencapaian manajemen, atau ST bisa juga menjadi akronim dari Sigit Triyono.
Redefinition dan Redevelopment
Penulis mengingatkan fakta banyak organisasi nirlaba yang di awalnya terlihat ‘growth’ tapi kemudian ‘decline,’ merosot. Rata rata organisasi nir laba hanya 1% yang bisa mencapai usia 100 tahun. Rata rata hidup hanya 5-10 tahun saja.
Beberapa organisasi nir laba ada yang mencapai usia panjang. Sekolah Santa Ursula misalnya, mencapai 166 tahun. RS Carolus Jakarta 106 tahun, RS Bethesda Yogyakarta 126 tahun, RS Immanuel Bandung 125 tahun, dan RS PGI – Primaya 127 tahun. Umumnya organisasi itu kukuh pada nilai nilai yang dipertahankan, menjaga reputasi, pelayanan yang inklusif dan kelembagaan yang dipelihara agar adaptif terhadap perubahan.
Peta jalan yang ditawarkan dalam model roket mengharuskan pemimpin mengenal basis analisis historis, teologis dan aspirasi pemangku kepentingan, realitas internal dan eksternal, serta trend di masa depan.
Dalam buku ini penulis menyerukan pentingnya untuk tak jemu jemu melakukan ‘redefinition’ dan ‘redevelopment’ dalam lembaga nir laba. Bagaimana mungkin pimpinan organisasi yang terjebak dalam rutinitas sudah tidak tahu lagi arah dan visi lembaga yang dipimpinnya. Melakukan redefinition dan redevelopment akan membuat lembaga nir laba mencegah ‘decline,’ dan sebaliknya bisa ‘stability’ dan pada akhirnya mencapai ‘new-growth.’
Merumuskan Kembali Tujuan Akhir
Secara garis besar model roket dimulai dengan pertanyaan penting yang mengisi hulu roket. Ibarat peluru kendali jika hulu ledaknya tidak berfungsi maka sia sia diluncurkan. Kepala roket fungsinya sebagai pengemudi dari pertanyaan tentang apa sesungguhnya tujuan akhir? Melalui pertanyaan ini kita diminta menjawab kemana kita akan pergi, dan juga pertanyaan mendasar apa alasan kita/lembaga nir laba ada? Maka perlu disusun ulang organisasinya.
Selanjutnya pada komponen organisasi hendaknya dicari tahu implementasi yang kurang pas untuk memformulasikan misi. Untuk komponen pencapaian harus dilakukan evaluasi hasil dengan terlebih dahulu menjawab dimana posisi kita sekarang?
Penulis kelahiran Klaten 62 tahun lalu, bergelut lama dalam urusan manajemen sumber daya manusia antara lain di Matahari Putra Prima dan mengelola konsultan manajemen Sukses Holistik Indonesia. Perannya sebagai Sekretaris Umum Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sejak 2018 sampai periode 2029, menambah pengalaman empiriknya dalam mengamati banyak lembaga nir laba. Sebagaimana diketahui, Sekum LAI melakukan banyak sekali kerjasama kemitraan dengan lembaga nir laba khususnya gereja gereja.
Selain komponen komponen dalam tubuh roket yang memungkinkannya untuk ‘terbang,’ penulis juga menampilkan pengayaan konsep Appreciative Inquiry (AI) sebagai sebuah cara pandang positip. AI yang pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (1986) digunakan dalam rangka pengembangan organisasi (OD) dan sebagai alat konsultasi (consultanty tools) dalam mewujudkan perubahan strategis (strategic change).
Untuk menjawab pertanyaan dan kritik mengenai pengembangan organisasi dalam perspektif Appreciative Inquiry (AI), maka penulis mengkajinya dengan mengambil intisari setiap bab dalam buku ‘Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis melalui Appreciative Inquiry (AI). Selain itu mengemukakan berbagai kritik akademis yang muncul terhadap pendekatan AI, dan memberikan rekomendasi dalam implementasi metoda AI agar berdampak signifikan terhadap pengembangan organisasi.
Buku yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia (146 hal) ini wajib dibaca oleh pemimpin lembaga nir laba, dan menjadi jalan ikut melayani karena seluruh hasil royaltinya dipersembahkan untuk pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia.
Salam Alkitab Untuk Semua.
Oleh : Marim Purba