Jakarta, majalahgaharu.com – Kompleksitas masalah pemuda sepertinya tidak pernah habis menjadi sorotan publik dan lembaga Negara. Bukan saja hanya karena jumlah persentase penduduk yang tergolong sebagai pemuda sangat besar, namun juga mengingat akan pentingnya pemuda dibenahi dan dipersiapkan menjadi pemimpin dimasa depan. Pada pemudalah bangsa ini menentukan nasibnya kedepan. Masalah pemuda yang pertama ada pada persoalan konseptual oleh UU yang tumpang tindih, seperti yang dimaksudkan di UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatakan rentang usia yang disebut sebagai anak adalah usia 18 (delapan belas) tahun kebawah dan pada UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan yang mengatakan rentang usia yang disebut sebagai pemuda adalah 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Artinya secara konseptual, anak usia 16-18 tahun masuk kedalam 2 (dua) kategori sekaligus, yaitu sebagai anak sekaligus juga sebagai pemuda.
Selain persoalan konseptual di atas, ada pula persoalan objektif yang dihadapi para pemuda. Antara lain, tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi digital, masalah narkoba dan ketergantungan obat terlarang, tentang keterbatasan peran organisasi kepemudaan (OKP) dalam pelayanan urusan kepemudaan, dan yang terakhir adalah tentang pelayanan urusan kepemudaan lintas sektor belum sinergi. Era globalisasi secara otomatis menuntut kualitas SDM usia produktif (pemuda) harus lebih baik lagi. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Agustus 2017, tenaga kerja lulusan SMP sebanyak 21,72 juta orang atau 17,95 persen, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 21,13 juta orang atau 17,46 persen, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 12,59 juta orang atau 10,40 persen, Diploma I/II/III sebanyak 3,28 juta orang atau 2,71 persen, dan Universitas sebanyak 11,32 juta orang atau 9,35 persen. Sedangkan angka terbesar adalah lulusan SD mencapai 50,98 juta orang atau 42,13 persen. Maka diduga sukar jika tidak ada perbaikan signifikan untuk pemuda menghadapi globalisasi yang berbasis kompetensi dan profesionalitas. Sedangkan secara kuantitas, Indonesia sangat di untungkan di 2020-2030, yang kita sebut sebagai bonus demografi.
Pada persoalan narkoba dan obat-obatan terlarang, diperkirakan ada ekitar 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Angka tersebut kemungkinan meningkat kembali karena beredarnya sejumlah narkotika jenis baru. Narkoba akan menghancurkan masa depan, membangun eskalasi kriminalitas, melumpuhkan kompetensi pemuda dan meningkatnya penyebaran penyakit HIV/AIDS. Sedangkan pada persoalan terakhir mengenai keterbatasan peran organisasi kepemudaan (OKP) dan belum bersinerginya pelayanan urusan kepemudaan lintas sektoral, mengakibatkan pemberdayaan dan pengembangan potensi serta kompetensi pemuda stagnan. Belum lagi soal penurunan keteladanan dan moralitas pemuda. Banyak pemimpin muda yang akhirnya malah terjerat kasus korupsi dan kasus hukum lainnya.
Kompleksnya persoalan kepemudaan serta tingginya harapan kepada para pemuda, mengundang perhatian DPD-RI melalui Komite III dalam rangka program pengawasan terhadap pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Pada hari Rabu (21/11/208), bertempat di Gedung B DPD-RI dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang di pimpim oleh Wakil Ketua II Komite III DPD RI Dr. dr. Delis Julkarson Hehi MARS (Perwakilan Sulawesi Tengah), dengan menghadirkan OKP setingkat nasional, guna untuk mengeksplore pemikiran, pendangan serta masukan dari para pimpinan OKP dalam rangka penguatan terhadap pemberdayaan kepemudaan. Salah satu organisasi yang diundang untuk memberikan pemikiran dan pendapat dalam forum RDPU adalah GMKI.
Ketua Umum PP GMKI, Korneles Galanjinjinay menyampaikan bahwa Negara tidak boleh main-main atau setengah-setangah dalam mengurusi pemberdayaan dan pengembangan pemuda, karena dipundak pemudalah masa depan bangsa ini akan diletakkan. Kalau pemerintah sadar akan hal itu, maka sudah semestinya Pemerintah serius, karena ini sangat penting dan strategis. “Kalau pemuda itu penting dan strategis bagi masa depan bangsa dan Negara, maka Pemerintah harus serius menangani masalah-masalah pemuda,” tegas Korneles. Beliau juga berpandangan bahwa, sekarang ini Pemerintah cenderung setengah hati mengurusi pemuda, tidak ada fokus dan keseriusan untuk lebih maksimal, karena lembaga-lembaga Negara dan UU yang mengatur urusan pemuda saja masih tumpang tindih dan belum disinergikan secara baik.
“Selama ini kementrian dan badan terkain urusan pemuda belum maksimal mengeksekusi masalah-masalah pemuda, karena tdk ada kordinasi dan singkronisasi program-program yang cocok untuk pendidikan dan pengembangan pemuda. Karna tidak ada yang bisa mengontrol dan mengkoordinasikan,” tambahnya. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh beliau dalah, bahwa Negara dalam hal ini Pemerintah harus membentuk badan khusus urusan pemuda yang langsung berada dan bertanggungjawab kepada Presiden. “Untuk itu harus ada badan khusus urusan pemuda langsung dibawa Presiden. Selama ini kementrian dan badan terkait urusan pemuda belum maksimal mengeksekusi masalah-masalah pemuda,” ujar Korneles dengan lugas saat memberi menyampaikan pemikirannya forum RDPU di Ruang Sidang Komite III DPD RI. [KG/RA]