Menembus Batas, Merayakan Inklusivitas: Kisah Marta Atonis dan Cermin Pendidikan Inklusif dari Timur Indonesia

Ayo Bagikan:

 

Oleh: Merling Messakh, Dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang

Majalahgaharu Kupang Di tengah wacana besar tentang pendidikan inklusif di Indonesia, masih sedikit lembaga pendidikan tinggi yang benar-benar menghadirkan kebijakan itu sebagai praktik nyata, bukan sekadar jargon kebijakan. Namun di Kupang, Nusa Tenggara Timur, semangat inklusivitas itu hidup dalam keseharian kampus Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang-kampus kecil di timur Indonesia yang terus berupaya menjadikan ruang akademik sebagai rumah bagi semua kalangan.

Salah satu wajah nyata dari semangat itu adalah Marta Derlianti Atonis, mahasiswi Program Studi Pendidikan Kristen Anak Usia Dini (PKAUD), yang baru saja meraih gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada Wisuda Angkatan VIII IAKN Kupang, 22 Oktober 2025.
Marta berasal dari Desa Oenaunu, Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang. Ia lahir dengan keterbatasan fisik, namun tekadnya untuk belajar dan melampaui keadaan membuatnya menjadi simbol keteguhan hati.

“Bagi saya, sekolah itu penting. Saya ingin seperti orang normal lainnya—ingin mencapai apa yang saya impikan,” tutur Marta dengan nada yang jujur dan penuh keyakinan saat ditemui selepas wisuda.

Skripsi yang ia tulis, “Peran Orangtua dalam Menanamkan Nilai Moral dan Agama pada Anak Usia 4–6 Tahun di PAUD Oepleo, Desa Oenaunu,” menjadi refleksi kecil dari perjalanannya: bahwa pendidikan moral dan spiritual harus dimulai dari keluarga. Baginya, menulis bukan hanya tugas akademik, melainkan bentuk kesaksian iman dan cinta pada anak-anak di desanya.

Namun di balik toga dan gelar akademik itu, ada kisah perjuangan yang tak ringan. Marta sempat gagal di beberapa mata kuliah, merasakan kelelahan, bahkan hampir menyerah.

“Jujur, kuliah tidak mudah. Tapi setiap kali ingin berhenti, saya ingat orang tua saya. Mereka selalu berkata, ‘Sekolah yang rajin, supaya nanti hidup tidak susah dan bisa berubah jadi lebih baik,’” kenangnya sambil menahan haru.

Kini, setelah meraih gelar sarjana, Marta menyimpan satu mimpi besar: menjadi dosen. Ia ingin membagikan semangatnya kepada generasi berikutnya. Namun keterbatasan ekonomi keluarga membuatnya tak mudah melanjutkan studi ke jenjang magister.

“Kalau ada beasiswa, saya ingin lanjut S2,” ujarnya lirih, namun dengan sorot mata yang penuh harapan.

Moto hidup yang selalu ia pegang berasal dari Roma 12:12:
“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.”
Ayat itu menjadi semacam peta spiritual yang menuntunnya menembus segala keterbatasan menuju cita-cita.

Rektor IAKN Kupang, Dr. I Made Suardana, M.Th., menyebut kisah Marta sebagai cerminan nyata dari semangat kampus inklusif.

“IAKN Kupang menyelaraskan layanan akademik dan non-akademik berbasis pada penguatan mentalitas kampus inklusif. Kampus adalah milik bersama, ruang kolaboratif untuk memajukan kehidupan yang adaptif terhadap perubahan, terbuka terhadap perbedaan, dan membangun kehangatan cinta kasih,” ujarnya.

Pernyataan itu bukan sekadar slogan. Di lingkungan IAKN Kupang, mahasiswa dengan latar belakang sosial dan fisik yang beragam diterima tanpa diskriminasi. Fasilitas dan pendekatan pembelajaran diadaptasi agar setiap mahasiswa dapat tumbuh sesuai kemampuannya. Pendekatan humanis ini menegaskan bahwa inklusivitas sejati bukan soal belas kasihan, tetapi soal pengakuan terhadap martabat manusia sebagai ciptaan yang setara.

Kisah Marta mengingatkan kita bahwa pendidikan inklusif bukan hanya tanggung jawab guru pendidikan khusus, melainkan misi kemanusiaan seluruh bangsa. Negara ini membutuhkan lebih banyak lembaga pendidikan yang berani membuka ruang bagi semua, termasuk mereka yang sering terpinggirkan oleh sistem dan stigma sosial.

Dari Kupang, suara lembut seorang perempuan muda mengingatkan kita bahwa keterbatasan tidak pernah menjadi akhir dari sebuah perjalanan. Dengan doa, tekad, dan kasih, setiap orang bisa menjadi saksi bahwa pendidikan adalah jalan menuju kehidupan yang lebih manusiawi.

Marta Atonis telah membuktikannya bahwa inklusivitas bukanlah teori, melainkan wujud iman yang hidup.

 

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Sinode Gereja Gerakan Pentakosta Gelar Sidang Majelis Pelengkap 2 Majelis Pusat Menuju Sidang Sinode XVI di Banten

Fri Oct 24 , 2025
Majalahgaharu Jimbaran Sidang Sinode Gereja Gerakan Pentakosta (GGP) menggelar sidang Pelengkap 2 majelis pusat yang di gelar di Jimbaran Bali Kamis 23 hingga Sabtu 25 Oktober 2025. Dalam sidang Pelengkap 2 majelis pusat ini  dilaksanakan  sesuai dengan  Tata Dasar: BAB IX pasal 14 Tata Tertib Gereja Gerakan Pentakosta: Bab VII Pasal […]

You May Like